Oleh: M. Ridwan
Indonesia heboh. Kali ini
bukan tentang KAA yang akan berlangsung di Jakarta dan Bandung. Bukan pula
tentang kisruh elit politik yan tak pernah habisnya atau rencana eksekusi
terpidana mati narkoba yang masih diperpanjang. Bukan pula tentang aksi Ahok
dan DPRD DKI Jakarta yang selalu menjadi trending topic di media. Berita menghebohkan
yang saya maksudkan tidak lain adalah "demam akik" yang melanda
seluruh negeri. Menariknya, fenomena terlihat bisa menyatukan berbagai isu heboh lainnya
di negeri ini.
Batu akik bukanlah hal aneh
di negeri ini. Sejak ratusan tahun lalu, batu akik telah dikenal di negeri ini.
Para raja dan sultan di berbagai daerah di Indonesia selalu menggunakan akik
dalam berbagai seremoni. Akik juga sering diidentikkan dengan ornamen wajib
para jawara, dukun, paranormal atau preman-preman berwajah sanggar. Kita juga pasti
akrab dengan pelawak Srimulat yang gemar memakai batu akik yaitu Tessy.
Itu dulu, namun, berkat
medsos dan media yang saat ini sedang tren maka batu akik telah menjadi konsumsi berita
yang selalu hangat dan menghebohkan untuk dibicarakan. Peminatnya tidak
tanggung-tanggung. Dari semua kalangan. Dari ustaz sampai preman, presiden
sampai rakyat jelata, laki-laki atau perempuan, bahkan anak-anak SD di tempat
saya juga terkena demam akik ini. Tiba-tiba saja, berbagai stand penjualan
atau pengasahan batu akik tumbuh bak jamur di musim hujan.
Lho, memangnya ada yang salah
dengan fenomena akik ini?. Jawaban saya, tentu tidak sama sekali. Jika Anda
penyuka batu akik, maka silahkan lanjutkan saja kegemaran Anda termasuk
melanjutkan membaca tulisan ini. Atau, jika Anda termasuk orang yang sedang
belajar menyukainya, maka silahkan dalami lebih lanjut. Perkuat ilmu “perbatuan”
yang Anda miliki. Jangan sampai, Anda menjadi korban para pedagang batu – yang
katanya suka "menggoreng" harga batunya.
Nah, bagi yang tidak menyukai
fenomena ini, silahkan saja. Toh, tidak ada yang memaksa Anda untuk
menyukainya. Termasuk untuk melanjutkan membaca tulisan ini :)
Lalu, apa yang sebenarnya
yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini?. Tidak lain supaya kita lebih arif
dalam menyikapinya. Memang, fakta yang harus kita terima bahwa negeri ini
memang sangat kaya dengan batuan indah bernilai jual tinggi. Kualitasnya yahud.
Bahkan melebihi negeri-negeri penghasil batu yang lebih dulu dikenal seperti
Srilangka, Rusia atau China. Saya masih ingat ketika mengunjungi Srilangka dua
tahun lalu. Seorang pedagang batu safir di hotel tempat saya menginap mematok
harga 300 dollar untuk sebuah mata cincin kecil berwarna biru, lengkap dengan
sertifikat internasionalnya.Saya mendambakan batu sejenis ada di Indonesia.
Maka, fenomena saat ini
setidaknya membuat kita bangga. Indonesia juga memiliki batu yang tak kalah
indah. Tidak heran pula bila tiba-tiba kita akrab dengan berbagai nama batu.
Saya yakin, bagi sebagian orang awam termasuk saya, sangat sulit mengingat
jenis bebatuan indah ini, apalagi mendalaminya. Katakanlah seperti Bacan,
Lavender, Pancawarna, Jamrud, Janggus, Bio Solar, Lumut Aceh dan lain-lain.
Silahkan googling untuk melihat gambarnya. :)
Kembali kepada kearifan.
Kendati fenomena batu akik ini adalah sebuah realita, namun pemikiran cerdas
dan rasional harus kita gunakan. Kita tentu tidak menginginkan peristiwa
seperti Tulip Mania yang menimpa Belanda di tahun di abad ke-17 terjadi di negeri kita.
Ceritanya,
harga bunga Tulip yang merupakan kebanggaan Belanda saat itu melonjak tinggi. Tulip yang melonjak harganya adalah
jenis Semper Augustus. Dari harga yang semula hanya 10 Gulden di tahun
1624 melonjak menjadi 6700 gulden di tahun 1637. Penyebabnya, adalah spekulasi
para penjual Tulip. Lonjakan ini menyebabkan permintaan yang tinggi
terhadap bunga Tulip. Tulip diidentikkan dengan prestise dan simbol kekayaan.
Hanya orang kaya yang bisa memilikinya. Pada kenyataannya, Tulip Semper
Augustus memang langka. Sayangnya, permintaan ini ternyata bukan hanya
untuk kebutuhan saja, tapi juga untuk spekulasi.
Tulip Mania dan Irrational Exuberance
Kondisi di atas sering disebut irrational exuberance (kegairahan irrasional) dimana secara psikologis semua orang terdorong untuk ikut berinvestasi. Dalam hal ini dorongan untuk membeli bunga Tulip. Kendati ada sedikit kekhawatiran tentang nilai riil dari harga Tulip, namun para investor/pembeli tidak peduli..
