Oleh: M. Ridwan
Kita sudah terlanjur hidup di jaman canggih ini. Namun, bukan hanya kecanggihan teknologi yang kita hadapi. Kecanggihan prilaku juga menjadi hal yang tak dapat dipungkiri eksistensinya. Sayangnya, kecanggihan prilaku terkadang -bahkan sering- menyimpang dari aturan dan standar moral yang mungkin saja telah diyakini oleh penduduk bumi.
To the point saja.
Tulisan ini menyoroti tentang kemesuman. Baik itu prostitusi, atau LGBT. Menurut Wikipedia, prostitusi atau pelacuran adalah menjual jasa seksual demi uang. Sedangkan LGBT adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Masih menurut Wikipedia, Lesbian adalah ketertarikan seorang wanita secara seksual terhadap wanita lain. Jika seorang pria tertarik secara seksual terhadap pria lain, maka ia disebut Gay atau Homoseksual. Nah, jika seorang pria memiliki ketertarikan seksual baik terhadap wanita atau pria, ia disebut punya kecendrungan biseksual. Adapun transgender adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk merubah jenis kelaminnya, Misalnya, dari seorang pria menjadi wanita atau sebaliknya. Untuk teknis perubahan jenis kelamin bisa saja membutuhkan jasa ahli medis. Banyak contoh manusia yang telah melakukan operasi perubahan jenis kelamin ini.
Anda asing dengan istilah di atas? Sama. Saya juga. Namun, istilah-istilah di atas, baik itu prostitusi atau LGBT menjadi populer saat ini meskipun fenomenanya sendiri sudah ada berabad-abad yang lalu. Dalam lintasan sejarah manusia, prostitusi atau penyimpangan orientasi seksual sebagaimana yang ditunjukkan oleh komunitas LGBT tidak hanya dikecam, namun juga dikutuk dan pelakunya dianggap sebagai sosok yang hina dan "najis". Silahkan lihat, naskah di dalam kitab-kitab suci agama mana saja.
Namun, sebagaimana yang saya sebutkan di awal tadi. Di jaman modern ini, atas nama HAM atau peraturan yang dibuat manusia sendiri, maka berbagai kecendrungan penyimpangan seksual manusia agaknya justru bisa mendapatkan tempat yang semakin luas. Aneh bukan? Anda setuju dengan saya?
Apakah ini sebuah kebetulan?.
Tentu saja tidak. Tapi, saya tidak membawa pembaca kepada teori konspirasi yang ada. Misalnya, ada teori kospirasi yang menyatakan bahwa ada sekelompok manusia yang berkeinginan mengurangi jumlah penduduk dunia. Menurut kelompok ini, manusia yang layak hidup di bumi adalah manusia yang memiliki keunggulan saja. Adapun manusia cacat, miskin atau bodoh tidak boleh dibiarkan hidup. Mereka harus musnah.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, kelompok ini terus mengupayakan bagaimana supaya jumlah manusia di bumi terus berkurang, entah dengan cara penyebaran penyakit, peperangan atau menghambat keturuanan. Nah, salah satu upaya menghambat keturunan adalah dengan membudayakan perkawinan sejenis tadi. Mana mungkin, orang yang kawin sejenis melahirkan keturunan. Masuk akal namun mengerikan bukan, ? :)
Selain teori konspirasi, ada pula teori proxy war. Yaitu perang tanpa menggunakan alat perang atau pasukan. Misalnya, kita ingin menghancurkan sebuah kekuatan musuh, maka cara yang dipakai adalah dengan membuat perang saudara di wilayah musuh tersebut. Dengan adanya perang saudara ini, maka kita tidak membutuhkan banyak energi untuk menguasai wilayah musuh. Teknik ini terbukti ampuh digunakan ketika Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Istilahnya Devide et Empera. Pecah Belah dan Kuasai. Saya kira, cara ini masih terus digunakan berbagai negara untuk menguasai negera lain.Timur Tengah saya kira adalah korbannya.
Menurut teori proxy war. Untuk melemahkan mentalitas perang sebuah negara, maka hancurkan saja atau cuci otak rakyatnya. Niscaya mereka akan takut dan ogah berperang. Misalnya, racuni dengan narkoba, impian kosong, atau syahwat/mesum.
Nah, cerita mesum ini menjadi titik tekan tulisan kali ini.
Aktifitas mesum yang dikemas dalam bentuk prostitusi alias diperdagangkan memang sudah setua umur manusia. Misalnya di Yunani. Prostitusi merupakan hal umum di Yunani Kuno saat itu. Aktifitas jual beli seks ini berperan penting dalam kegiatan ekonomi. Weleh, weleh. Bahkan, penduduknya tidak menganggap perzinahan ini menjadi hal yang buruk. Sehingga rumah bordil - ala Kalijodo saat ini - tidak dilarang. Kalau pakai bahasa sekarang, pejabat Yunani saat itu hanya menertibkan dan mengaturnya. Prostitusi saat itu dianggap sebagai industri yang meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Bahkan, menurut sejarah, banyak tempat prostitusi saat itu dimiliki oleh negara. Mungkin seperti BUMN kita-lah, tapi bidang bisnisnya adalah prostitusi. Dan, pelacuran ini tidak hanya melibatkan pekerja perempuan tapi juga pekerja seks pria. Makanya, tidak heran pelanggannya bejibun karena dilegalkan. Silahkan baca tulisan David M. Halperin, "The Democratic Body; Prostitution and Citizenship in Classical Athens", in One Hundred Years of Homosexuality and Other Essays on Greek Love, Routledge, "The New Ancient World" collection, London-New York, 1990. Pokoknya gila-lah....
