Pagi ini pengajian subuh di perumahan kami membedah salah satu materi di buku The Handbook of Family Financial Planning. Ceritanya tentang life style (gaya hidup) yang salah saprah dan cara menyikapinya. Silahkan baca pada bagian 22 buku itu ya. Intinya, salah kaprah dalam gaya hidup itu ternyata berisiko pada biaya tinggi dan mematikan sehingga harus disikapi dengan bijak.
Lalu, apakah sih gaya hidup itu?
Secara istilah, life style adalah cara hidup individu, keluarga atau masyarakat yang dimanifestasikan ke dalam lingkungan fisik, psikologi, sosial atau ekonomi secara rutin setiap harinya.
Life style bisa diekspresikan dalam pola kerja ataupun kepribadian baik dalam aktifitas, sikap, minat, nilai-nilai, atau alokasi pendapatan. Sehingga, life style bisa diterjemahkan sebagai refleksi dan cara seseorang melihat dirinya dan bagaimana pula keyakinannya terhadap orang lain ketika melihat dirinya.
Dikarenakan life style merupakan gabungan berbagai motivasi, kebutuhan dan keinginan seseorang, maka ia sangat dipengaruhi oleh budaya, keluarga, kelompok ataupun kelas-kelas sosial.
Pengertian itu saya ambil dari kamus bisnis lengkapnya bisnisdictionary.com. Cek saja di sana ya.
Saya hanya mau menyimpulkan bahwa gaya hidup itu seharusnya holistik, dalam arti bahwa ia mencakup dimensi fisik, ruhani ataupun pikiran. Gaya hidup tidak sekedar tampilan fisik atau materi semata.
And the problem begins....
Masalahnya adalah, manusia mudah terjebak dengan gaya hidup artifisial. Inilah yang disebut gaya hidup salah kaprah tadi. Lalu siapa yang mengatakannya salah? Apa tolak ukurnya?
Gaya hidup salah kaprah terjadi jika dorongan "bergaya" itu sebatas karena faktor fisikal atau lingkungan semata. Atau, gaya hidup yang membatasi pada alokasi pendapatan dan konsumsi semata. Contoh, apa yang terpikir dari kata gaya hidup modern? Bukankah seharusnya gaya hidup modern itu diwujudkan dalam bentuk cara hidup yang lebih disiplin, tepat waktu atau lebih beretika ketimbang cara hidup berbasis materi, katakanlah dengan menenteng tas impor mewah atau jam tangan mahal?
Selidik punya selidik, gaya hidup yang katanya modern tadi ternyata rentan sekali dikendalikan oleh industri. Jadilah industry-driven life style. Ujung-ujungnya, penggunaan produk. Entah itu produk tekstil, kecantikan, makanan, otomotif atau properti. Pengaruh industri kuat sekali, bahkan dominan dalam membentuk gaya.
Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa It's totally wrong. Makanya, saya menawarkan konsep gaya hidup yang holistik yaitu adanya interkoneksi unsur ruhani, fisik dan pikiran dalam sebuah gaya. Wow, pakai bahasa berat ya..:)
Simpelnya begini.
Katakanlah, kita mau bergaya dengan sebuah pakaian. Mau pakai yang holistik tadi. Wujudnya, sebuah pakaian indah, modern, syar'i sekaligus tidak menyebabkan si pemakai ujub, riya atau sombong. Si pemakai bisa bergaya dan bisa menambah pundi pahala, at the same time. Perfect...
Atau, kita mau bergaya dengan sebuah kendaraan baru secara holistik. Pastikan saja, pertama, kendaraan itu diperoleh dengan uang halal, Kedua, ia digunakan bukan untuk menambah level arogansi kita dan Ketiga, tentunya, ia harus bermanfaat juga pada peningkatan level ruhani kita. Yang terakhir ini adalah kunci.
Saya maklum, mungkin ada yang protes, kok besar sekali "beban" yang diemban oleh sebuah gaya, ya:). Mbok ya dibuat simpel dan tidak bertele-tele saja,".
Saya hanya mau menjawab bahwa gaya hidup holistik itu justru simpel. Saking simpelnya, sehingga tanpa memaksakan diri untuk bergaya-pun, seseorang masih bisa kita sebut bergaya holistik. Ya, dia bergaya dengan "tidak bergaya". Hehe, sudah ah,,,silahkan enjoy saja di weekend ini. Jaga kesehatan...:)
0 Comments