Ticker

6/recent/ticker-posts

Tidak Hanya Alam Semesta, Sepertinya Surga Juga “Terlalu Luas”

Oleh: M. Ridwan

“Kupersiapkan buat hamba-hamba-Ku yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terbayang di benak siapa-pun (manusia”(Hadis Qudsiy)

Sebenarnya sih, bukan hanya alam semesta yang terlalu luas diciptakan Tuhan. Surga juga terlalu luas, kok. Tentu saja dalam pandangan kita sebagai manusia.

Bayangkan, Alquran menyatakan bahwa luas surga itu seluas langit dan bumi. Wow, membayangkannya saja sulit. Dan, memang, surga didesain sebagai hunian yang tidak pernah bisa dibayangkan manusia sebelumnya. Ia cuma bisa direka-reka dan tentu saja tidak akan pernah sama dengan apa yang ada dalam imajinasi manusia. Rasul menyebut surga itu ma la a’inun ra’at, wa la uzunun sami’at wa khatara ‘ala qalbi basyar (Tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas di dalam hati manusia). Gimana bentuknya ya,? Wah sulit dibayangkan-lah.

Itu baru dari segi luasnya. Belum lagi terkait fasilitasnya. Tentu sangat luar biasa.

Bayangkan, di dalamnya ada sungai-sungai berisi makanan dan minuman super lezat, kompleks perumahan indah dan asri dihiasi beragam jenis emas dan permata serta berbagai batu super mulia yang –tentu saja- kualitasnya melampaui kualitas batu-batu mulia milik  dunia. Berbagai fasilitas tak terhingga ini akan “memanjakan” penghuninya, selamanya, tanpa pernah berkurang. Pasti VVVVVIP-lah.

Rasul pernah menggambarkan dalam hadis beliau “Batu bata di surga itu terbuat dari emas dan perak, lumpur (untuk mengecat) dindingnya terbuat dari minyak kasturi. Kerikilnya terbuat dari mutiara dan intan, tananhnya terbuat dari minyak Ja’faran. Siapa yang masuk ke dalamnya tidak pernah akan sakit, ia kekal dan tidak akan mati, tidak usang bajunya dan tidak hilang pula masa mudanya” (HR Ahmad No 2 hal 304).

Satu hal yang membedakan surga dengan dunia tentu saja adalah proses utilisasi (pemanfaatan yang tak terbatas) itu. Saya menyebutnya “The Law of Undiminishing Marginal Utility”.  Istilah ini tidak ada dalam kamus ekonomi. Saya pernah mengulas hal ini di tulisan sebelumnya di blog ini.

Intinya, bahwa kepuasan penghuni surga itu tidak pernah habis dan tidak pernah habis puncaknya. Selalu saja ada kepuasan setelah kepuasan. Ini berbeda dengan utilisasi di dunia, dimana kita akan merasa puas setelah makan sepiring nasi dan akan berhenti setelah satu atau dua piring dikonsumsi. Dan, kita hanya akan makan kembali ketika lapar mendera. Di dunia ini, betapapun lezatnya makanan, kita tentu akan enggan jika terus memakannya, maklum sudah kenyang sih. Hasrat makan telah hilang. Meski sementara waktu.

Nah, kondisi ini tidak terjadi di surga. Seorang penghuni surga akan terus mendapatkan kenikmatan (util) ketika ia makan. Anehnya, ketika ia terus makanpun, kenikmatan ini akan terus bertambah. Tak peduli seberapapun kuantitas makanan yang ada. Misal, ketika ia makan satu buah dan terasa lezat. Ketika, ia memakan dua buah justru bertambah lezat, sampai 100 buah-pun kelezatannya tidak berkurang. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Namanya saja di surga ya.

Kalau mau membuktikannya, ya tentu saja kita harus masuk ke dalamnya.  

So, apa kaitan hal ini dengan judul tulisan di atas?

Simple. Ganjaran surga yang diberikan Allah kepada manusia itu –kalau mau jujur kita akui-, tidak sebanding dengan dengan kuantitas amal dan umur kita di dunia. Bayangkan, kita hanya hidup katakanlah maksimal 100 tahun atau mungkin saja pada masa mendatang bisa 1000 tahun seperti Nabi Adam. Mungkin saja kemajuan teknologi kedokteran dan nutrisi makanan memungkinkan itu terjadi.

Namun, saya yakin, selalu saja ada batasan umur manusia di dunia ini. Nah, katakanlah, dalam umur 100 atau 1000 tahun itu kita melakukan amal ibadah yang maksimal. Penuh keikhlasan dan kekhusyukan, diresapi dan penuh tawadhu’.  Saya mau bertanya, jika Allah “hanya” memberi kita kehidupan 1000 tahun saja di surga, apakah kita bisa protes?,. Tentu tidak bukan?. Wong, kita hidup “cuma” 1000 tahun saja.  1000 dibayar 1000. Logis bukan?

Tapi, Allah tidak melakukan itu. Ia selalu memberikan lebih kepada manusia. Ahli tasawuf mengatakan itulah kasih sayang Allah. Kita mengharapkan kasih-Nya dan bukan sekedar surga-Nya. Surga itu ibarat hadiah “kecil” dari Allah untuk memperjelas ganjaran-Nya. Adapun ganjaran yang tertinggi adalah kasih sayang dan ampunan Allah dan kesediaan-Nya untuk bertatap muka langsung dengan penghuni surga di akhirat kelak.

Memang, menjalani kehidupan di dunia yang “cuma” 100 tahun ini terkadang tidak mudah. Banyak sekali aral melintang dan hambatannya. Tekanan hidup membuat banyak manusia yang linglung, limbung dan tumbang. Lagi-lagi, menurut ahli tasawuf hal itu disebabkan karena dimensi ruhaninya yang tertutup. Hatinya tidak bisa menerima pancaran nur ilahi sehingga yang terlihat hanyalah kegelapan dan kesempitan. Luasnya semesta berbanding terbalik dengan luas hatinya. Wah, wah,,,

Secara kasat mata, problematika manusia bisa saja disebabkan karena masalah ekonomi, politik, hukum ataupun sosial. Kemiskinan, penindasan, kezaliman manusia atau peperangan merupakan output yang bisa terlihat dari kesemrawutan tersebut.

Surga itu indah, nyaman dan tentram. Ia tidak hanya luas dan mempesona, namun juga berlimpah kenikmatan tiada tara. Tinggal pertanyaannya, sudahkah kita memiliki keinginan untuk masuk ke dalamnya?. Aneh ah, ini pertanyaan keliru. Pasti mau dong.

Kalau begitu, saya rubah saja pertanyaannya, sudahkah Anda memiliki komitmen untuk benar-benar masuk ke dalamnya?. This question is only for me, not for you, sorry.:)

 

 

Post a Comment

0 Comments