Ticker

6/recent/ticker-posts

Nestapa Riset Indonesia?

Oleh: M. Ridwan

Minggu lalu, kampus kami menerima kedatangan tamu. Mr. Gwen dari Western University. Tujuan kedatangannya tentu saja untuk mempromosikan sekaligus menjalin kerjasama dengan kampus UIN. Penjelasannya cukup menarik. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya, namun saya menggaris bawahi satu hal yang menjadi keunggulan mereka yaitu ranking 3 besar yang mereka pegang di ERA ( Excellent on Reasearch in Australia). Artinya, kampus mereka sudah memiliki level bergengsi di Australia.

Pencapaian itu tentu menggembirakan mengingat usia universitas mereka yang masih terbilang muda (beroperasi sekitar tahun 1990). 

Pemerintah Australia khususnya Western University memahami benar urgensi riset bagi negaranya. Keduanya berjalan seiring, kompak dan saling mendukung.

Nah, cerita tentang luar negeri ini akan menjadi lain dan seru jika dilihat dari konteks Indonesia. Gimana sih, kondisi riset dan hasil riset produksi kampus-kampus Indonesia?.

Saya tidak sedang mengiring pembaca blog ini untuk bersikap underestimate. Hasil riset di negeri ini hebat-hebat, kok. Para peneliti kita sangat mumpuni. Kampus-kampus di negeri kita-pun sangat memahami bahwa riset adalah tulang punggung sebuah negara. Kalau begitu, tulisan ini selesai, dong, ngak perlu pakai kata nestapa, bukan?

Paling-paling saya cuma mau menyajikan sedikit fakta.
Pertama, anggaran riset Indonesia hanya sekitar 0,09 persen dari produk domestik bruto (PDB) kita yang sekitar Rp 9.000 triliun itu,maka anggaran riset Indonesia hanya Rp 8,1 triliun. Banyakkah? Sayangnya, sedikit.

Di ASEAN, ternyata Singapura justru memiliki persentase anggaran riset tertinggi, yakni 2,6 persen dari PDB, disusul Malaysia, kemudian Thailand 0,25 persen. Sedangkan negara-negara, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Amerika, anggaran risetnya sudah lebih dari tiga persen dari PDB. Wow, pantasan mereka terlihat lebih "hehehehe" dari kita..:()

Apakah anggaran mnjadi satu-satunya cara menghebatkan negeri ini?. Tunggu dulu..Saya lanjutkan.

Kedua, gaji peneliti di negeri ini tergolong "melarat" dibandingkan negara lain. Mungkin, gaji 6-7 juta itu adalah jumlah besar bagi masyarakat kita. Namun, ternyata orang luar negeri memberikan gaji 10 kali lipat dari itu, sekitar 50-70 jutaan lah, untuk peneliti. Wow, bisa jadi kaya dong para peneliti?. Biarlah, peneliti itu hebat dan bermanfaat, maka gaji mereka harus hebat. Jangan cemburu, dong.

Agaknya, selama ini, warga negeri kita sudah terlalu sering menganggap bahwa profesi peneliti itu tidak bergengsi. Kalau tidak percaya, silahkan tanya anak-anak kita, apakah mereka tertarik menjadi peneliti? Kayaknya tidak tuh. Sama dengan tidak tertariknya mereka menjadi petani. Benar atau benar?

Lalu, katakanlah anggaran dan gaji peneliti kita sudah sesuai standar. Lalu, apakah sudah cukup?. Lihat point berikutnya...

Ketiga, kualitas riset. Ada anggapan bahwa bahwa riset-riset di kampus kita banyak yang tidak "nyambung" dengan dunia industri. Saya kira, sah-sah saja dong. Soalnya, kampus-kampus kita masih banyak yang berkutat di bidang pendidikan dan pengajaran saja. Atau sekedar untuk meluluskan para alumni supaya diterima dunia kerja. Padahal, perguruan tinggi seharusnya banyak menelorkan produk penelitian yang bersifat terapan. Selama ini, kampus-kampus didominasi penelitian dasar atau membangun teori saja, bukan?

Para dosen atau pihak kampus, biasanya menyalahkan kondisi anggran itu tadi. Wah, balik ke point no 1 lagi ni. Tapi, iya juga, sih, bagaimana mungkin sebuah kampus menghasilkan produk penelitian yang hebat jika dosen dan penelitinya "kurang gizi" sih. Hehehe, jangan marah ya...

Tapi, begitupun, kampus-kampus, harus kreatif dan berani menganggarkan penelitian lebih besar lagi dari anggaran terbaas itu, tentunya. Kecil-kecil cabe rawitlah. Kampus harus berani menerobos dunia industri. Memberiknn kepada mereka produk penelitinn yang membuat mereka mau mampir ke kampus kita.

Keempat, negeri ini kurang aktif mematenkan dan menjaga hasil riset. Masih ingat dengan cerita Warsito? Itu lho, penemu alat terapi kanker yang terpaksa menutup perusahaan dan mem-PHK karyawannya. Produknya dinggap belum teruji, oleh Ikatan Dokter Indonesia, padahal sudah banyak pasien yang sembuh. Lho,,,kasihan..Dengar-dengar dia sudah dipinang negara lain. Padahal, sebelumnya ia rela meninggalkan fasilitas dan gaji wah di Jepang demi bela-belain Indonesia. Tapi, yah, begitulah...

Kelima, banyak hasil penelitian tidak "berguna" karena memang tidak dijadikan rujukan dalam sebuah kebijakan pemerintah. Kalau pernyataan saya ini salah, silahkan ditanggapi. Soalnya, saya belum pernah dengar para pembuat kebijakan yang berduyun-duyun mendatangi kampus-kampus dan "memohon" tausiyah supaya diberikan hasil riset yang cesplang

Lalu, apakah kata "nestapa riset Indonesia" tadi masih layak digunakan?. Saya ragu mengatakan "tidak" karena ternyata begitulah adanya. Kita memang harus menangisi kondisi riset kita sekaligus bertanya "apakah kita memang benar-benar serius dengan sebuah penelitian?.

Post a Comment

0 Comments