“When you can see God
in small things, you'll see God in all things.”
― Wise Word-
― Wise Word-
To the point saja.
Covid-19 sedang mewabah. Ikhtiar sudah dilakukan manusia. Lockdown, social distancing, sampai kepada pembuatan antivirus.
Tinggallah masa menunggu.
Harap-harap cemas. Antara khauf dan raja’ kata para ustaz.
Harap-harap cemas. Antara khauf dan raja’ kata para ustaz.
Soalnya, meski pengidapnya bisa sembuh tapi sebaran wabahnya begitu
massif. Siapa yang tak takut.
Lalu, katakanlah vaksin anti Covid-19 ditemukan, dalam waktu
3-6 bulan mendatang –itu doa kita pastinya-, lalu, ada pertanyaan, saya
kira cukup menggelitik,
”Seperti apa peran Tuhan di hati manusia ketika wabah Corona ini
SIRNA, di muka bumi?.
“Akankah Dia KEMBALI disembah dan dihargai oleh manusia
sebagai Tuhan, dengan penuh keiklasan?.
“Atau, apakah mungkin keberadaan Tuhan justru akan “hilang?, di hati penduduk bumi?”
Maaf, jangan salah arti dengan pertanyaan "konyol" di
atas.
Setidaknya ada beberapa sebaba mengapa pertanyaan itu muncul.
Mari kita lihat,
Kasus Corona pertama muncul di Wuhan, sebuah kota di Tiongkok
yang mayoritas penduduknya adalah komunis alias tidak percaya kepada agama
apapun. Lebih dari 1 milyar penduduknya tidak beragama seperti di banyak negara
lain.
Saya lanjutkan,
Awalnya Wuhan menjadi ibarat kota mati karena Lockdown.
Gegara itu,
Tiongkok menjadi tersangka utama wabah Corona yang kini menyebar ke seluruh
dunia. Gegara itu pula, sikap rasis acapkali di terima warga Tiongkok.
Mereka dianggap pembawa wabah. Tak terkecuali di Amerika dan mungkin negeri ini.
Mereka dianggap pembawa wabah. Tak terkecuali di Amerika dan mungkin negeri ini.
Namun, apa yang terjadi kini?
Wuhan kini mulai pulih.
Mereka berhasil recovery. Aktifitas ekonomi mulai menggeliat kembali. Bahkan kini, Tiongkok
menjadi pahlawan membantu penanggulangan Corona yang justru menggila di luar
China meski awalnya dianggap pembawa wabah.
Sementara, Corona justru menggila di luar China, menakutkan. Ribuan orang tewas.
Negera hebat seperti di Itali, Perancis, Jerman bahkan di Amerika
Serikat kehilangan taji dan nyali. Ketakutan menyebar, rakyat dan pemimpin kadang saling menyalahkan. Padahal sama-sama menjadi korban sang virus.
Akibatnya, seperti yang kita baca, pemerintah di lebih 200
negara kelimpungan, terbayang dampak buruk ekonomi, sosial dan tentunya politik.
Korban berjatuhan, ribuan nyawa melayang, ribuan perusahaan tutup, PHK
mengancam, dan target ekonomi melesat jauh.
Penduduknya bumi terancam dalam
ketidakpastian. Meskipun –katanya- vaksin anti Covid akan ditemukan tak lama
lagi.
Tragisnya, negara-negara yang diserang Corona termasuk yang menjadi simbol agama juga. Misalnya Italia, Arab Saudi, Israel, Iran bahkan India.
Aktifitas
keagamaan di negara-negara itu pun terganggu. Rumah ibadah terancam sepi, tanpa
kecuali dianggap bisa menularkan wabah. Gimana lagi.
Bahkan baru di tahun kali ini, kita menyaksikan ribuan jemaah
umrah dipulangkan ke negeri masing-masing meski sudah sampai ke tanah suci. Tragis
sekali. Moga ibadah haji tahun 2020 ini tidak pula terganggu. Jika sampai Arab Saudi membatalkan karena wabah merajalela. Entah
seperti apa dunia Islam menyikapinya.
Wajar, tokoh agama kebingungan dan bertanya,
“Apa yang terjadi dengan dirimu wahai dunia?.
Apakah Tuhan sedang MARAH? Memberi
azab atas DOSA yang diperbuat manusia?,.
Dan, mereka juga berdebat, apakah ini azab, musibah, atau ujian. Tak tahu siapa pemenang.
Tokoh-tokoh agama pasti menyerukan ajakan kembali kepada Tuhan, BERTOBAT dan menyadari kesalahan.
Dan, mereka juga berdebat, apakah ini azab, musibah, atau ujian. Tak tahu siapa pemenang.
Tokoh-tokoh agama pasti menyerukan ajakan kembali kepada Tuhan, BERTOBAT dan menyadari kesalahan.
Sebagian lagi menyatakan bahwa ini pertanda kiamat karena sangat nyata. Ddimulai dari berbagai peperangan, kerusakan alam sampai fenomena seperti
ini. Wallahu a’lam.
Nah, saya kembali ke Tiongkok tadi. Dari sini pertanyaan
krusial itu muncul.
