Pernahkah kita berpikir bahwa setelah bekerja keras kemudian hasil kerja kita justru harus diberikan kepada Baitul Mal untuk dinikmati bersama?
Atau, pernahkah Anda membayangkan hidup di sebuah komunitas yang tidak lagi dipusingkan dengan rutinitas kantor di esok hari, tanpa tekanan bos dan boleh memilih pekerjaan apa yang diminati? Dan, kita tidak perlu khawatir bahwa keperluan harian kita tidak terpenuhi asal saja kita saling menyayangi dan berkomimen menjalankan ajaran Islam dengan baik?
Lalu, mungkin kita bertanya, kapan waktunya kita menikmati kesenangan dunia dan perhiasannya secara lebih pribadi atau bersama keluarga?
Jawaban hal itu berada di perkampungan Majelis Taklim Fardhu 'Ain yang terletak di Desa Telaga Said Kec. Sei Lepan, Kabupaten Langkat. Kebetulan, saya mendapat kesempatan mengunjungi perkampungan unik ini hari Sabtu ini.
Bersama para Jawara riset FEBI, kami meluncur ke sana. Tim dikomandoi oleh Dekan FEBI sendiri yaitu DR. H. Azhari Akmal Tarigan dan DR. Mhd. Yafiz, Wadek I. Tim dikawal oleh para jawara perempuan FEBI, yaitu Kak Chuzaimah Batubara, Isnaini Harahap dan Ayu Marliyah. Para super women ini adalah pemrakarsa dan konseptor awal riset ini.
Perkampungan ini terletak di bawah sebuah kaki bukit hijau. Tim disambut dengan ramah oleh divisi penyambut tamu yang kemudian membawa kami menghadap Tuan Imam yang bernama lengkap Muhammad Imam Hanafi. Tuan Imam berusia sekitar 27 tahun. Dengan ramah dan bersahabat beliau menyambut rombongan.
Tak terasa, hampir 2 jam kami berdialog dengannya. Beliau menceritakan sejarah awal pendirian kampung ini. Dimulai dari sang ayah Kyai Ali Mas'ud ia memaparkan bahwa pendirian kampung ini dimaksudkan untuk menyatukan masyarakat dari beragam profesi untuk hidup secara bersama dalam naungan kasih sayang. Menurutnya, apapun masalah hidup akan selesai dengan komitmen kasih sayang. Tidak ada masalah ekonomi, politik dan agama yang terjadi jika kasih sayang menjadi raja.
Pemaparannya sederhana, kendati terasa muatan hikmah yang kuat. Baginya, harta itu jangan sampai menjadi belenggu hidup, apalagi sampai memperbudak manusia. Kata-katanya dibuktikan dengan hasil karyanya berupa pemukiman mandiri dengan lebih dari 1600 orang penduduk. Luar biasa.
Kendati, saya mencatat ada pro kontra dengan keberadaan komunitas ini, namun tentu itu tidak menjadi konsen tim kali ini. Apalagi menurut pengakuannya, banyak pihak yang bernada miring dengan mereka justru belum melihat langsung kondisi mereka.
Menurut saya, komunitas itu berhasil membuat kami mengeryitkan dahi. Maklumlah, berbagai konsep dan teori ekonomi agak terbantahkan. Sebut saja, teori self interest, homo economicus atau maksimisasi kepuasan. Belum lagi kalau dikaitkan dengan pertanyaan, apakah mereka menganut paham sosialis yang menafikan kepemilikan pribadi dan hanya dikontrol oleh imam?.
Uniknya, para warga terlihat ikhlas, puas dan merasa cukup dengan sistem pembagian ala MATFA.Tak terlihat rasa mendongkol dan protes. Padahal beragam profesi ada di komunitas ini. Dari dokter, polisi, tentara bahkan mantan politisi. Tak salah kalau mereka menyatakan bahwa MATFA didasarkan sepenuhnya atas cinta dan kasih sayang. Luar biasa.
Masih banyak pertanyaan lain. Tapi, tentunya, kesimpulan akhir penelitian kami akan menceritakan lebih lanjut tentang itu. Saya hanya berani menyatakan bahwa mozaik Indonesia ini cukup banyak, unik dan islami. Bahkan, ekonomi berbasis cinta itu juga ternyata ada kendati mungkin belum dalam skala besar seperti satu negara atau sedunia.
Maka, jangan mudah dikecohkan dengan problematika ekonomi yang terkadang penyebabnya hanyalah masalah keserakahan hati atau kepentingan pribadi yang terlalu diperturutkan. Anda setuju dengan saya?
0 Comments