Ticker

6/recent/ticker-posts

Sorry Honey,.. It’s not fog, It’s smoke



By: M. Ridwan


“Ayah, lihat, kabut pagi banyak sekali, indah sekali” Aisha dan Raifa tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya menyaksikan gumpalan putih menyambut pagi mereka di depan pintu rumah. Seperti biasa, aktifitas mengantar anak sekolah merupakan rutinitas paling membahagiakan yang kami lakukan setiap paginya.

Saya kaget dan hampir bahagia. Maklum, memang kami ada rencana untuk menikmati kabut embun ini di Berastagi –kawasan pegunungan indah dan sejuk di Sumut. Namun, kebahagiaan saya -dalam hitungan detik sirna- karena saya langsung menyadari bahwa itu sama sekali bukanlah kabut embun yang dinanti bocah-bocah lugu ini.  Itu adalah ASAP. Entah dari mana datangnya. Saya hanya mencoba menerka-nerka bahwa mungkin saja asap ini adalah  kiriman dari provinsi Riau atau Jambi atau somewhere –lah. Saya kira, dalam kondisi ini tidak begitu begitu penting lagi untuk mengetahui dari mana asal asap putih ini, bukan?.

Kalaulah benar asap ini dari Riau, Jambi atau Bengkulu, betapa hebatnya. Betapa tidak, sang asap telah “bersusah payah” melintasi berbagai propinsi.  Saya tidak dapat membayangkan, jika di Sumut saja asapnya sudah terlihat begitu parahnya, bagaimana pula kondisi propinsi Riau, Jambi atau Bengkulu?.  Tidakkah penderitaan warganya lebih parah lagi?. Kendati, info yang saya dengar bahwa aktifitas Bandara Kuala Namu tidak terlalu berpengaruh di pagi ini, namun siapa tahu besok?

Welcome to Indonesia.  Saya kira inilah ungkapan tepat untuk orang luar negeri yang mungkin akan 
kaget jika mengalami kejadian pagi ini.

Inilah potret negeri subur dan hijau di khatulistiwa bumi ini. Saya jadi teringat hadist nabi yang meramalkan bahwa salah satu tanda kiamat besar nanti adalah kembali suburnya negeri-negeri Arab karena ditumbuhi berbagai aneka tanaman dan perkebunan. Dan, saat ini, kondisi itu sudah terjadi di Arab. Di sana sudah mulai hijau dengan aneka ragam flora. Hadist ini saya yakini kebenarannya.

Adapun yang saya khawatir adalah jika ternyata hadis ini memiliki pesan tersirat juga. Apa itu?. jika Arab bisa menjadi subur, maka negeri-negeri yang sebelumnya subur dan makmur-pun tentu juga bisa sebaliknya, yaitu menjadi tandus dan gersang.  

Entah kenapa, saya langsung membayangkan Indonesia. Why not?
Kekhawatiran saya tentu bukan tanpa alasan. Penebangan hutang di negeri ini –atas nama industri dan capital- telah begitu parahnya. Aktifitas –sebagaimana dilaporkan berbagai media- telah menyebabkan hancurnya ekosistem hutan di seluruh daerah. Sayangnya, program penghijauan kembali terlihat lebih lambat dalam mengimbangi laju penebangan hutan ini.

Lihat saja, daerah-daerah yang dulu hijau, kini telah disulap penjadi perkebunan yang rakus air atau properti. Kering, tandus dan tentu saja berpotensi dan telah menjadi areal pembakaran.

Dalam ekonomi, kondisi ini disebut eksternalitas negatif yaitu dampak negatif dari kegiatan ekonomi. Alih-alih untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya banyak yang harus dikorbankan (trade off). Tinggal kita menghitung saja. Kita harus cerdas melakukan pilihan. Dalam bahasa agamannya, melakukan ikhtiar.

Mungkin ada yang mengatakan. So, apa yang harus kita lakukan menyikapi asap ini?
Saya juga tidak tahu. Dalam kondisi seperti ini teori dan konsep ekonomi hampir dipastikan akan “kalah” dengan sebuah kebijakan. Dalam bahasa anak Medan-nya, idealisme bisa dikalahkan dengan profit (fulus) dan kepentingan. Penegakan hukum yang mungkin tidak konsisten dengan sanksi yang terbilang ramah (friendly) bisa jadi memperparah keadaan.  

Saya kira, saatnya kepedulian kita ditingkatkan. Saya berdoa semoga para pelaku pembakaran masih memiliki hati nurani untuk menyadari penderitaan yang telah mereka ciptakan. Saya juga berdoa dan berharap para aparat hukum terus memiliki integritas untuk menghukum pelaku yang bersalah dan memiliki tindakan preventif bagi masa mendatang.

Saya kira, integritas kita sebagai bangsa besar menjadi taruhannya. Akankah kita berhasil mengatasi masalah kecil yang telah menjadi besar ini?

Yang jelas, saya akhirnya membeberkan apa adanya kepada Aisha dan Raifa.  Sayang, ini bukan kabut embun, tapi ini adalah asap dari pembakaran hutan.” Sumpah, saya tidak sanggup menatap wajah kecewa mereka walaupun akhirnya saya sedikit terhibur dengan tertawaan renyah mereka, sesudah itu. “Ayah, kalau begitu, siapa membakar?, Apakah mereka tidak terbakar juga?”.
Sekilas, pertanyaan mereka lucu-lucu juga, beruntun dan sambil tertawa. Tapi, sejujurnya, saya tidak bisa menikmati tertawaan mereka kali ini. Jangan-jangan, tertawa mereka adalah sindiran ditujukan kepada kita, -para orang dewasa ini- yang terkadang, suka sekali berprilaku seperti anak-anak. It’s time to school honey, see you…”….


Post a Comment

0 Comments