Ticker

6/recent/ticker-posts

IS YOUR INSTITUTION DISRUPTOR OR DISRUPTED?


By: M. Ridwan
Ini mungkin tulisan yang ke sekian ribu membahas tentang ERA DISRUPSI. Namun, sejujurnya, topik ini memang ngeri-ngeri sedap. Pokoknya, saat ini, kalau gak pakai istilah disrupsi atau kataINDUSTRI  4.0 gak keren-lah. Sampai-sampai, ada draft di blog ini berjudul, TUHAN di ERA INDUSTRI 4.0, hehe..

Menurut kamus, DISRUPSI itu artinya “tercerabut dari akarnya”. Ada pula yang menyebut disrupsi sebagai kondisi dimana kemapanan TERGANGGU. Entah itu dalam bisnis, sosial maupun politik. Ada juga yang menyebut ERA DIGITAL. Macem-macem.  

Intinya, ERA DISRUPSI itu ya era TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI yang dikombinasikan dengan INTERNET (internetnya pun sudah pakai istilah Internet of Things). Bisa juga disebut sebagai era KECERDASAN BUATAN yang ditandai dengan INTEGRASI SISTEM atau robot-robot terintegrasi. 

Asal muasal disrupsi tentu saja adanya INOVASI. Dan, inovasi ini pasti diawali dari IDE yang DAHSYAT dan SUPER INOVATIF.  Iya kan?. Tanpa IDE, no way. Tidak ada cerita DISRUPSI…!!

Ketika MARK ZUKERNBERG membuat FACEBOOK dan berhasil menghubungkan milyaran manusia di bumi hanya dengan pencet sana sini di genggaman tangan, maka ia telah menggunakan SUPER IDE.  Ketika JACK MA membuat ALIBABA, tempat jualan online dan menghubungkan jutaan produsen dunia, ia menggunakan IDE DAHSYAT. Ia berhasil menghancurkan MARKET PLACE fisikal ala SUPERMAKET atau TOKO KONVENSIONAL .Padahal, awalnya ia hanya guru bahasa Inggeris bro…

Contoh lain, aplikasi AIRY yang mementahkan mitos bahwa untuk menjalankan BISNIS perhotelan harus memiliki hotel terlebih dahulu. Orang pasti kaget, kok bisa?. Nyatanya bisa toh. Buktinya, AIRY justru membuat banyak bisnis hotel fisikal KETAR-KETIR dan tutup.  Di situlah letak DISRUPSI-nya.

Oh, ya, gak usah jauh-jauh deh. Look in Indonesia saja.

Apa yang terjadi dengan transporasi konvensional semisal OJEK, TAKSI atau ANGKOT yang semakin hilang digusur TRANSPORTASI ONLINE itu?. IDE SUPER menjadikan GOJEK, GRAB, atau Go-CAR dengan mudah menghapus mitos bahwa bisnis transportasi tidak harus memiliki armada taksi atau ojek. Right..?

Dua hari lalu, saya membaca berita, bahwa satu-satu persatu GERAI SWALAYAN BESAR di Indonesia tutup karena pengunjung banyak beralih ke TOKO ONLINE semisal LAZADA, BUKALAPAK, atau TOKOPEDIA. Katanya, customer pingin merasakan sensasi baru bertransaksi.  Lebih murah, mudah, dan tentunya cepat. Wajar membuat keok..

 The Question is…

Seperti apa perkembangan ini, katakanlah 10-20 tahun mendatang?.

Dalam ekonomi sih ada teori The Law of Diminishing Utility, atau Saturation Point alias titik jenuh. Jadi, misalkan, ketika saat ini, manusia di dunia sudah menggunakan taksi online, sampai ke pelosok dusun, maka titik jenuh pasti akan terjadi. Setelah titik jenuh terjadi, kurva akan kembali ke titik nol.

Kondisi ini sama dengan ketika manusia menemukan TV.

Ketika kepemilikan TV sudah mencapai 100%, maka terjadi proses reset dimana manusia merasa BIASA SAJA ketika punya TV. Kini, proses pembentukan kurva bukan bukan lagi kepemilikan TV melainkan sudah kepada fitur. Iya kan?.

Atau, katakankah 10-15 tahun lagi, orang akan terbiasa dengan taksi online atau mobil otonom , proses pembentukan kurva terjadi lagi  menuju titik jenuh juga. Begitu terus-menerus. Sampai kiamat…😊 Pemenangnya tentu saja para inovator.

