Oleh: M. Ridwan
Minggu pagi ini seharusnya
menjadi hari yang menggembirakan buat anak-anak di lingkungan perumahan kami.
Betapa tidak, hari ini mereka akan mengenakan pakaian baru untuk pelatihan pencak
silat. Adalah ustaz Qadri yang memiiki inisiatif untuk mengadakan pelatihan pencak
silat ini. Inisiatif ini terlihat cukup berhasil jika dilihat dari jumlah
peserta yang berpartisipasi. Nah, hari ini, mereka seharusnya akan sedikit “bergaya”
dengan seragam baru yang “kinclong”, merah membara.
Tapi, siapa sangka, asap “kiriman”
yang entah dari mana asal muasalnya ini berhasil “membubarkan” rencana
bocah-bocah kecil ini. Para orang tua, -termasuk kami- memutuskan untuk
meliburkan pelatihan karena dikhawatirkan asap akan membuat
masalah bagi kesehatan para “jawara” cilik itu. Raut muka mereka kecewa
tentunya, muram. Sama seperti muramnya pagi ini karena kehilangan cahaya mentari
yang juga tertutup asap. Pertahanan Sumatera Utara, khususnya Kota Medan
ternyata “berhasil” dijebol oleh asap kiriman ini. Luar biasa.
Tulisan saya kali ini tidak akan menyalahkan
para pembakar hutan gambut –pembuat biang kerok ini-. Mungkin saja saat ini mereka
sedang kaget besar akibat perbuatan mereka. Saya juga merasa tidak perlu lagi
menyalahkan para “pejabat” yang katanya
bahkan telah memberikan izin pembakaran atau
mungkin “alfa” mengantisipasi kejadian ini.
Dipastikan mereka kini, sedang kecut hatinya.
Itupun jika masih memiliki hati nurani.
Saya juga tidak akan mengomel dan
mencaci maki para pengusaha perkebunan yang mungkin telah lama meraup untung
tak terhingga dari aktifitas “berkebun” di tanah pertiwi ini. Biarlah mereka
mencicipi uang hasil “berkebun” itu dan menikmatinya dengan anak dan isteri
mereka. Be Happpy..
Tulisan ini lebih kepada sebuah refleksi
mendalam mengenai arti sebuah keberkahan. Ya, sebuah keberkahan yang tercerabut.
Keberkahan adalah kebaikan Tuhan
yang menetap pada sesuatu. Seperti yang dijelaskan oleh Raghib al-Ashfahaniy
dalam Mu’jam al-Mufahras-nya. Keberkahan itu bisa pada harta,
pada diri manusia, atau pada sebuah negeri. Indikatornya adalah jika menetap
pada sesuatu yang sedikit, maka keberkahan itu akan berhasil menambahnya sedangkan jika ia menetap pada
sesuatu yang banyak, keberkahan itu akan berhasil membuatnya menjadi bermanfaat.
Nah, keberkahan ini pernah
diberikan Allah kepada penduduk Saba’ (1300
SM-620 SM, Ma’rib adalah ibu kotanya) dengan memberikan mereka segala fasilitas
dunia. Kebun dan pertanian subur, buah-buahan lezat melimpah, air yang jernih
dan sehat, binatang ternak yang banyak dan tentunya penduduk yang sehat jasmani. Saba’ adalah
negeri makmur. Gemar Ripah Loh Jinawi.
Tapi, siapa nyana. Saba’ akhirnya
terpekur menjadi negeri hina dina. Terjerembab menjadi “cemoohan” Tuhan yang marah
karena kepongahan mereka. Disuruh bersyukur dan beriman, mereka justru
membangkang dan arogan. Mereka terlalu percaya diri dengan keberhasilan dan ketinggian
ilntelektualitas yang dimiliki.
Saba’ adalah sebuah negeri , yang
dalam hitungan beberapa tahun saja, mengalami –dalam istilah ekonomi- konjungtur
secara drastis (turun naik keadaan). Dimuliakan namun akhirnya dihinakan ke
level terendah dalam peradaban.
Saba’ dihancurkan oleh banjir bah
yang dahsyat dari bendungan Ma’rib yang perkasa dan selama ini menjadi
kebanggaan penduduk Saba’. Siapa sangka, bendungan ini pula yang menenggelamkan
cerita Saba’ untuk selamanya. Tragis benar…
Atau, kita mungkin saja memiliki
potensi kejahatan sama dengan penduduk Sodom (kira-kira 4000 tahun lalu). Mungkin bentuknya sudah berbeda dan canggih misalnya
trend komersialisasi pelacuran atau sophistifikasi kesenangan seksual.
