Oleh: M. RIDWAN
“On The Day of The New Moon. In The Month of Hiyar. The Sun was put to shame, and went down in the daytime, with Mars in attendance” (3 Mei 1375 SM)
Kutipan di atas menceritakan gerhana matahari yang pernah terjadi di Mesopotamia. Kutipan ini ditemukan di kota Ugarit Mesopotamia sebagaimana yang dikutip oleh Joel K. Harris and Richard L. Talcot dalam bukunya Chasing The Shadow.
Apa artinya?. Gerhana matahari total memang merupakan fenomena bumi. Bedanya, manusia kini sudah mengetahui bahwa bulan-lah yang menutupi sinar matahari dan bukan planet Mars sebagaimana yang diyakini masyarakat Mesopotamia sekitar 3800 tahun lalu.
Hari ini gerhana matahari terjadi kembali. Kendati tidak semua wilayah bumi yang bisa menyaksikannya, namun saya kira cukuplah untuk menunjukkan bahwa alam semesta ini memang memiliki banyak keunikan, atau lebih tepatnya misteri yang belum terpecahkan. Manusia memang sudah mampu memecahkan sedikit misteri mengenai gerhana matahari total, kendati masih belum sepenuhnya, terutama ketika pertanyaannya seputar “Why”?. Mengapa sih, Allah menciptakan fenomena ini?, Atau, kenapa sih Allah menciptakan alam semesta yang maha luas ini?
Bukan apa-apa sih.
Saya kira, Anda pasti setuju dengan pendapat saya bahwa alam semesta ini terlalu luas.
Begini,
Kalaulah tujuan penciptaan alam semesta sekedar untuk menunjukkan eksistensi-Nya kepada manusia, maka “sebenarnya” Allah bisa saja “sekedar” menciptakan beberapa buah tata surya saja untuk manusia. Toh, sampai saat ini, manusia masih belum bisa mengeksplorasi satu tata surya-pun seperti tempat kita tinggal ini. Buktinya, ekpedisi pengiriman manusia ke Mars saja masih belum terjadi. Konon pula, misi untuk mengirimkan manusia ke ujung semesta lainnya dimana jarak antar satu galaksi dengan galaksi lainnya saja mencapai milyaran tahun cahaya. Para ahli menggunakan ukuran cahaya karena ukuran konvensional (berupa satuan kilometer) tidak mampu mengukur jarak alam semesta yang begitu luas ini. Sangat luas. Bahkan terlalu luas, seperti kata Rhoma Irama. :)
Ustaz Zulkarnain membaca surat al-Muluk ketika menjadi imam sholat subuh pagi ini. Saya kira, penjelasan surat itu bisa menjadi jawaban atas sebagian pertanyaan kita tentang alam semesta. Ya, Alam semesta yang maha luas diciptakan Allah untuk menunjukkan kebesaran-Nya kepada kita sekaligus menjadi alat uji apakah kita akan rela menjadi hamba-Nya yang berbakti dan tunduk kepada-Nya. Allah mau menunjukkan kepada kita bahwa Dia tidak bermain-main dengan apa yang dilakukan-Nya. Ia sangat serius dan telah mempertimbangkannya dengan sangat matang dan sempurna ketika menciptakan semesta. Tinggal lagi, apakah kita juga serius dengan kehendak Tuhan?
Makanya, saya heran juga sih, ketika Stepehen Hawking, -pakar alam semesta yang menemukan teori Bing Bang itu- mengatakan bahwa alam semesta ini tidak memiliki pencipta. Aneh sekali. Professor Fisika yang menulis buku The Brief History of Time ini tidak berhasil menemukan Tuhan dalam kecanggihan pikirannya. Dia terjebak dengan keruwetan pikiran hebatnya. Titik tentang keberadaan tuhan tidak tersentuh olehnya. Saya berdoa, mudah-mudahan si Stephen ini tersadar dan kembali kepada jalan yang benar.:)
Berbeda dengan si Stephen, Nabi Ibrahim justru menemukan Tuhan ketika menyaksikan alam. Ketika menyangka bahwa bulan adalah Tuhan, ia kemudian mengkoreksinyanya ketika keesokan harinya, matahari dengan sinarnya yang terang dan lebih besar muncul. “Matahari inilah Tuhan”, pikirnya. Ketika mentaripun hilang, maka ia akhirnya berkesimpulan, bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah pencipta bulan dan matahari itu sendiri. Dialah Allah, yang Maha Besar dan Agung.
Ibrahim selamat. Fenomena alam memberikan dampak positif bagi proses ketauhidannya, prosesnya dalam mencari Tuhan. Memang, beginilah seharusnya.
Pagi ini, gerhana matahari menghampiri bumi setelah 33 tahun berlalu. Tepatnya pada tahun 1983 lalu. Artinya, kita akan menyaksikan fenomena ini kembali di tahun 2049. Syukur-syukur bisa lebih cepat di tahun 2023 (demikian sebagian ahli mengatakan).
Terlepas kapan waktu yang akan datang, namun fenomena gerhana matahari kali tentu lebih heboh. Media saat ini sudah demikian pesatnya sehingga informasi mengenai gerhana ini sudah jauh-jauh hari diketahui. Seperti selebriti lah. Sampai-sampai, Aisha dan Raifa sedikit merengek minta dibelikan kacamata khusus. Dalam bayangan mereka, gelap gulita akan terjadi di semua wilayah bumi. Kekecewaan mereka sedikit terobati ketika matahari di wilayah Medan juga kebagian berbentuk bulan sabit, meski sedikit dan tentu mereka tidak berani melihat langsung ke matahari. Mereka melihatnya dari bumi saja seperti kata si Zia...Hehe...
Tentu saja, hal yang paling berkesan hari ini adalah sholat Kusuf. Islam memang agama yang paling lengkap ajarannya, baik dari sisi teori dan praktik. Siapa sangka ternyata, menyikapi datangnya gerhana matahari, ternyata Islam memiliki SOP yang detail. Ya, tentang sholat Kusuf ini. Teknis sholat dengan 4 kali rukuk ini tentu menarik bagi jamaah yang –saya yakin- mungkin 1 atau 2 kali saja yang melaksanakannya seumur hidupnya. Maklum, sholat 1 kali dalam 33 tahun, sih.
Pesan khutbah Sholat Kusuf pagi ini tentu senada. Bahwa fenomena ini adalah tanda kebesaran Allah. Tidak boleh disikapi dengan hura-hura dan sikap lupa diri. Gerhana matahari adalah bukti bahwa Allah telah mengatur alam semesta ini dengan sebaik-baiknya, lengkap dengan jalur ecliptica dan rotasi terukurnya –yang Stepehen Hawking tak meyakini hal itu.
Kendati demikian, saya tetap pada kesimpulan di judul tulisan ini, bahwa alam semesta ini sebenarnya terlalu luas untuk kita. Tuhan bisa saja menciptakannya lebih minimalis, bukan?.
Sayangnya, sedemikianpun luas dan uniknya alam semesta, namun ternyata tidak semua manusia yang mampu meresepi makna dan mengambil pelajaran. Manusia seperti ini tetap tidak mampu meluaskan cakupan ruhaninya. Ia selalu terpasung dengan batasan bumi yang sempit. Bahkan, sebagian besar manusia justru tidak merasakan apa-apa atas fenomena alam. Ia selalu saja menjauh dari Tuhan dan menutup hatinya. Sama seperti cahaya matahari yang tertutup oleh bulan dan hanya menyisakan korona di pagi ini. Semoga manusia demikian, bukanlah kita ya. Amin.
0 Comments