By: M. Ridwan
Saya bersyukur bisa menghadiri Kuliah Umum yang diadakan di UINSU kemarin. Pematerinya adalah Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA, Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Alquran sekaligus Komisaris Bank Mega Syariah. Temanya menarik yaitu "Membaca Ulang Alquran". Uraiannya padat dan mengalir. Memang, beberapa kali saya mendengar beliau berceramah, kesan itu memang begitu adanya.
Prof. Nasaruddin membuka kuliah dengan sebuah pertanyaan. Mengapa Jibril menyuruh Muhammad membaca Iqra' sampai 3 kali ketika menerima wahyu di Gua Hira?. Bukankah tidak masuk akal jika penghulu malaikat ini melakukan pengulangan karena kesalahan perintah? Mengapa ia melakukan redundant, aneh bukan?
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan menguraikan bahwa Iqra' yang artinya "membaca" itu sebenarnya memiliki beberapa tingkatan pemahaman yaitu How to read, How to learn, How to think, How to understand, How to meditate, dan How to disclosure (Mukasyafah). Wah, ternyata membaca itu tidak sekedar melek melihat buku atau gadget ya.
Beliau juga menjelaskan bahwa sudah saatnya umat Islam saat ini kembali memahami Alquran sebagai kalamullah dan bukan sekedar kitabullah. Apa maksudnya?.
Alquran sebagai kalamullah mengandung pengertian bahwa Alquran ini memiliki berbagai fungsi baik berkenaan dengan fungsi pemahaman intelektual, emosional maupun spiritual. Sedangkan, Alquran sebagai kitabullah dimaksudkan bahwa ia hanya dipahami dalam kacamata intelektual semata. Misal, dari aspek tulisan dan terjemahannya.
Sebagai kitabullah, Alquran bisa saja dipelajari oleh non muslim sekalipun. Banyak ahli dari Barat yang mampu mempelajari Alquran dengan sangat baik. Mereka mampu menelaah aspek sejarah dan kandungan makna tekstualnya, namun sebatas aspek kitabullah semata.
Sedangkan aspek kalamullahnya hanya bisa dirasakan dan dipahami oleh kaum muslimin semata.
Sayangnya, jangankan untuk memahami Alquran dari sisi kalamullahnya, umat Islam bahkan banyak yang tidak mampu mempelajari Alquran dari sisi kitabullah. Jangankan untuk memahaminya, untuk membacanya saja banyak yang masih ogah dan tidak mampu. Sok sibuk sih, iya kan?
Nah, ada hal yang paling menarik dari materi Prof. Nasaruddin kemarin yaitu tentang Islam Indonesia. Saya katakan menarik karena setidaknya penjelasannya menambah alasan saya menjadi semakin betah di Indonesia :). Lho?
Begini,
Saya sering berdiskusi dengan banyak orang mengenai sebuah pertanyaan. Mengapa kita dilahirkan di Indonesia, bukan di Arab atau di Eropa?. Mengapa takdir kita harus hidup dan menjadi muslim di negeri yang katanya banyak masalah ini? :)
Saya memang punya beberapa jawaban. Jawaban yang paling saya sukai yaitu Allah menempatkan kita di negeri ini karena Dia yakin bahwa kita akan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan negeri ini. Seolah Dia mau katakan, "Aku tempatkan kalian di negeri banyak masalah ini, supaya kalian bisa belajar berkontribusi dan membaikkan negeri ini, dengan kehebatan kalian". Mulia dan bangga ya?
Nah, Prof Nasaruddin mengatakan bahwa Islam Indonesia ini harus dirawat. Mengapa? Karena umat Islam negeri ini telah "berhasil" menunjukkan image Islam yang damai dan toleran. Indonesia berbeda dengan negeri Arab sekalipun dalam hal tampilan muslimnya. Kesan Islam anarkis dan teroris masih sulit ditemukan di Indonesia. Bahkan anggota ISIS asal Indonesia disinyalir sangat sedikit. Apa sebabnya? Ternyata karena nature Indonesia adalah negeri ramah dan toleran tadi, hebat ya?
Makanya, dunia Islam harus "berterima kasih" kepada muslim Indonesia. Image Islam yang radikal dan anti toleran yang dipahami Barat saat ini terbantahkan dengan adanya Indonesia.
Makanya pula, terkait ekonomi Islam, kita harus memakmurkan Indonesia juga. Mengapa? Jawabannya, kalau Indonesia gagal menjadi negara makmur dan sejahtera, bersiaplah untuk menerima kritikan dari negara lain. Bersiaplah negara lain memandang remeh ekonomi Islam. Hal ini dikarenakan muslim Indonesia adalah mayoritas penduduk muslim dunia, maka bagus tidaknya citra ekonomi Islam tergantung keberhasilan kemakmuran Indonesia.
Makanya, kita bersyukur menjadi muslim Indonesia. Ternyata, kita menjadi "penanda dan martabat" Islam dunia ya?. Syukurlah.
Nah, apakah masih merasa resah tinggll di Indonesia?. Seharusnya tidaklah. Wallahu a'lam.
0 Comments