Kata prostitusi sendiri pada dasarnya sudah mengalami eufemisme (penghalusan bahasa). Dulunya kata yang dipakai adalah pelacur, atau pezina. Mungkin karena terdengar kasar, maka dipakai kata prostitusi dan pelakunya bukan disebut Pekerja Seks Komersil. Padahal, tidak ada jenis profesi ini dalam katalig pekerjaan di Kementerian Pekerjaan Umum.:) Sama seperti kata homoseksual yang kemudian diganti dengan kata gay.
Penyimpangan seksual -oleh semua agama dan budaya- sejak dahulu dianggap sebagai perbuatan hina dan terkutuk. Tak sedikit kecaman yang diberikan oleh kitab-kitab suci. Hukumannya juga berat. dari mulai dihinakan di depan umum sampai dihukum mati. Bahkan, kitab suci juga menceritakan kehancuran umat-umat terdahulu yang melakukan penyimpangan seks. Misalnya, kisah kaum Sodom yang mayoritas penduduknya adalah kalangan LGBT dan penduduk Pompeii sering menjadi rujukan bahwa aktifitas seks menyimpang dan menyalahi aturan agama adalah dikutuk.
Meskipun demikian, memang ada kalangan yang menganggap bahwa prostitusi itu adaah evil necessity yaitu perbuatan buruk namun dibutuhkan.
Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa pelacuran bisa
menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum
laki-laki). Tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru
akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-baik. Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja.
Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air
yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya."
Demikianpun, si Agustinus tetap mengatakan bahwa pelacuran itu adalah busuk. Saya yakin ia juga akan menolak jika misalnya anak gadis atau isterinya menjadi pelacur bukan?
Tapi, dunia memang berubah.
Penyimpangan seksual itu menjadi budaya. Prostitusi menjadi hal yang legal di berbagai negara. Selain mereka, kaum LGBT juga berjuang keras menyamakan kedudukan mereka supaya diaggap sebagai manusia normal yang diciptakan Tuhan. Padahal, munculnya orientasi seksual menyimpang itu lebih banyak karena lingkungan dan fantasi semata. Kita tentu mengenal istilah pseudo-homoseksual atau pseudo-lesbian yaitu kaum gay atau lesbian yang memang dipengaruhi oleh lingkungannnya. Bukan dari sono-nya. Sayangnya, sebagian mereka malah "bangga" dengan label ini. Bukannya berupaya untuk sembuh, namun mereka justru berupaya untuk menulari orang lain.
Lengkaplah sudah, prostitusi bergabung dengan LGBT.
Makanya, dunia mesum saat ini begitu kasat mata.
Ternyata, media dan pemilik kapital juga berperan dalam menyuburkan hal ini. Media-media yang menyajikan seks bebas dan menyimpang tumbuh subur di dunia ini. Aktifitas mesum kemudian di-packing menjadi paket komersial. Makanya, wacanauntu lokalisasi prostitusi itu selalu muncul. Tanya kenapa?. Lagi-lagi karena dunia mesum ini menghasilkan duit. Mengalir ke masyarakat atau ke negara melalui instrumen pajak.
Makanya, ketika lokasi mesum digusur, banyak yang protes. Alasannya macam-macam dan biasanya selalu dikaitkan dengan hilangnya sumber pencarian. Padahal, kalau mau jujur, uang yang didapat tidak sebanding dengan multiplier efek negatif yang ditimbulkan. Misalnya, menyebarnya penyakit kelamin, rusaknya institusi rumah tangga, kriminalitas, perjudian dan tentu saja mengundang azab Tuhan. Kendati, untuk yang terakhir ini banyak yang tidak perduli. Nilai ekonomi yang dihasilkan pasti tidak sebanding dengan efek negatifnya.
Saya juga berandai-andai.
Tahun 2016 ini LGBT yang menjadi trend. Bisa saja, juga akan muncul trend-trend budaya seks menyimpang lainnya yang akan minta dilegalisir. Bisa saja dan selalu terbuka peluang untuk itu. Apalagi jika ada yang sengaja untuk memunculkannya. Argumen yang mungkin akan selalu dipakai adalah "Jangan menghukum orang dengan apa yang mereka lakukan di ranjang mereka". Argumen inilah yang saat ini dipakai dalam tuntutan penyetaraan LGBT dengan kaum heteroseksual normal yang ada.
Saya tidak punya kata-kata lagi untuk melanjutkan. Institusi masyarakat dan rumah tangga kita sedang di ambang ancaman besar. Wabah mesum dan penyimpangan seksual akan menghampiri kita. Waspadalah.
Bro, manusia kini sudah tidak takut lagi kepada neraka. Mereka bahkan rela membayar, supaya masuk ke dalamnya. Tidak percaya?, Saksikan saja.
1 Comments
Semua kita resah pak, tapi kira2 apa solusi nya?
ReplyDelete