Ticker

6/recent/ticker-posts

Komunis Millenial: Antara Life Style, Eskapisme dan Sakit Hati Ekonomi

By: M. Ridwan

Acara Indonesian Lawyer Club tadi malam cukup berkesan. Tema yang dipilih oleh Karni Ilyas, -pemandu acara yang disiarkan TVONE- yaitu "PKI: Hantu atau Nyata?" juga sangat mengena terlebih ketika ia menghadirkan para pihak yang dianggap mewakili kubu pro dan kontra terhadap isu kemunculan PKI di Indonesia. Terlihat perwakilan Komnas HAM, LBH Jakarta, Sukmawati (Putri Bung Karno), Ilham Aidit (Putra Aidit, pentolan PKI tahun 1965),  anggota DPR, Ketua Lemhanas, Sejarawan Politik Salim Said dan tentunya mayjen (Purn) Kivlan Zein, purnawirawan yang sangat getol mengaungkan kebangkitan PKI di Indonesia. Selain itu, acara ini juga menghadirkan seorang tokoh atau simpatisan PKI yang mengaku sebagai korban pembersihan PKI yang dilakukan pemerintah Orba. Komplit....

Lalu, apa hasil diskusi ILC yang berakhir sampai pukul 12.10 menit tadi malam?
Enaknya sih, lihat saja rekaman ulangnya, soalnya pasti akan ada perbedaan pemahaman atas acara tadi malam. Namun, kalau saya yang yang ditanya, maka setidaknya ada beberapa hal yang saya ambil kesimpulan. Apa itu?

1.Sejarah PKI memang coretan kelam negeri ini. Peristiwa ini nyata-nyata memakan korban yang tidak sedikit. Baik korban dari kekejaman PKI sendiri seperti para jendral, kyai, ulama ataupun masyarakat sipil. Termasuk juga korban dari anggota atau masyarakat yang diduga antek PKI.  

2. Ada upaya simpatisan PKI untuk terus mengungkit sejarah kelam tersebut dengan mengatasnamakan pelanggaran HAM yang dilakukan negara kepada anggota dan terduga PKI. Isu yang dibawa adalah pelurusan sejarah. Satu sisi, kalangan yang kontra PKI justru mempertanyakan niat itu sebagai upaya klise dan tidak fair. Pro PKI dianggap menutup mata atas pelanggaran HAM yang justru terang benderang dalam sejarah. Alih-alih untuk meluruskan sejarah, niat pro PKI tidak lain hanya untuk menancapkan kembali idiologi atau minimal pengaruh komunis di bangsa ini.

3. Adanya keinginan rekonsiliasi atas sejarah PKI Indonesia. Namun, supaya terjadi rekonsialisi yang fair dan mengakomodir semua pihak, maka harus ada saling keterbukaan dan kejujuran masing-masing pihak untuk intropeksi atas kesalahan masing-masing. Harus ada data yang akurat berapa banyak korban dari masing-masing pihak.
Misal, sebagaimana saran Kivlan Zein, pihak yang pro PKI harus membuka mata dan mengakui bahwa PKI  telah melakukan banyak kejahatan kemanusiaan. Jangan seenaknya berkoar-koar di dunia internasional saja. Namun, pada sisi lain, juga harus ada pengusutan dan kejelasan nasib korban dugaan kejahatan kemanusian yang dilakukan rejim ORBA atas anggota atau diduga PKI secara adil. Rekonsialisasi model ini yang tepat.

Nah, kedua pihak harus membuka diri dan tidak hanya melihat pada dirinya sendiri. Kalau perlu semua membawa data dan menumpahkan uneg-uneg masing-masing untuk selanjutnya saling berjabat tangan dan melupakan masa lalu menyongsong masa depan yang lebih baik. Masa depan bangsa ini terlalu mahal untuk ditukar dengan polemik yang terus berkepanjangan. Wow,, apakah saran ini akan mudah dilakukan?. Wallahu a'lam, saya agak ragu terlebih jika masalah ini ditarik ke ranah politik.