Maka, kita TIDAK BOLEH hanya mengkaji titik jenuh ini. Apalagi sampai paranoid dan ketakutan. Itu artinya kita tidak siap dengan perubahan. Misalnya, dengan megatakan, “tidak apa-apa kok, perkembangan digital tidakperlu dikhawatirkan”. Atau, mencoba melawan arus dengan memberangus apapun berbau digital atau IT. Wah, kalau ini yang ada di benak, bakalan kiamat lho. Bisa-bisa anak-anak millenial atau yang sering disebut native digital itu protes.

Sebelum mencapai titik jenuh, maka KORBAN ERA DISRUPSI pasti akan muncul terlebih dahulu.

Lihat, apa yang terjadi dengan gerai swalayan dan supermaket yang tutup itu?.

Apa yang terjadi dengan masa depan OJEK PANGKALAN atau taksi KONVENSIONAL termasuk angkutan umum dan tradisional lainnya?. Mereka menjadi korban bukan?.

Kendati saya menyebutnya sebagai SHORT  TERM  VICTIMS, alias “korban jangka pendek”, namun kalau skill mereka tidak di-upgrade, mereka bisa saja menjadi LONG TERM VICTIMS. Selamanya, merana…

Padahal, kalau pintar menangkap peluang, era disrupsi justru mengasyikkan. Menggiurkan.

Kalau tidak percaya, lihat saja senyum sumringah para ibu rumah tangga yang mendadak menjadi pebisnis, mengalahkan penghasilan suaminya. Hanya dengan pencat pencet gadget. Meskipun, itu belum cukup. Jangan hanya menjadi user, harus ada inovasi dan ide besar yang dimunculkan.

Lihat, asyiknya aplikasi pembelajaran yang memudahkan para pendidik men-transfer ilmu. Teknologi digital banyak mempermudah kehidupan manusia, kok. Meski, peluang lembaga pendidikan formal tergusur sangat terbuka. Ngeri bukan?

Maka, apa sih susahnya bagi seseorang mendapatkan ilmu para AKADEMIS ternama dunia, dari KAMPUS ternama. Bukankah itu sangat mudah?. Tinggal lihat Youtube, selesai. Pasti akan muncul pertanyaan. Untuk apa ia harus membayar kuliah lagi?. Iya kan?. Toh, semua bisa didapat dengan mudah di internet. Bahkan mungkin saja nanti ijazah online akan lebih diakui. Apa bedanya..

Maka pertanyaannya,

 ARE YOU DISRUPTOR OR DISRUPTED?. Kamu itu pelaku DISRUPSI kah atau KORBAN DISRUPSI?.  Ambil peluang atau tergusur ancamana?

IS YOUR INSTITUTION DISRUPTOR or DISRUPTED?. Apakah, Institusi tempat Anda bekerja sekarang pelaku disrupsi, atau korban disruptor?

Cari mengetahuinya mudah saja. Kalau Anda atau saya sangat KETAKUTAN dengan perkembangan TI atau panik dan tak tahu harus melakukan apa, maka kita adalah calon korban empuk. Apalagi kalau miskin inovasi dan kreatifitas termask malas meng-upgrade diri.

 Sebaliknya, jika kita justru sangat bersemangat menyongsong perkembangan TI ini dengan melakukan konsolidasi dan penigkatan kesadaran (awareness) bahkan bersedia mengeluarkan cost yang sepadan, maka kita justru akan menikmati era disrupsi ini sepenuhnya.

So, apa yang harus dilakukan?

Ya, tentu saja kesiapan diri untuk MERUBAH MINDSET. Pola pikir efisien, inovatif harus dimunculkan termasuk pola pikir lintas disiplin ilmu. Istilahnya, JANGAN ASYIK DI SILO masing-masing. Harus ada keahlian lintas ilmu. Yang belajar ekonomi pelajari juga IT. Mahasiswa kedokteran jangan sungkan menimba ilmu dari mahasiswa ekonomi atau politik. Termasuk, akademisi IT  juga jangan alergi dengan ilmu agama. Transdisipliner gitu.

Kuncinya, mengupgrade skill, wawasan dan pola pikir. Itu saja,,,,,,

Selamat Datang ERA DISRUPSI……😊




Post a Comment

0 Comments