Ticker

6/recent/ticker-posts

The Last Blue Sky: Lagi-Lagi Tentang Si Asap



Oleh: M. Ridwan

Saya suka warna biru. Apalagi kalau melihat kedalaman lautan. Rasanya, gimana gitu. Setahu saya ada beberapa tokoh dunia yang juga menyukainya, sebut saja  misalnya Abraham Lincoln, Putri Diana atau Walt Disney. Meskipun, kapasitas mereka tentu jauh di atas saya. :) Katanya, biru melambangkan sikap setia dan pemikir mendalam, tapi juga tidak mudah ditebak. Hehe, kok jadi narsis begini?

Konteks tulisan saya kali ini tentu tidak bercerita tentang warna-warni, gradasi apalagi lukis-melukis. Oh ya, saya memang menyukai lukisan terutama lukisan alam, kendati sama sekali tidak memiliki keahlian melukis. Nilai saya cuma dapat 7 ketika di sekolah dulu. :) Makanya, saya heran ketika melihat kedua anak perempaun saya kelihatan lebih pintar dari diriku dalam hal lukis-melukis. Kata ummi-nya, itu bakat menurun dari dirinya. uWah,wah,,

Kembali kepada si biru.
Saya kira, publik Sumatera dan Kalimantan mungkin tidak merasa bahwa ada “keganjilan” alam yang mulai biasa kita saksikan. Apa itu? Tentu, bukan penampakan UFO, atau alien yang saya maksudkan.

Yes, kita telah kehilangan Langit Biru nan indah itu…!!!

Beberapa bulan ini ini, mungkin semua warga Riau, Jambi, Kalimantan telah kehilangan langit biru yang selama ini menemani siang hari kita. Mengapa hilang? Apalagi kalau bukan karena “serangan” asap ini.

Saya kok tiba-tiba seperti berada di Gotham City. Itu lho, kota yang selalu diselimuti kegelapan dalam film Batman and Robin. Kendati tidak gelap total seperti kota itu, namun asap telah menyebabkan matahari telah kehilangan “keberaniannya” untuk menampakkan diri, sama seperti di kota tempat Manusia Kelelawar itu berada.

Kendati hujan terus-menerus turun di Sumatera dalam beberapa hari ini, khususnya Medan, namun langit masih tetap kehilangan warna birunya. Siap-siap kecewa. Apalagi kalau kita berharap munculnya pelangi yang biasanya ada ketika hujan di siang hari. Makanya, saya memberanikan diri menulis judul The Last Blue Sky  (Langit Biru yang terakhir). Sekedar untuk bertanya, kira-kira masih ingatkah kita kapan terakhir kali melihat langit yang berwarna biru?

Tanpa bermaksud memperkeruh keadaan and penderitaan korban asap, saya kira, banyak hikmah yang bisa kita ambil dari bencana asap ini.

Ada yang mengatakan bahwa bencana ini adalah akibat keteledoran, keserakahan, mata duitan, ketidak pedulian, marahnya Tuhan, dsb. Sampai-sampai gajah di Riau-pun “protes” dengan kebakaran yang terjadi di hutan tempat tinggal mereka.  Gajah-gajah tidak berdosa itu mengamuk dan menghancurkan pondokan para pembakarnya. Gajah yang emosional mulai kehilangan “kesabaran” mereka. :)

Saya kira, apapun analisisnya, bencana asap ini adalah cerminan hasil pikiran dan perbuatan kita, para manusia. Alam memang tidak pandai berkata-kata indah seperti manusia. Alam tidak pandai bersilat lidah, berjanji, atau bahkan berbohong sekalipun. Mereka mungkin "bodoh", tidak bependidikan dan terkebelakang.  Wong, otak saja mereka tidak punya, bukan?

Sehingga, mereka hanya punya satu cara untuk menyampaikan protesnya. Ya, apalagi kalau bukan dengan bahasa yang “mereka pahami” yaitu “menunjukkan bencana”. Makanya, alam yang “bodoh” ini karena tidak berani  menerima amanah kekhalifahan di muka bumi. Mereka merasa takut dan tidak percaya diri bahkan ketakutan menerima amanah  dari Tuhan. Dan, manusia yang mengaku “cerdas” inilah yang merasa PeDe menerimanya. Manusia merasa sangat pintar melebihi alam.

Saya kira, cerita dunia, akan selalu sama yaitu menceritakan tentang prilaku para pecundang, pemenang, pengikut nafsu dan pengendali nafsu. Demikian juga cerita tentang para manusia sombong, perusak atau manusia rendah hati dan pemberi manfaat.Silahkan pilih saja lakon kita.

Sayangnya, banyak manusia yang merasa tidak memiliki banyak waktu lagi untuk kembali memikirkan hakikat hidup ini. Sebagian lagi, mungkin, masih dibingungkan dengan istilah “Kerja Kerja Kerja" atau "yang penting bekerja”, sehingga  jargon“jangan banyak mikir dan teralu idealis” menjadi membahana.

Padahal, saya kira manusia adalah mahkluk ideal. Mereka harus kembali kepada idealisme dan spirit yang tidak terlihat. 

Bekerja itu tidak mesti dengan berlari dan berkendaraan. Tidak mesti heboh dan naik turun gunung apalagi demi mengejar yang katanya “pencitraan”. Bekerja keras bisa dilakukan dengan “senyap”, “silent" atau “menyentuhkan jari saja”. Memangnya, semua karyawan Google itu bekerja dengan masuk hutan atau krasuk-krusuk ke sana kemari?. Mereka hanya mempelototi komputer dan berpikir, lho. Yah, karena pekerjaan mereka bidang itu. Lho, kok saya sampai membawa jauh-jauh melihat Googleplex di Mountain View, California, sih..

Memang sudah nasib kita, di tahun 2015 ini merasakan kehilangan langit biru itu. Syukur-syukur bisa menambah hikmah. Hitung-hitung untuk menebalkan rasa syukur kita yang selama ini mungkin sudah jarang diucapkan ketika memandang langit yang biru. 

Saya berdoa, mudah-mudahan, fenomena hilangnya si langit biru bukan karena tuhan yang sedang marah karena manusia yang menutup mata hatinya dengan nikmat yang diberikan-Nya.  Saya berdoa, semoga hilangnya si biru tidak justu membuat kita malah kehilangan akal pikiran dan rasa ruhani yang kita miliki.

Atau, jangan-jangan, manusia saat ini hanya sedikit saja yang masih menyukai warna biru?, sehingga no problem saja ketika ketika kehilangan langit berwarna biru itu?. Weleh-weleh.. ke-GE-ER-an lagi nih…



Post a Comment

0 Comments