By: M. Ridwan
Ini mungkin tulisan yang ke sekian ribu
membahas tentang ERA DISRUPSI. Namun, sejujurnya, topik ini memang ngeri-ngeri
sedap. Pokoknya, saat ini, kalau gak pakai istilah disrupsi atau kataINDUSTRI 4.0 gak keren-lah. Sampai-sampai, ada draft di
blog ini berjudul, TUHAN di ERA INDUSTRI 4.0, hehe..
Menurut kamus, DISRUPSI itu artinya “tercerabut
dari akarnya”. Ada pula yang menyebut disrupsi sebagai kondisi dimana kemapanan
TERGANGGU. Entah itu dalam bisnis, sosial maupun politik. Ada juga yang
menyebut ERA DIGITAL. Macem-macem.
Intinya, ERA DISRUPSI itu ya era TEKNOLOGI
KOMUNIKASI DAN INFORMASI yang dikombinasikan dengan INTERNET (internetnya pun
sudah pakai istilah Internet of Things). Bisa juga disebut sebagai era KECERDASAN
BUATAN yang ditandai dengan INTEGRASI SISTEM atau robot-robot terintegrasi.
Asal muasal disrupsi tentu saja adanya INOVASI.
Dan, inovasi ini pasti diawali dari IDE yang DAHSYAT dan SUPER INOVATIF. Iya kan?. Tanpa IDE, no way. Tidak ada
cerita DISRUPSI…!!
Ketika MARK ZUKERNBERG membuat FACEBOOK dan
berhasil menghubungkan milyaran manusia di bumi hanya dengan pencet sana sini di
genggaman tangan, maka ia telah menggunakan SUPER IDE. Ketika JACK MA membuat ALIBABA, tempat jualan online
dan menghubungkan jutaan produsen dunia, ia menggunakan IDE DAHSYAT. Ia
berhasil menghancurkan MARKET PLACE fisikal ala SUPERMAKET atau TOKO KONVENSIONAL
.Padahal, awalnya ia hanya guru bahasa Inggeris bro…
Contoh lain, aplikasi AIRY yang mementahkan
mitos bahwa untuk menjalankan BISNIS perhotelan harus memiliki hotel terlebih
dahulu. Orang pasti kaget, kok bisa?. Nyatanya bisa toh. Buktinya, AIRY justru
membuat banyak bisnis hotel fisikal KETAR-KETIR dan tutup. Di situlah letak DISRUPSI-nya.
Oh, ya, gak usah jauh-jauh deh. Look in
Indonesia saja.
Apa yang terjadi dengan transporasi
konvensional semisal OJEK, TAKSI atau ANGKOT yang semakin hilang digusur
TRANSPORTASI ONLINE itu?. IDE SUPER menjadikan GOJEK, GRAB, atau Go-CAR dengan
mudah menghapus mitos bahwa bisnis transportasi tidak harus memiliki armada
taksi atau ojek. Right..?
Dua hari lalu, saya membaca berita, bahwa
satu-satu persatu GERAI SWALAYAN BESAR di Indonesia tutup karena pengunjung
banyak beralih ke TOKO ONLINE semisal LAZADA, BUKALAPAK, atau TOKOPEDIA.
Katanya, customer pingin merasakan sensasi baru bertransaksi. Lebih murah, mudah, dan tentunya cepat. Wajar
membuat keok..
The
Question is…
Seperti apa perkembangan ini, katakanlah
10-20 tahun mendatang?.
Dalam ekonomi sih ada teori The Law of
Diminishing Utility, atau Saturation Point alias titik
jenuh. Jadi, misalkan, ketika saat ini, manusia di dunia sudah menggunakan
taksi online, sampai ke pelosok dusun, maka titik jenuh pasti akan terjadi.
Setelah titik jenuh terjadi, kurva akan kembali ke titik nol.
Kondisi ini sama dengan ketika manusia menemukan
TV.
Ketika kepemilikan TV sudah mencapai 100%,
maka terjadi proses reset dimana manusia merasa BIASA SAJA ketika punya TV.
Kini, proses pembentukan kurva bukan bukan lagi kepemilikan TV melainkan sudah kepada
fitur. Iya kan?.
Atau, katakankah 10-15 tahun lagi, orang akan
terbiasa dengan taksi online atau mobil otonom , proses pembentukan kurva
terjadi lagi menuju titik jenuh juga.