Acara ILC tadi malam setidaknya berhasil membuka wawasan kita untuk seharusnya peduli dan waspada terhadap ancaman ideologi menyimpang yang mungkin muncul di negeri ini.  Bukan hanya ideologi komunis -seperti yang sudah pernah saya bahas di tulisan sebelumnya- namun juga ideologi impor menyimpang dari pengamalan Pancasila kita, termasuk idiologi kekerasan dan teroris itu. Nah, dari sini pasti akan muncul berbagai masalah baru.

Terkait PKI atau idiologi komunis, saya kira seandainyai nanti muncul di Indonesia -meski negara pengusung ideologi ini sudah kolaps- pastilah komunis yang sudah bermetamorfosis ke dalam bentuk modern atau milenial. Penyebabnya mungkin tidak jauh dari 3 (tiga) hal, yaitu Life Style, Eskapisme atau Sakit Hati Ekonomi (istilah made in dewe lagi nih). Artinya ada 3 motif berbeda.

Life Style  berarti bahwa seseorang mengusung ikon-ikon PKI seperti palu arit atau dengan bangga memakai kaos bergambar Karl Marx yang berewok itu hanyalah untuk sekedar tampil beda dan objek selfie semata sih.  Untuk gaya-gaya lah. Biar dibilang keren kalau pakai baju kaos bergambar palu arit, dianggap hebat dan unik. Sesederhana itukah?. Bisa jadi. 

Soalnya, saya pernah bertemu dengan seorang anak muda yang sangat berhasrat memiliki buku Das Kapital buah karya Marx itu. Katanya, ia ingin terlihat hebat dan dianggap intelek gitu. Ketika orang lain merasa kesulitan memahami isinya, ia semakin tertarik untuk memahaminya. Biar ada nilai beda katanya. Tipikal anak muda yang menyukai tantangan nih.

Atau seperti beberapa kalangan aaak muda yang gemar menjual istilah revolusi kendati tak jelas tujuannya. 

Lalu, bagaimana pula dengan eskapisme?
Eskapisme itu itu artinya upaya keluar dari berbagai masalah, entah itu keuangan, kesehatan atau hubungan sosial. Bahasa gaulnya, pelarian dari masalah hidup. 

Dugaan saya, kondisi saat ini, bisa saja membuat seseorang yang tertekan dengan rutinitas hidup dan permasalahannya akan mencari pelarian ke idiologi komunis. Termasuk memilih bergabung dengan kelompok teroris. Kedua kelompok ini membangun mimpi utopis (khayalan) masing-masing. Kalau komunis memimpikaan keseteraan ekonomi dan pendapatan. Sedangkan teroris memimpikan dunia yang bebas dari hegemoni negara kuat. Siapa sih yang tak tertarik? Apalagi bagi anak muda dan kaum tertindas yang merasa kalah dalam persaingan memiliki kapital. Wah, jadi pelarian tuh..

Nah, yang saya khawatirkan, justru jika faktor ketiga yang lebih dominan. Apa itu? yaitu faktor sakit hati ekonomi atau kecemburuan sosial. Seseorang yang hatinya mudah "teriris" melihat orang lain kaya, sukses, tajir dan memiliki kekayaan, sementara ia tidak memiliki daya juang dan saing yang tinggi serta iman yang kuat, pasti akan mudah jatuh ke jurang komunis. Mudah diprovokasi dan diimingi-iming jalan pintas.

Saya sering mendengarkan pernyataan ketus masyarakat ketika menyaksikan sebuah mobil mewah melintas. " Kok dia bisa beli mobil ya?, jangan-jangan dia korupsi", atau seorang anak muda yang marah dan berkata," aku benci melihat etnis itu menguasai ekonomi".  

Hati-hati, 
Kebencian seperti ini bisa menemukan tempatnya di dalam ideologi komunis. Apalagi jika tidak ada landasan agama. Jargon yang diusung "hantam semua borjuis dan biarkan kaum protelar, miskin dan buruh menguasai". Propoganda ini mudah disulut apinya. Idiologi komunis bisa bermetamorfosis menjadi komunis millenial. Yaitu yang komunis yang diminati para generasi millenial untuk gaya-gayaan, dan tampil beda saja.Benar bukan?

Namun, harus diingat,,,bagi siapapun yang masih bermimpi mewujudkan idiologi komunis millenial atau ingin mencoba merasakan sensasi hidup di bawah idiologi ini, harus memahami bahwa komunis sudah gagal dipraktikkan di berbagai dunia.

