Oleh: M. Ridwan
Kemarin, para supir taksi dan angkutan berdemo di Jakarta. Mereka menuntut penutupan aplikasi Uber Taxi dan GrabCar. Kedua perusahaan ini sebenarnya tidak memiliki sarana transportasi sendiri. Mereka hanya menjembatani transportasi dengan aplikasi berbasis internet. Canggih, kompetitif dan tentu saja, kreatif.
Uber didirikan tahun 2009 lalu. Bermarkas di San Fransisco, perusahaan besutan Travis Kalanik dan Garret Camp ini merambah dunia. Dimulai tahun 2012 dan kini telah merambah lebih dari 50 negara. Omsetnya telah mencapai lebih dari 60 milyar Dolar. Ccckkk.....
Sedangkan Grab, hampir sama dengan Uber. Bedanya, si Uber menggunakan kartu kredit dan si Grab membolehkan uang cash. Inovatif-lah.
Dengan aplikasi ini, seorang pelanggan akan merasakan kemudahan menggunakan jasa taksi di ujung jarinya, tanpa dikhawatirkan dengan proses berbelit dan tidak pasti. Ya, kepastian tentang jarak tempuh, rate harga dan tentunya pelayanan.
Lalu, apakah taksi atau angkutan lain tidak ada menawarkan hal yng sama?. Saya kira tidak juga. Beberapa taksi khususnya di Jakarta, setahu saya, menawarkan service yang memuaskan. Dengan supir yang kompeten dan tarif yang wajar, beberapa perusahaan taksi terlihat sangat digemari masyarakat. Mereka menggunakan IT juga kok, kendati masih sebatas panggilan dan GPS terbatas. Tapi, mereka kalah canggih dengan Uber dan Grab Car tadi.
"Kekalahan" transportasi konvensional juga ditengarai disebabkan, beberapa oknum penyedia jasa yang nakal dan mau cari untung banyak.
Saya pribadi, pernah punya pengalaman buruk dengan "argo kuda" yang begitu tinggi. Bayangkan, jarak dari Ciputat ke Fedex dan sekitaran Pondok Indah kena 70 ribu?. Hehe, padahal rute saya masih jauh. Ciledug. Berapa pula biayanya?. Hehe, gua kena kibul nih.
Belum lagi pengalaman dengan supir taksi yang tidak kooperatif dengan pilihan rute yang kita pinta. Dibawa muter-muter. Maklum, dulu saya gaptek dengan jalanan di Jabodetabek (jangan ditanya kini ya:), sombong, ah.
Tidak hanya di Jakarta, lho. Di Medan juga kok. Dulu, taksi di kota Medan sudah biasa tidak pakai argo, lho. Dapat dibayangkan, betapa tidak pasti tarifnya. Kesal dan ngedumel?, pasti sedikitpun tidak diterge oleh penyedia taksi.
Syukurlah, sekarang sudah banyak berseliweran taksi dengan argo resmi. Lagipula, jumlah driver yang "nakal" itu sedikit kok dan tetap tidak menyurutkan keinginanan untuk menggunakan jasa taksi. Iya kan? Jangan tersinggung ya wahai para driver.
Tapi kondisi berkata lain. "Kenyamanan" transportasi konvensional terganggu.
Teknologi merubah segalanya dan menawarkan hal yang lebih menarik. Kali ini merambah dunia transportasi. Konsep tentang jasa angkutan konvensional "dibabat" oleh sistem berbasis IT. Tidak ada lagi tarif dan rute yang unclear karena GPS telah mengambil alih. Demikian pula tampilan karakter supir ramah dan melayani melengkapi kesempurnaan Uber dan Grab melawan transportasi konvensional.
Apakah Indonesia kecipratan rejeki atau mendapat "malapetaka" dengan beroperasinya perusahaan dari Pam Sam ini?. Tergantung. Dia tentu menjadi rejeki bagi masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan, atau konsumen pengguna yang ingin merasakan kemudahan dan pelayanan prima.
Sebaliknya, ini tentu malapetaka bagi perusahaan angkutan konvensional. Mereka terancam gulung tikar. Everywhere, we find UberTaksi dan GrabCar. Bisa habis lahan rejeki gue, mungkin begitu dalam pikiran pemilik transportasi konvensional.
Itulah dampak teknologi. Dalam hal ini teknologi IT.
Beberapa waktu lalu, keberadaan Go Ojek juga dianggap "menganggu" keberadaan ojek konvensional yang -mungkin juga sering tidak profesional". Bahkan, ada kasus bentrok dan demo juga. Para ojeker konvensional merasa tersaingi.
Lalu, apa pelajaran dari aksi demo ini?
Tentu saja, hal yang paling bijak adalah mengkrabkan diri dengan IT. Bahasa mudahnya, jangan alergi. Bahaya...
Memang, dampak negatif yang akan muncul juga harus diantisipasi. Tapi biasanya, dampak itu terjadi akibat pola penggunaan IT yang over, tanpa filter atau gaptek sama sekali. Selebihnya, IT pasti berdampak positif.
Saran saya,
Duduk bersamalah, wahai para pemilik, supir transportasi dan tentunya pemerintah. Selesaikan dengan kepala dingin. Tentu saya sangat tidak setuju jika pilihan penyelesaiannya adalah dengan memblokir aplikasi Uber dan Grab. Ngak bakalan efektif. Itu tindakan anak-anak. Apa kata dunia? Ibaratnya, kalau marah dengan tikus, jangan lumbung padi yang dibakar. Hehe, ngak nyambung ya:)
Yang jelas, tanyakan juga hati nurani. Sudahkah kita memang mau melayani dengan maksimal?
Konsumen itu rational man, sih. Mereka akan memilih produk yang bagus, murah dan memberikan pelayanan maksimal. Mereka sensitif sekali dengan nilai plus.
Lagi pula.
Kita hidup di dunia kompetisi. Dalam kajian ekonomi mikro, hal ini disebut pasar persaingan monopolistik. Siapapun bisa jadi pemenang sekaligus bisa jadi pecundang. Tinggal saja, pintar-pintarlah menyikapinya. Lagi-lagi, listen to your heart.....
0 Comments