Ticker

6/recent/ticker-posts

Akik Mania or Tulip Mania? : Batu Lokal Yang Berhasrat Menjadi Berlian (Negeri "Gaya-Gayaan" bag. 3)

Oleh: M. Ridwan

Indonesia heboh. Kali ini bukan tentang KAA yang akan berlangsung di Jakarta dan Bandung. Bukan pula tentang kisruh elit politik yan tak pernah habisnya atau rencana eksekusi terpidana mati narkoba yang masih diperpanjang. Bukan pula tentang aksi Ahok dan DPRD DKI Jakarta yang selalu menjadi trending topic di media. Berita menghebohkan yang saya maksudkan tidak lain adalah "demam akik" yang melanda seluruh negeri. Menariknya, fenomena terlihat bisa menyatukan berbagai isu heboh lainnya di negeri ini.

Batu akik bukanlah hal aneh di negeri ini. Sejak ratusan tahun lalu, batu akik telah dikenal di negeri ini. Para raja dan sultan di berbagai daerah di Indonesia selalu menggunakan akik dalam berbagai seremoni. Akik juga sering diidentikkan dengan ornamen wajib para jawara, dukun, paranormal atau preman-preman berwajah sanggar. Kita juga pasti akrab dengan pelawak Srimulat yang gemar memakai batu akik yaitu Tessy.

Itu dulu, namun, berkat medsos dan media yang saat ini sedang tren maka batu akik telah menjadi konsumsi berita yang selalu hangat dan menghebohkan untuk dibicarakan. Peminatnya tidak tanggung-tanggung. Dari semua kalangan. Dari ustaz sampai preman, presiden sampai rakyat jelata, laki-laki atau perempuan, bahkan anak-anak SD di tempat saya juga terkena demam akik ini. Tiba-tiba saja, berbagai stand penjualan atau pengasahan batu akik tumbuh bak jamur di musim hujan.  

Lho, memangnya ada yang salah dengan fenomena akik ini?. Jawaban saya, tentu tidak sama sekali. Jika Anda penyuka batu akik, maka silahkan lanjutkan saja kegemaran Anda termasuk melanjutkan membaca tulisan ini. Atau, jika Anda termasuk orang yang sedang belajar menyukainya, maka silahkan dalami lebih lanjut. Perkuat ilmu “perbatuan” yang Anda miliki. Jangan sampai, Anda menjadi korban para pedagang batu – yang katanya suka "menggoreng" harga batunya.

Nah, bagi yang tidak menyukai fenomena ini, silahkan saja. Toh, tidak ada yang memaksa Anda untuk menyukainya. Termasuk untuk melanjutkan membaca tulisan ini :)
 

Lalu, apa yang sebenarnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini?. Tidak lain supaya kita lebih arif dalam menyikapinya. Memang, fakta yang harus kita terima bahwa negeri ini memang sangat kaya dengan batuan indah bernilai jual tinggi. Kualitasnya yahud. Bahkan melebihi negeri-negeri penghasil batu yang lebih dulu dikenal seperti Srilangka, Rusia atau China. Saya masih ingat ketika mengunjungi Srilangka dua tahun lalu. Seorang pedagang batu safir di hotel tempat saya menginap mematok harga 300 dollar untuk sebuah mata cincin kecil berwarna biru, lengkap dengan sertifikat internasionalnya.Saya mendambakan batu sejenis ada di Indonesia.

Maka, fenomena saat ini setidaknya membuat kita bangga. Indonesia juga memiliki batu yang tak kalah indah. Tidak heran pula bila tiba-tiba kita akrab dengan berbagai nama batu. Saya yakin, bagi sebagian orang awam termasuk saya, sangat sulit mengingat jenis bebatuan indah ini, apalagi mendalaminya. Katakanlah seperti Bacan, Lavender, Pancawarna, Jamrud, Janggus, Bio Solar, Lumut Aceh dan lain-lain. Silahkan googling untuk melihat gambarnya. :)

Kembali kepada kearifan. Kendati fenomena batu akik ini adalah sebuah realita, namun pemikiran cerdas dan rasional harus kita gunakan. Kita tentu tidak menginginkan peristiwa seperti Tulip Mania yang menimpa Belanda di tahun di abad ke-17 terjadi di negeri kita. 

Ceritanya, harga bunga Tulip yang merupakan kebanggaan Belanda saat itu melonjak tinggi. Tulip yang melonjak harganya adalah jenis Semper Augustus. Dari harga yang semula hanya 10 Gulden di tahun 1624 melonjak menjadi 6700 gulden di tahun 1637. Penyebabnya, adalah spekulasi para penjual Tulip. Lonjakan ini menyebabkan permintaan yang tinggi terhadap bunga Tulip. Tulip diidentikkan dengan prestise dan simbol kekayaan. Hanya orang kaya yang bisa memilikinya. Pada kenyataannya, Tulip Semper Augustus memang langka. Sayangnya, permintaan ini ternyata bukan hanya untuk kebutuhan saja, tapi juga untuk spekulasi.

Tulip Mania dan  Irrational Exuberance

Kondisi di atas sering disebut irrational exuberance (kegairahan irrasional) dimana secara psikologis semua orang terdorong untuk ikut berinvestasi. Dalam hal ini dorongan untuk membeli bunga Tulip. Kendati ada sedikit kekhawatiran tentang nilai riil dari harga Tulip, namun para investor/pembeli tidak peduli..