Sebabnya,?
Tidak lain karena kesamaan (equality) yang digembar-gemborkan justru mematikan nilai keadilan. Siapa sih yang mau ketika kerja kerasnya harus dihargai sama dengan orang yang malas dan ogah-ogahan?. Apakah kredibilitas pemimpinnya sudah teruji dan tidak tergiur dengan kemewahan?. Lihat saja nasib Korea Utara yang miskin dan terkucil. Warganya hidup seperti budak dan mengelu-elukan pemimpinnya dengan terpaksa.

Maka, idiologi ini pasti tidak akan bertahan lama meski seandainya ia berhasil eksis untuk beberapa waktu saja. Tapi, saya berdoa, komunis millenial versi Indonesia tidak terwujud karena harga yang harus dibayar sangat mahal sekali. Idiologi komunis yang menghalalkan aksi anarkis akan membuat negeri bisa berdarah-darah. Mungkin bisa eksis di awal berdiri namun mudah hancur setelah berjalan. Demikian pola yang kita saksikan dalam sejarah. Masih berminat? 

Lalu apa saran untuk negeri ini?
Memang, agaknya, sudah takdir kita menjadi negeri pengekor ya,,,Maklumlah, kita sudah lama menjadi korban penjajah. Akibatnya rasa percaya diri hilang dan kita mudah menjadi peniru ulung bahkan lebih lebay ketimbang pencetus konsep itu sendiri. Orang pakai kapitalis, kita lebih kapitalis. Orang pakai komunis, kita mengekor dan lebih komunis dari mereka. Lebih kapitalis dari Amerika atau lebih komunis dibandingkan Korut.  Berabe bukan?

Sayangnya kita sering lupa sejarah...
Founding Fathers negeri ini sudah mengantisipasi isu komunis dan kapitalis itu jauh-jauh hari. Sebut saja, Bung Hatta, yang telah menawarkan konsep ekonomi kerakyatan atau Pancasila. Sistem ekonomi made in Indonesia ini mengakomodir kepemilikan kapital yang merupakan naluriah manusia, namun pada sisi lain juga mengusung keadilan. Keren, bukan?.  Konsep ini seharusnya membuat kita bangga lho karena berhasil mempertemukan dua kutub yang berbeda. Hanya orang Indonesia yang bisa melakukannya. Merdeka....!!

Seharusnya ekonomi kerakyatan dengan ikon koperasinya sudah lama bisa memakmurkan negeri ini. It should be...
Makanya, Professor saya, Sri Edi Swasono (menantu Bung Hatta) tak bosan-bosannya mengingatkan kami untuk terus memperjuangkan ekonomi Pancasila yang -menurutnya- sangat islami itu.

"Anda bayangkan, sebelum Eropa mengenal peradaban, kita telah membangun Borobudur lengkap dengan sistem pertanian dan pangan di sekelilingnya. Ketika Eropa masih berada dalam abad kegelapan, kita telah berhasil membuat keris yang melengkung dan unik itu. Kita mengenal sistem KB dengan metode penanggalan. Kita ini hebat, namun kenapa terus menjadi pengikut dan tak bertaji?" demikian uneg-uneg beliau yang sering kami dengar.

Yes, untuk membendung idiologi komunitas dan idiologi menyimpang lainnya, kenapa tidak kembali menerapkan ekonomi Pancasila yang Islami itu? Ketimbang mau tambil beda dan merasa sakit hati dengan ketimpangan sosial ekonomi, kenapa kita tidak mengaungkan kembali ekonomi kerakyatan dengan asas kekeluargaan itu? Mana Indonesiamu?

Semudah itu?
Yes, semudah itu. Ketimbang harus memahami buku Das Kapital yang sudah jadul itu, atau melakukan diskusi diam-diam dan membangun gerakan bawah tanah, kenapa kita tidak menghadapi permasalahan negeri ini secara bersama-sama dengan senyum dan rangkulan mesra? Ayo bangun Indonesia, tinggalkan komunis dan kapitalis. Terapkan ekonomi kerakyatan. Mengapa tidak?

Wallahu a'lam..

Post a Comment

0 Comments