Keceriaan sore ini agak sedikit terganggu. Apalagi kalau bukan tentang berita pembakaran karya-karya akademis berupa skripsi, tesis dan disertasi yang dilakukan sebuah perguruan tinggi di Indonesia. Kita pasti terkejut.
Meskipun, pihak kampus tersebut memberikan argumen yang cukup logis. Karya-karya itu telah digitalisasikan. Tindakan itu merupakan protap perpustakaan dalam menyikapi karya-karya lama yang usang. Saya berdoa mudah-mudahan saja, aktifitas membakar karya usang ini tidak menjadi lumrah di berbagai pustaka di Indonesia.
Lalu bagaimana memperlakukan sebuah karya tulis atau buku?
Saya kok, jadi teringat dengan sebuah film berjudul Inkheart. Film produksi tahun 2009 ini dibintangi oleh Brendan Freser, itu lho, pemain film Tarzan dan Mummy yang terkenal.
Film ini menceritakan seorang pria bernama Mo. Ia adalah seorang 'dokter dan pencinta buku'. Ia bekerja memperbaiki buku-buku yang rusak supaya tampak rapi kembali. Pekerjaannya ini membuat Mo dan Meggie, putrinya, sering bepergian ke berbagai tempat. Ayah dan anak ini sama-sama pecinta buku. Bahkan maniak buku.
Bukan hanya ayahnya, namun Elinor, bibi Meggie juga seorang pecinta buku, bahkan bisa dikatakan terobsesi dengan buku. Siapapun tak boleh berada terlalu dekat dengan buku-bukunya. Karenanya, tak heran jika Elinor sangat terpukul ketika segerombolan laki-laki mendatangi rumahnya di suatu malam.
Mereka membuang buku-buku Elinor dan membakarnya. Sehingga, sepanjang film ini, kisahnya tak jauh dari bagaimana perjuangan keluarga ini untuk mempertahankan buku-buku mereka khususnya sebuah buku berjudul "Inkheart".
Silahkan tonton saja filmnya, jika mau mengetahui akhir ceritanya ya:), karena tujuan tulisan sore ini bukan sebagai resensi film yang diangkat dari novel ini.
Saya hanya mau bilang bahwa orang Barat itu sepertinya memiliki kecintaan lebih dengan buku dan karya tulis. Kesimpulan ini tentu bukan karena film Inkheart yang -tentu saja- fiksi itu.
Seorang teman yang baru pulang dari Eropah misalnya, dengan kagum, pernah menceritakan bahwa perpustakaan di negeri Belanda memiliki koleksi-koleksi buku dari berbagai negara. Bahkan, teman ini menemukan buku karyanya sendiri di perpustakkan tersebut. Menurutnya, banyak buku Indonesia di perpustakaan itu, sebenarnya bukan bestseller di negeri kita -setidaknya dalam pandangannya, namun bagi pegawai pustaka tersebut, buku-buku itu diperlakukan bak emas dan permata. Wah, keren.
Lain Belanda, lain pula Amerika. Bagi yang pernah mengunjungi Library of Congress pasti akan mengatakan bahwa negeri Pam Sam ini sangat mencintai buku. Bahkan, buku-buku klasik produksi abad pertengahan dan jadul dapat dengan mudah ditemukan. Buku-buku itu tentu berada dalam vault (penyimpanan) khusus dan tidak boleh disentuh.
Jika demikian apresiatifnya mereka dengan karya tulis, maka saya yakin, jika mereka mengetahui peristiwa pembakaran karya tulis ini, pastilah para librarian negeri Eropa atu Amrik akan "mencak-mencak" dan mungkin menangis.
Memang, mengabadikan sebuah karya tulis bisa dilakukan dengan menduplikasi atau mendigitalisasikan isinya.
Begitupun produk buku digital tentu tetap tidak bisa disamakan dengan produk hardcopy. Ada sensasi yang berbeda ketika memegang sebuh buku dan "melahap" isinya. Ada aroma buku yang khas dan tentu saja hanya bisa dirasakan para pecinta buku. Agree?
Yakinlah, sebuah karya tulis, seberapapun usangnya, tetaplah produk jaman. Ia tetap penyempurna milestone sebuah perbadaban kendati ia dianggap hanya titik kecil tak berarti. Terlepas pula, apakah ia dipandang tidak berkualitas sekalipun.
Jika saja Barat memperlakukan buku bagaikan emas dan permata, bagaimana dengan kita?. Atau, kalau bukan kita, siapa lagi?
0 Comments