Tokoh yang mencetuskan teori ini tidak lain adalah Alan Greenspan. Menurutnya, kondisi naiknya harga harus disikapi dengan bijak karena karakter harga akan turun jika telah menncapai titik tertinggi. Kondisi ini paling ditakuti semua investor dan ini terjadi pada Tulip Mania. Para investor Tulip, misalnya, harus rela kembali menjual harga Tulipnya menjadi kembali ke harga 10 gulden. Mereka menyadari bahwa harga sudah sampai pada titik tertinggi. Mereka juga tersadar bahwa harga tidak mungkin naik lagi. Ribuan investor jelas-jelas merugi, bangkrut bahkan konon katanya banyak yang bunuh diri.

Fenomena seperti ini banyak terjadi dari masa ke masa. Termasuk juga suprime mortgage yang menyebabkan negeri Paman Sam ambruk. Meski sedikit berbeda kasus dan cakupannya, namun suprime mortgage juga membuktikan bahwa harga memang memiliki batas tertingginya.

Di Indonesia, berbagai peristiwa juga pernah terjadi seperti pada bisnis ikan Lohan, bunga Arturium, atau Tokek. Sebagian orang menyebut bisnis seperti ini  adalah monkey business yang menujuk pada prilaku pembeli monyet atau spekulan yang membuat monyet menjadi hewan dengan permintaan yang tinggi padahal dia sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan tinggi dari harga melambung yang dipatoknya sendiri. Untuk kasus batu akik, saya lebih sukai menyamakannya dengan Tulip Mania. Sebutannya tentu Akik Mania (2015). Mana tahu menjadi tren :)

Menurut info dari pakar batu, bahwa batu akik pada dasarnya adalah jenis batu permukaan. Penambangannya tidak lebih dari 100 meter dari permukaan bumi. Berbeda dengan berlian yang proses pembentukannya terjadi jutaan tahun nun jauh dari permukaan bumi. –konon katanya di kedalaman lebih dari 160 km. Sangat dalam bukan?. Proses penambangannya yang sulit membuat berlian memiliki harga internasional yang tinggi dan spesifik. Harga ini ditentukan dari berbagai aspek terutama tingkat kekerasannya. Berlian hanya bisa dipotong dengan berlian juga. 

Maka tak heran kalau kita pernah mendengar ungkapan “Berlian adalah abadi.” Ungkapan ini yang menggambarkan bahwa berlian itu telah ada sebelum manusia ada di muka bumi dan akan terus ada ketika kita tiada. Berlian adalah unsur terkeras di dunia saat ini. Penambangan berlian terkenal saat ini berada di Afrika karena disana terdapat jalur berlian. Sedangkan daerah lainnya dianggap tidak memiliki jumlah berlian yang signifikan. 

Lalu, “siapakah” batu akik?. Berbeda dengan berlian, batu ini memiliki kekerasan yang lebih rendah. Persediaanya-pun cukup banyak di permukaan bumi. Penambangannya cukup mudah termasuk proses pemotongannya. Bedanya, akik memiliki ragam corak yang banyak.

Nah, oleh sebagian orang, harga batu akik ternyata tidak hanya ditentukan oleh tingkat kekerasan atau kejernihannya semata. Manusia menambah unsur-unsur lain yang biasanya bersifat subjektif, misalnya corak, guratan, proses mendapatkannya atau siapa yang memakainya sebagai variabel tambahan penentu harga. Untuk pengukuran subjektif seperti ini, maka kita tentu tidak akan bisa mendapatkan harga pasti. Pokoknya, semau pedagang atau pembeli saja. Akibatnya, harga akik bisa melonjak tajam bahkan mungkin melebihi berlian. Bayangkan, sebuah batu bacan bisa berharga 200-800 juta. Siapa sih yang membuat standar harga tersebut?. Makanya, saya sering menyebut bahwa batu akik adalah batu yang ingin menjadi berlian. Apakah salah? Tentu saja tidak jika masing-masing pihak paham ceritanya. Suka-suka, sih.

Adapun yang tidak diperbolehkan tentu saja ketika ada unsur penipuan dalam transaksi bisnis batu. Para “pemain” batu pemula biasanya selalu menjadi korban. Mereka menjadi korban dari “harga gorengan” para pedagang. Korban seperti ini pada awalnya ingin menjadi investor atau kolektor, namun mereka malah menjadi buntung atau rugi. Dalam Islam, jual beli seperti dengan harga yang sengaja diciptakan tinggi sangat diharamkan. Namanya, bay al-najjas. Harga diciptakan bukan karena nilai riil benda, tapi justru karena spekulasi atau konspirasi sekelompok orang.Mereka memanfaatkan keinginan orang untuk tampil hebat atau gaya-gayaan juga :)

Semoga itu tidak terjadi bagi para pencinta batu akik di negeri ini. Semoga juga para spekulan atau pedagang batu akik di negeri ini menekuni bisnisnya secara benar. Selamat menikmati indahnya kemilau batu akik. Jangan lupa untuk bersedekah atau berzakat ya….!!!


Post a Comment

0 Comments