Oleh: M. Ridwan
Saya suka warna biru. Apalagi
kalau melihat kedalaman lautan. Rasanya, gimana gitu. Setahu saya ada beberapa
tokoh dunia yang juga menyukainya, sebut saja misalnya Abraham Lincoln, Putri Diana atau
Walt Disney. Meskipun, kapasitas mereka tentu jauh di atas saya. :) Katanya, biru
melambangkan sikap setia dan pemikir mendalam, tapi juga tidak mudah ditebak.
Hehe, kok jadi narsis begini?
Konteks tulisan saya kali ini
tentu tidak bercerita tentang warna-warni, gradasi apalagi lukis-melukis. Oh
ya, saya memang menyukai lukisan terutama lukisan alam, kendati sama sekali
tidak memiliki keahlian melukis. Nilai saya cuma dapat 7 ketika di sekolah dulu. :) Makanya, saya heran
ketika melihat kedua anak perempaun saya kelihatan lebih pintar dari diriku
dalam hal lukis-melukis. Kata ummi-nya, itu bakat menurun dari dirinya. uWah,wah,,
Kembali kepada si biru.
Saya kira, publik Sumatera dan
Kalimantan mungkin tidak merasa bahwa ada “keganjilan” alam yang mulai biasa
kita saksikan. Apa itu? Tentu, bukan penampakan UFO, atau alien yang saya
maksudkan.
Yes, kita telah kehilangan Langit Biru nan indah itu…!!!
Beberapa bulan ini ini, mungkin semua
warga Riau, Jambi, Kalimantan telah kehilangan langit biru yang selama ini menemani
siang hari kita. Mengapa hilang? Apalagi kalau bukan karena “serangan” asap ini.
Saya kok tiba-tiba seperti
berada di Gotham City. Itu lho, kota yang selalu diselimuti kegelapan
dalam film Batman and Robin. Kendati tidak gelap total seperti kota itu, namun
asap telah menyebabkan matahari telah kehilangan “keberaniannya” untuk
menampakkan diri, sama seperti di kota tempat Manusia Kelelawar itu berada.
Kendati hujan terus-menerus turun
di Sumatera dalam beberapa hari ini, khususnya Medan, namun langit masih tetap
kehilangan warna birunya. Siap-siap kecewa. Apalagi kalau kita berharap
munculnya pelangi yang biasanya ada ketika hujan di siang hari. Makanya, saya
memberanikan diri menulis judul The Last Blue Sky (Langit Biru yang terakhir). Sekedar untuk
bertanya, kira-kira masih ingatkah kita kapan terakhir kali melihat langit yang
berwarna biru?
Tanpa bermaksud memperkeruh keadaan
and penderitaan korban asap, saya kira, banyak hikmah yang bisa kita ambil dari
bencana asap ini.
Ada yang mengatakan bahwa bencana
ini adalah akibat keteledoran, keserakahan, mata duitan, ketidak pedulian, marahnya
Tuhan, dsb. Sampai-sampai gajah di Riau-pun “protes” dengan kebakaran yang
terjadi di hutan tempat tinggal mereka. Gajah-gajah
tidak berdosa itu mengamuk dan menghancurkan pondokan para pembakarnya. Gajah
yang emosional mulai kehilangan “kesabaran” mereka. :)
Saya kira, apapun analisisnya,
bencana asap ini adalah cerminan hasil pikiran dan perbuatan kita, para manusia. Alam memang tidak
pandai berkata-kata indah seperti manusia. Alam tidak pandai bersilat lidah,
berjanji, atau bahkan berbohong sekalipun. Mereka mungkin "bodoh", tidak bependidikan dan terkebelakang. Wong, otak saja mereka tidak punya, bukan?
Sehingga, mereka hanya punya satu cara untuk menyampaikan
protesnya. Ya, apalagi kalau bukan dengan bahasa yang “mereka pahami” yaitu “menunjukkan bencana”.
Makanya, alam yang “bodoh” ini karena tidak berani menerima amanah kekhalifahan di muka bumi.
Mereka merasa takut dan tidak percaya diri bahkan ketakutan menerima amanah dari Tuhan. Dan, manusia yang mengaku “cerdas” inilah
yang merasa PeDe menerimanya. Manusia merasa sangat pintar melebihi alam.
Saya kira, cerita dunia, akan
selalu sama yaitu menceritakan tentang prilaku para pecundang, pemenang,
pengikut nafsu dan pengendali nafsu. Demikian juga cerita tentang para manusia
sombong, perusak atau manusia rendah hati dan pemberi manfaat.Silahkan pilih saja lakon kita.
Sayangnya, banyak manusia yang
merasa tidak memiliki banyak waktu lagi untuk kembali memikirkan hakikat hidup
ini. Sebagian lagi, mungkin, masih dibingungkan dengan istilah “Kerja Kerja Kerja" atau "yang penting bekerja”,
sehingga jargon“jangan banyak mikir dan
teralu idealis” menjadi membahana.
Padahal, saya kira manusia adalah
mahkluk ideal. Mereka harus kembali kepada idealisme dan spirit yang tidak
terlihat.
Bekerja itu tidak mesti dengan berlari dan berkendaraan. Tidak mesti
heboh dan naik turun gunung apalagi demi mengejar yang katanya “pencitraan”.
Bekerja keras bisa dilakukan dengan “senyap”, “silent" atau “menyentuhkan jari saja”. Memangnya, semua karyawan Google itu bekerja dengan masuk hutan atau krasuk-krusuk
ke sana kemari?. Mereka hanya mempelototi komputer dan berpikir, lho. Yah, karena
pekerjaan mereka bidang itu. Lho, kok saya sampai membawa jauh-jauh
melihat Googleplex di Mountain View, California, sih..
Memang sudah nasib kita, di tahun 2015 ini merasakan kehilangan
langit biru itu. Syukur-syukur bisa menambah hikmah. Hitung-hitung untuk menebalkan rasa syukur kita yang selama
ini mungkin sudah jarang diucapkan ketika memandang langit yang biru.
Saya
berdoa, mudah-mudahan, fenomena hilangnya si langit biru bukan karena tuhan
yang sedang marah karena manusia yang menutup mata hatinya dengan nikmat yang
diberikan-Nya. Saya berdoa, semoga hilangnya si biru tidak justu membuat kita malah kehilangan akal pikiran dan rasa ruhani yang kita miliki.
Atau, jangan-jangan, manusia
saat ini hanya sedikit saja yang masih menyukai warna biru?, sehingga no problem saja
ketika ketika kehilangan langit berwarna biru itu?. Weleh-weleh.. ke-GE-ER-an lagi nih…
0 Comments