Apa yang akan dijawab seorang penganut agama, sekiranya,
seorang komunis Tiongkok berkata bahwa Tuhan itu tidak ada?,
Apa yang akan menjadi sanggahan kaum beragama ketika,
misalnya, seorang komunis menyatakan “Tuhan kalian tak bisa lagi memberi perlindungan
kepadamu?.
Atau mereka beragurmen
“Jika tempat sucimu tak lagi bebas dari Corona, bukankah
artinya Tuhan tidak lagi butuh manusia?”. Kenapa kalian masih setia menyembah
Tuhan? Toh, kami saja bisa sembuh tanpa memohon kepada Tuhan. Kami menggunakan
akal pikiran, bukan bantuan TUHAN”
Pertanyaan menohok bukan? Lalu, apa jawabanya kita?
Katakanlah sebagian kaum beragama bisa menjawabnya -dengan
ketangguhan iman dan keyakinan yang dimiliki tentunya- bahwa virus ini adalah RAHASIA
Tuhan, supaya manusia mendekat kepada-Nya. Sebagian lain mengatakan ini UJIAN atau
mengatakan bahwa virus adalah ciptaan Tuhan, demikian juga antivirusnya. Tuhan
ada di balik semua kejadian. Ambil hikmah dst. Tentunya, ini jawaban normatif
yang kita akui.
Tapi, apa yang terjadi dengan orang yang mudah RAGU dengan agamanya?
Tidakkah pertanyaan itu akan menggoyahkan, katakanlah mungkin bagi generasi atau siapa saja yang agaknya
tak peduli lagi dengan hikmah bahkan Tuhan? Mereka yang lebih sibuk mempelototi
gadget, berjoget ria dan selfie, ketimbang mempelajari agama dan memperteguh
iman?. Nyata bukan?
Tidakkah terbuka peluang, jika dalam kondisi seperti ini sebagian kita
bisa saja menjadi ragu dan mungkin bertanya "dimana Tuhan
dalam kondisi gawat seperti ini?
Maka, Corona ini bisa menjadi musibah besar bagi kita, kaum
beragama yang lemah iman.
Wabah Corona mungkin hanya berusia beberapa bulan atau
katakanlah 1 atau 2 tahun. Tapi, ia bisa memakan korban lebih tragis dari
korban jiwa. Keberadaannya bisa membunuh IMAN atau AKIDAH..!!!.
Proses
De-IMANISASI atau DE-AKIDAHISASI cepat atau lambat bisa terjadi. Manusia lari
dari TUHAN kendati wilayahnya di lockdown sekalipun.
Apalagi jika jika KEBERIMANAN seseorang itu hanya terkait
dengan simbol-simbol agama.
Misalnya, terkait tempat suci seperti Vatikan, Mekkah Madinah,
Yerusalem, atau India. Jika hanya terkait simbol, IMAN di hati lebih muda tergerus.
Kita tentu berharap analisis di atas tidak terjadi. Anggap ini
tulisan super lebay.
Kita pasti berupaya menguatkan iman dan keyakinan bahwa saat
ini Tuhan memang sedang menguji atau memberikan peringatan kepada manusia.
UJIAN TERBERAT ABAD ini…!!
Kita pasti akan menyatakan kepada Tuhan bahwa apapun yang
terjadi adalah atas kehendak-Nya. Dengan PRASANGKA BAIK. Kita ikhlas dan tawakkal.
Kita pasti TIDAK RAGU bahwa Tuhan memang sedang mengajak manusia
untuk dekatnya kepada-Nya. Dengan cara yang yang memang tak terbayangkan, dan ekstrim
seperti ini.
Kita Berdoa, ketahanan iman PENDUDUK BUMI akan tetap kuat, katakan
100 atau 300 hari mendatang untuk meyakini keberadaan Tuhan. Melihat-Nya di virus kecil bernama Corona.
Seperti ungkapan
bijak “When you can see God in small
things, you'll see God in all things” ketika kamu mampu melihat Tuhan dalam
hal-hal kecil, maka kamu akan mampu melihat Tuhan di semua keadaan.
Sebaliknya, jika Ia justru tak "terlihat, bukankah 40 hari atau 100 saja adalah waktu LEBIH
DARI CUKUP membuat manusia berpaling dari satu KEBIASAAN kepada kebiasaan yang
lain? Termasuk KEBIASAAN BERIMAN?. Na’zubullah min zalim.
Akhirnya saya mengutip puisi Gus Mus yang menyentuh:
Bila ini bukan karena kemurkaanMu kami tidak peduli
Bila ini karena cinta dan rinduMu kepada kami
Bimbinglah kami
untuk segera datang, Tuhan, memenuhi PanggilanMu
Terimalah.
Ya Allah, tetapkanlah keimanan kami. Jangan palingkan IMAN hati ini setelah Engkau beri PETUNJUK. Amin..
Bila ini karena cinta dan rinduMu kepada kami
Bimbinglah kami
untuk segera datang, Tuhan, memenuhi PanggilanMu
Terimalah.
Ya Allah, tetapkanlah keimanan kami. Jangan palingkan IMAN hati ini setelah Engkau beri PETUNJUK. Amin..
0 Comments