oleh: M. Ridwan
Salah satu dampak perkembangan teknologi informasi adalah hilangnya beragam tradisi yang menggunakan media fisik. Sebut saja tradisi silaturahmi atau saling mengunjungi antar sesama.
Memang, tradisi ini mungkin sudah tergantikan dengan berbagai aplikasi chat, media sosial atau komunitas berbasis TI, namun, beragam fitur yang ada tentu tidak bisa menggantikan aktifitas bertemu dan tatap muka. Kesannya beda, lebih dalam, dan berkesan.
Tapi, jangan-jangan itu pandangan subjektif saya ya atau sebatas di kota metropolitan bernama Medan ini saja.
Entah-entah, di tempat para pembaca, aktifitas silaturahim dengan tatap muka masih digemari dan ditradisikan khususnya di hari Minggu seperti ini. Mungkin saja, di hari ini, Anda sedang berencana akan mengunjungi tetangga atau teman yang sudah lama tak bersua, mengundang mereka makan siang dan bercengkrama di rumah kita atau membahas silsilah keluarga dan saling mendiskusikan jalan keluar atas masalah yang mereka hadapi. Kalau itu yang dilakukan di hari ini, berarti kita masih melanggengkan warisan orang tua dulu untuk rajin bersilaturahim, secara fisik, maksudnya.
Namun, jika hari ini kita justru akan menghabiskan weekend ini, katakanlah di sebuah mall, menonton box office di bioskop atau mengajak plesiran keluarga inti di sebuah tempat rekreasi baru,maka mungkin saja itu tanda bahwa kita sudah mulai meninggalkan tradisi saling bersua dan mengunjungi yang dulu menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Saya menyebutnya tradisi "ala orang desa". Indah dan sensasional lho.
Lagi-lagi, tidak ada yang salah dengan aktifitas menghabiskan weekend ala "orang kota". Maklum, selama seminggu, kita sudah disibukkan dengan pekerjaan dan rutinitas. Wajar toh, di hari libur untuk memanfaatkannya. Hitung-hitung untuk recharge energi dan pikiran, bukan?. Apalagi kita bisa membungkusnya dengan sesuatu yang bersifat spiritual. Wah, keren sekali. Weekend syariah dong..
Tapi, tak ada salahnya untuk mengevaluasi lah. Terlebih jika kita mencermati fenomena jaman kini berupa tergerusnya nilai-nilai kekeluargaan, keakraban dan persahabatan. Salah satu penyebabnya mungkin karena tergerusnya budaya saling tatap, sapa dan silaturahmi yang dilandasi kesucian hati. Tiba-tiba kita menjadi makhluk individualis dan mungkin saja egois dan hedonis.
Beberapa kalangan menyoroti fenomena ini disebabkan karena laju industri yang merupakan hasil modernisasi itu. Industri yang tumbuh, meniscayakan tumbuhnya jumlah para pekerja yang bekerja dengan pola, waktu dan ritme yang terukur. Mereka adalah faktor produksi yang tentunya harus menghasilkan produk. Seorang pekerja dan robot bisa dikatakan sama dalam proses produksi, kendati manusia ya tentu saja memiliki perbedaan jika dibandingkan alat produksi. Manusia punya hati nurani dan pikiran serta mampu menciptakan budaya. Bahasa kerennya, memiliki rasa, cipta dan karsa.
Di sinilah masalah bermula. Rutinitas mekanistik dan sistemik yang dilakukan manusia hari perhari justru malah menjadikan manusia seperti robot juga. Manusia "dipaksa" memproduksi dengan jumlah yang telah ditentukan, suka atau tidak suka. Manusia ditaklukkan oleh target pencapaian dalam bentuk produk barang atau jasa. Sayangnya, mekanisme ini banyak dipahami sebagai sebuah keharusan. Tidak bisa ditolak. Inilah hebatnya industrialisasi dan kapitalisasi.
Jika demikian analoginya, maka tidak heran jika manusia yang bekerja itu harus beristirahat. Akan halnya robot, manusia juga harus di recharge, diservice dan mungkin bongkar mesin.
Makanya, tidak heran jika hari Sabtu dan Minggu sering dipahami sebagai hari recharge atau isi baterai ya. Untuk menghadapi Senin sebagai awal operasional mesin: ..? :)
Berita bagusnya, manusia bisa memilih untuk menjadi robot yang mekanistik dan tanpa rasa atau berupaya keras menjadi special di mata Tuhan dengan mentransformasikan pekerjaannya menjadi mesin dan transport dirinya menuju surga.
Selain pekerjaan, maka bahwa kebaikan-kebaikan kecil seperti tradisi saling mengunjungi dan silaturahim itu juga dapat dijadikan alat ungkit menggapai kebahagiaan dunia sebelum kebahagiaan in the real paradise, surga nyata.
Masih banyak kebaikan-kebaikan "kecil" lain yang bisa dikembangkan. Katakanlah tradisi saling membahagiakan dan menghibur.
Namun, upaya itu membutuhkan perencanaan serius, komitmen dan analis SWOT yang cermat, sama seperti perencanaan sebuah produksi di pabrik. Kita membutuhkan hati seluas samudera yang ikhlas untuk mampu melakukan hal-hal "kecil" itu.
Tanpa itu, maka bersiaplah. Hari-hari esok kita pasti akan selalu menyesakkan dada. Ketika kita kehilangan kemampuan melihat kebahagiaan dalam hal-hal kecil dan terkesan sepele maka mungkin saja weekend kita akan selalu kehilangan makna dan tentu saja biaya. Soalnya, untuk gaya-gaya dan selfie saja sih.
Hehehe, kok terlalu serius banget membacanya ya. Itu tulisan untuk saya pribadi kok. Have a nice weekend ya...
0 Comments