Kondisi di atas sering disebut irrational exuberance (kegairahan irrasional) dimana secara psikologis semua orang terdorong untuk ikut berinvestasi. Dalam hal ini dorongan untuk membeli bunga Tulip. Kendati ada sedikit kekhawatiran tentang nilai riil dari harga Tulip, namun para investor/pembeli tidak peduli..
Tokoh yang mencetuskan teori
ini tidak lain adalah Alan Greenspan. Menurutnya, kondisi naiknya harga harus
disikapi dengan bijak karena karakter harga akan turun jika telah menncapai
titik tertinggi. Kondisi ini paling ditakuti semua investor dan ini terjadi
pada Tulip Mania. Para investor Tulip, misalnya, harus rela kembali menjual
harga Tulipnya menjadi kembali ke harga 10 gulden. Mereka menyadari
bahwa harga sudah sampai pada titik tertinggi. Mereka juga tersadar bahwa harga
tidak mungkin naik lagi. Ribuan investor jelas-jelas merugi, bangkrut bahkan konon
katanya banyak yang bunuh diri.
Fenomena seperti ini banyak terjadi
dari masa ke masa. Termasuk juga suprime mortgage yang menyebabkan
negeri Paman Sam ambruk. Meski sedikit berbeda kasus dan cakupannya, namun suprime
mortgage juga membuktikan bahwa harga memang memiliki batas tertingginya.
Di Indonesia, berbagai peristiwa
juga pernah terjadi seperti pada bisnis ikan Lohan, bunga Arturium, atau Tokek.
Sebagian orang menyebut bisnis seperti ini
adalah monkey business yang menujuk pada prilaku pembeli monyet atau
spekulan yang membuat monyet menjadi hewan dengan permintaan yang tinggi
padahal dia sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari harga melambung
yang dipatoknya sendiri. Untuk kasus batu akik, saya lebih sukai menyamakannya
dengan Tulip Mania. Sebutannya tentu Akik Mania (2015). Mana tahu menjadi tren :)
Menurut info dari pakar batu,
bahwa batu akik pada dasarnya adalah jenis batu permukaan. Penambangannya tidak
lebih dari 100 meter dari permukaan bumi. Berbeda dengan berlian yang proses
pembentukannya terjadi jutaan tahun nun jauh dari permukaan bumi. –konon katanya di kedalaman lebih dari 160 km. Sangat dalam bukan?. Proses penambangannya yang sulit membuat berlian
memiliki harga internasional yang tinggi dan spesifik. Harga ini ditentukan dari berbagai aspek
terutama tingkat kekerasannya. Berlian hanya bisa dipotong dengan berlian juga.
Maka tak heran kalau kita pernah mendengar ungkapan “Berlian adalah abadi.” Ungkapan
ini yang menggambarkan bahwa berlian itu telah ada sebelum manusia ada di muka
bumi dan akan terus ada ketika kita tiada. Berlian adalah unsur terkeras di
dunia saat ini. Penambangan berlian terkenal saat ini berada di Afrika karena disana
terdapat jalur berlian. Sedangkan daerah lainnya dianggap tidak memiliki jumlah
berlian yang signifikan.
Lalu, “siapakah” batu akik?. Berbeda
dengan berlian, batu ini memiliki kekerasan yang lebih rendah. Persediaanya-pun
cukup banyak di permukaan bumi. Penambangannya cukup mudah termasuk proses
pemotongannya. Bedanya, akik memiliki ragam corak yang banyak.
Nah, oleh sebagian orang,
harga batu akik ternyata tidak hanya ditentukan oleh tingkat kekerasan atau kejernihannya
semata. Manusia menambah unsur-unsur lain yang biasanya bersifat subjektif,
misalnya corak, guratan, proses mendapatkannya atau siapa yang memakainya sebagai variabel tambahan penentu harga.
Untuk pengukuran subjektif seperti ini, maka kita tentu tidak akan bisa mendapatkan
harga pasti. Pokoknya, semau pedagang atau pembeli saja. Akibatnya, harga akik bisa
melonjak tajam bahkan mungkin melebihi berlian. Bayangkan, sebuah batu bacan bisa berharga 200-800 juta. Siapa sih yang membuat standar harga tersebut?. Makanya, saya sering menyebut
bahwa batu akik adalah batu yang ingin menjadi berlian. Apakah salah? Tentu
saja tidak jika masing-masing pihak paham ceritanya. Suka-suka, sih.
Adapun yang tidak
diperbolehkan tentu saja ketika ada unsur penipuan dalam transaksi bisnis batu.
Para “pemain” batu pemula biasanya selalu menjadi korban. Mereka menjadi korban
dari “harga gorengan” para pedagang. Korban seperti ini pada awalnya ingin menjadi
investor atau kolektor, namun mereka malah menjadi buntung atau rugi. Dalam
Islam, jual beli seperti dengan harga yang sengaja diciptakan tinggi
sangat diharamkan. Namanya, bay al-najjas. Harga diciptakan bukan karena nilai
riil benda, tapi justru karena spekulasi atau konspirasi sekelompok orang.Mereka memanfaatkan keinginan orang untuk tampil hebat atau gaya-gayaan juga :)
Semoga itu tidak terjadi bagi
para pencinta batu akik di negeri ini. Semoga juga para spekulan atau pedagang batu
akik di negeri ini menekuni bisnisnya secara benar. Selamat menikmati indahnya
kemilau batu akik. Jangan lupa untuk bersedekah atau berzakat ya….!!!
0 Comments