Begitu terus-menerus. Sampai kiamat…😊 Pemenangnya tentu saja para
inovator.
Maka, kita TIDAK BOLEH hanya mengkaji titik
jenuh ini. Apalagi sampai paranoid dan ketakutan. Itu artinya kita tidak siap
dengan perubahan. Misalnya, dengan megatakan, “tidak apa-apa kok, perkembangan
digital tidakperlu dikhawatirkan”. Atau, mencoba melawan arus dengan
memberangus apapun berbau digital atau IT. Wah, kalau ini yang ada di benak,
bakalan kiamat lho. Bisa-bisa anak-anak millenial atau yang sering
disebut native digital itu protes.
Sebelum mencapai titik jenuh, maka KORBAN ERA
DISRUPSI pasti akan muncul terlebih dahulu.
Lihat, apa yang terjadi dengan gerai swalayan
dan supermaket yang tutup itu?.
Apa yang terjadi dengan masa depan OJEK
PANGKALAN atau taksi KONVENSIONAL termasuk angkutan umum dan tradisional lainnya?.
Mereka menjadi korban bukan?.
Kendati saya menyebutnya sebagai SHORT TERM VICTIMS,
alias “korban jangka pendek”, namun kalau skill mereka tidak di-upgrade, mereka
bisa saja menjadi LONG TERM VICTIMS. Selamanya, merana…
Padahal, kalau pintar menangkap peluang,
era disrupsi justru mengasyikkan. Menggiurkan.
Kalau tidak percaya, lihat saja senyum
sumringah para ibu rumah tangga yang mendadak menjadi pebisnis, mengalahkan
penghasilan suaminya. Hanya dengan pencat pencet gadget. Meskipun, itu belum
cukup. Jangan hanya menjadi user, harus ada inovasi dan ide besar yang
dimunculkan.
Lihat, asyiknya aplikasi pembelajaran yang
memudahkan para pendidik men-transfer ilmu. Teknologi digital banyak
mempermudah kehidupan manusia, kok. Meski, peluang lembaga pendidikan formal
tergusur sangat terbuka. Ngeri bukan?
Maka, apa sih susahnya bagi seseorang
mendapatkan ilmu para AKADEMIS ternama dunia, dari KAMPUS ternama. Bukankah itu
sangat mudah?. Tinggal lihat Youtube, selesai. Pasti akan muncul pertanyaan.
Untuk apa ia harus membayar kuliah lagi?. Iya kan?. Toh, semua bisa didapat
dengan mudah di internet. Bahkan mungkin saja nanti ijazah online akan lebih
diakui. Apa bedanya..
Maka pertanyaannya,
ARE
YOU DISRUPTOR OR DISRUPTED?. Kamu itu pelaku DISRUPSI kah atau KORBAN DISRUPSI?.
Ambil peluang atau tergusur ancamana?
IS YOUR INSTITUTION DISRUPTOR or
DISRUPTED?. Apakah, Institusi tempat Anda bekerja sekarang pelaku disrupsi,
atau korban disruptor?
Cari mengetahuinya mudah saja. Kalau Anda
atau saya sangat KETAKUTAN dengan perkembangan TI atau panik dan tak tahu harus
melakukan apa, maka kita adalah calon korban empuk. Apalagi kalau miskin
inovasi dan kreatifitas termask malas meng-upgrade diri.
Sebaliknya, jika kita justru sangat
bersemangat menyongsong perkembangan TI ini dengan melakukan konsolidasi dan
penigkatan kesadaran (awareness) bahkan bersedia mengeluarkan cost yang
sepadan, maka kita justru akan menikmati era disrupsi ini sepenuhnya.
So, apa yang harus dilakukan?
Ya, tentu saja kesiapan diri untuk MERUBAH
MINDSET. Pola pikir efisien, inovatif harus dimunculkan termasuk pola pikir
lintas disiplin ilmu. Istilahnya, JANGAN ASYIK DI SILO masing-masing. Harus ada
keahlian lintas ilmu. Yang belajar ekonomi pelajari juga IT. Mahasiswa
kedokteran jangan sungkan menimba ilmu dari mahasiswa ekonomi atau politik.
Termasuk, akademisi IT juga jangan
alergi dengan ilmu agama. Transdisipliner gitu.
Kuncinya, mengupgrade skill, wawasan dan
pola pikir. Itu saja,,,,,,
Selamat Datang ERA DISRUPSI……😊
0 Comments