Bisa juga, kita punya potensi
seperti umat Pompeii yang dihancurkan gunung berapi Vesuvius (79M) di Itali. Kota
ini dihancurkan Tuhan karena kesenangan mereka mengumbar nafsu hedonis dan
hasrat membunuh yang besar. Mereka hilang, dimusnahkan oleh gempa dan aliran lahar
gunung berapi Vesuvius.
Pembaca mungkin segera akan
menebak bahwa saya pasti akan menyamakan negeri-negeri di atas dengan Indonesia
ini. Dari sisi kemakmuran, Saba’, Pompeii atau Sodom dan Indonesia bisa saja
disamakan. Kita punya kemakmuran. Kita punya alam yang subur. Sungai dan gunung
memberikan alam yang berlimpah. Kita punya laut dan hutan yang menghasilkan
hasil berlimpah. Tak terkira.
Satu-satunya yang membedakannya, bahwa
kita mengetahui kisah mereka, tapi penduduk Saba’, Pompeii atau Sodom tidak mengetahui kisah mereka ditulis dengan tinta merah sejarah, menjadi contoh masyarakt gagal di mata Tuhan.
Kita tahu apa yang membuat negeri-negeri dijatuhkan oleh Tuhan dengan adanya informasi dari kitab suci sehingga, seharusnya, kita tidak bisa dihinakan seperti mereka. Kita seharusnya bisa mengantisipasinya, menghindar. Gak level dong,kita disamakan dengan mereka.
Namun, sayangnya, kita ternyata memiliki potensi yang sama dengan negeri-negeri yang dihancurkan. Kita puya potensi tidak bersyukur seperti penduduk Saba’, gemar mengumbar hasrat seksual seperti kaum Sodom dan brutal seperti masyarakat Pompeii, bahkan dalam kadar berlebih. Ketundukkan kita kepada Tuhan mungkin rendah, rasa takut kepada-Nya minimalis, terlihat tapi tak bisa dirasakan.
Kita tahu apa yang membuat negeri-negeri dijatuhkan oleh Tuhan dengan adanya informasi dari kitab suci sehingga, seharusnya, kita tidak bisa dihinakan seperti mereka. Kita seharusnya bisa mengantisipasinya, menghindar. Gak level dong,kita disamakan dengan mereka.
Namun, sayangnya, kita ternyata memiliki potensi yang sama dengan negeri-negeri yang dihancurkan. Kita puya potensi tidak bersyukur seperti penduduk Saba’, gemar mengumbar hasrat seksual seperti kaum Sodom dan brutal seperti masyarakat Pompeii, bahkan dalam kadar berlebih. Ketundukkan kita kepada Tuhan mungkin rendah, rasa takut kepada-Nya minimalis, terlihat tapi tak bisa dirasakan.
Lalu, ketika musibah asap ini
mendatang, apakah artinya?
Saya kira, tidak berlebihan jika
saya katakan bahwa keberkahan negeri ini sedang beranjak pergi. Berkemas untuk
mencari negeri lain yang lebih pantas dihuninya. Mungkinkah?
Saya kira, kondisi di atas sangat
terbuka peluang. Ini bukan dikarenakan Tuhan yang mulai bosan dengan kita, lho
(seperti kata bait lagu Ebiet G. Ade). Akan
tetapi bisa jadi, keberkahan ini beranjak pergi, karena kita-lah yang mulai
bosan bertuhan atau kehilangan kemampuan “menghadirkan” tuhan dalam hidup kita.
Mudah-mudahan, bencana asap ini segera hilang
dan tak terjadi lagi. Kita tentu tidak ingin jika beberapa ribu tahun ke depan, ternyata buku-buku sejarah saat itu, menceritakan kehancuran negeri-negeri yang dimurkai Tuhan. Dan, ternyata, Indonesia termasuk salah satu di dalamnya, berdampingan dengan Saba', Sodom dan Pompeii. Na’uzubillah.
Saya takut bencana asap ini akan merubah cerita sejarah dunia. Oleh karena itu, saya akan angkat topi dan acungkan dua jempol bagi siapa
saja yang berani menjamin bahwa bencana asap ini tidak akan terjadi lagi. Adakah?
0 Comments