By:
M. Ridwan
“Ayah,
lihat, kabut pagi banyak sekali, indah sekali” Aisha dan Raifa tidak bisa
menyembunyikan kegembiraannya menyaksikan gumpalan putih menyambut pagi mereka
di depan pintu rumah. Seperti biasa, aktifitas mengantar anak sekolah merupakan
rutinitas paling membahagiakan yang kami lakukan setiap paginya.
Saya
kaget dan hampir bahagia. Maklum, memang kami ada rencana untuk menikmati kabut
embun ini di Berastagi –kawasan pegunungan indah dan sejuk di Sumut. Namun, kebahagiaan
saya -dalam hitungan detik sirna- karena saya langsung menyadari bahwa itu sama
sekali bukanlah kabut embun yang dinanti bocah-bocah lugu ini. Itu adalah ASAP. Entah dari mana
datangnya. Saya hanya mencoba menerka-nerka bahwa mungkin saja asap ini adalah kiriman dari provinsi Riau atau Jambi atau
somewhere –lah. Saya kira, dalam kondisi ini tidak begitu begitu penting lagi untuk
mengetahui dari mana asal asap putih ini, bukan?.
Kalaulah
benar asap ini dari Riau, Jambi atau Bengkulu, betapa hebatnya. Betapa tidak, sang
asap telah “bersusah payah” melintasi berbagai propinsi. Saya tidak dapat membayangkan, jika di Sumut
saja asapnya sudah terlihat begitu parahnya, bagaimana pula kondisi propinsi
Riau, Jambi atau Bengkulu?. Tidakkah
penderitaan warganya lebih parah lagi?. Kendati, info yang saya dengar bahwa aktifitas
Bandara Kuala Namu tidak terlalu berpengaruh di pagi ini, namun siapa tahu
besok?
Welcome
to Indonesia. Saya kira inilah ungkapan tepat untuk orang
luar negeri yang mungkin akan
kaget jika mengalami kejadian pagi ini.
Inilah
potret negeri subur dan hijau di khatulistiwa bumi ini. Saya jadi teringat hadist
nabi yang meramalkan bahwa salah satu tanda kiamat besar nanti adalah kembali suburnya
negeri-negeri Arab karena ditumbuhi berbagai aneka tanaman dan perkebunan. Dan,
saat ini, kondisi itu sudah terjadi di Arab. Di sana sudah mulai hijau dengan
aneka ragam flora. Hadist ini saya yakini kebenarannya.
Adapun
yang saya khawatir adalah jika ternyata hadis ini memiliki pesan tersirat juga.
Apa itu?. jika Arab bisa menjadi subur, maka negeri-negeri yang sebelumnya
subur dan makmur-pun tentu juga bisa sebaliknya, yaitu menjadi tandus dan
gersang.
Entah
kenapa, saya langsung membayangkan Indonesia. Why not?
Kekhawatiran
saya tentu bukan tanpa alasan. Penebangan hutang di negeri ini –atas nama
industri dan capital- telah begitu parahnya. Aktifitas –sebagaimana dilaporkan
berbagai media- telah menyebabkan hancurnya ekosistem hutan di seluruh daerah.
Sayangnya, program penghijauan kembali terlihat lebih lambat dalam mengimbangi
laju penebangan hutan ini.
Lihat
saja, daerah-daerah yang dulu hijau, kini telah disulap penjadi perkebunan yang
rakus air atau properti. Kering, tandus dan tentu saja berpotensi dan telah
menjadi areal pembakaran.
Dalam
ekonomi, kondisi ini disebut eksternalitas negatif yaitu dampak negatif dari
kegiatan ekonomi. Alih-alih untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya
banyak yang harus dikorbankan (trade off). Tinggal kita menghitung saja.
Kita harus cerdas melakukan pilihan. Dalam bahasa agamannya, melakukan ikhtiar.
Mungkin
ada yang mengatakan. So, apa yang harus kita lakukan menyikapi asap ini?
Saya
juga tidak tahu. Dalam kondisi seperti ini teori dan konsep ekonomi hampir
dipastikan akan “kalah” dengan sebuah kebijakan. Dalam bahasa anak Medan-nya, idealisme
bisa dikalahkan dengan profit (fulus) dan kepentingan. Penegakan hukum
yang mungkin tidak konsisten dengan sanksi yang terbilang ramah (friendly)
bisa jadi memperparah keadaan.
Saya
kira, saatnya kepedulian kita ditingkatkan. Saya berdoa semoga para pelaku pembakaran
masih memiliki hati nurani untuk menyadari penderitaan yang telah mereka
ciptakan. Saya juga berdoa dan berharap para aparat hukum terus memiliki
integritas untuk menghukum pelaku yang bersalah dan memiliki tindakan preventif
bagi masa mendatang.
Saya
kira, integritas kita sebagai bangsa besar menjadi taruhannya. Akankah kita
berhasil mengatasi masalah kecil yang telah menjadi besar ini?
Yang
jelas, saya akhirnya membeberkan apa adanya kepada Aisha dan Raifa. “Sayang, ini bukan kabut embun, tapi ini
adalah asap dari pembakaran hutan.” Sumpah, saya tidak sanggup menatap
wajah kecewa mereka walaupun akhirnya saya sedikit terhibur dengan tertawaan renyah
mereka, sesudah itu. “Ayah, kalau begitu, siapa membakar?, Apakah mereka tidak
terbakar juga?”.
Sekilas, pertanyaan mereka lucu-lucu
juga, beruntun dan sambil tertawa. Tapi, sejujurnya, saya tidak bisa menikmati tertawaan
mereka kali ini. Jangan-jangan, tertawa mereka adalah sindiran ditujukan kepada
kita, -para orang dewasa ini- yang terkadang, suka sekali berprilaku seperti
anak-anak. It’s time to school honey, see you…”….
0 Comments