Ticker

6/recent/ticker-posts

We are at The Crossroad? (Catatan AICIS 2015 Bagian 1)



Oleh: M. Ridwan

Akhirnya, kami tiba juga di Manado. Awalnya saya kira perjalanan ini akan melelahkan. Bayangkan 5 jam di atas pesawat plus hampir 3 jam duduk di Bandara Cengkareng pastilah akan meletihkan. Sejak jam 3 malam kami sudah harus bergerak ke Bandara Kuala Namu. Tapi, siapa sangka, saya dan  Kak Chuzaimah ternyata berada satu pesawat dengan para guru besar UINSU. Terlihat, Prof. Syahrin Harapan (Guru Besar Pemikiran Islam UINSU), Prof. Hasan Bakti, Prof. Hasan Asary dan Dr. Sukiman  (Dekan FU UmINSU) juga berada di pesawat yang sama. Alhasil, sesampainya di Jakarta, kita , memanfaatkan momen itu untuk berdiskusi panjang lebar dengan mereka. PIkiran saya melayang ke belakang ketika masih sangat “culun” saat menjadi mahasiswa Prof. Syahrin. 

Kalau tidak salah, beliau mengajar mata kuliah Dirasah Islamiyah. Saya sangat menyukai mata kuliah ini. Mata kuliah itulah yang membuka waawan dan optimis saya terkait dunia Islam. Saya masih terbayang semangatnya ketika menjelaskan mengenai kebangkitan Islam di Mesir dan Belahan Dunia Arab saat itu. Dengan intonasi yang khas dan gaya bahasa yang tegas, beliau berhasil membuat kami terkesima. Dan, momentum itu terulang kembali hari ini.

Diskusi kami panjang lebar. Mulai dari pembahasan terkait akademis, teknologi informasi, sampai dengan cara mempromosikan akademisi dan agamawan UIN. Ngalur ngidul juga lah. Tentu saja sambil ditemani secangkir teh di kafe bandara. Sedappp…

Menurut Prof. Syahrin, saat ini telah terjadi banyak pergeseran budaya berpikir masyarakat bahkan di kalangan ilmuawan atau orang pintarnya. Dia mengawalinya dengan menyatakan bahwa sebuah teori yang dicetuskan saat ini, atau sebuah opini sekalipun, pasti telah pernah dikemukan oleh orang lain, someone or somewhere. Jadi, sebenarnya tidak ada teori yang benar-benar genuine dari seseorang.

Lalu, bagaimana menjadikan sebuah teori, tesis atau sintesa itu menjadi unik atau berbeda meski memiliki argumen yang sama?. Jawaban Prof Syahrin terletak pada konklusinya. Artinya, sebuah kesimpulan harus memiliki nilai beda. That’s it. Begitu yang bisa saya pahami dari dialog dengan beliau.

Diskusi berlanjut di ruang ruang tunggu pesawat. Beberapa rekan dari UIN dan IAIN lain mulai terlihat.  Dari sekian kata-katanya, satu satu ungkapan yang paling saya ingat bahwa saat ini semuruh umat manusia tengah berada di persimpangan jalan (Crossroad).

Lalu siapa yang dimaksud dengan kata “kita”?,
Tentu saja kita-kita ini, para akademisi, teknokrat, birokrat, pemuka agama atau masyarakat umum. Kita dihadapkan pada pertanyaan seperti apa masa depan teknologi, media sosial, militer dan agama?.  
Kita masih belum bisa menebak seperti apa dampak pencapaian ini pada sisi kemanusian, tatanan moral termasuk juga bidang ekonomi, dan politik. Seberepa besar nilai positifnya sekaligus seberapa dahsyat daya rusaknya. Kita masih di persimpangan untuk menentukan seperti apa baiknya sebuah masa depan.

Prof. Syahrin menutup penjelasannya mengenai situasi geopolitik dunia yang mulai tidak menentu. Kendati proses balancingnya akan terjadi, tetap saja akan memakan korban jiwa. Bahkan sangat mungkin melahirkan peperangan.

Saya tentu saja ikut nimbrungi dan cuap-cuap dengan memberikan informasi situasi terkini kondisi ekonomi Indonesia. Pantang tak hebat juga lah..hehe

Diskusi kami juga membahas sekilas masa depan Indonesia dan Islam. Kali Prof Hasan Bakti yang menjelaskan fenomena lemahnya iman dan pondasi umat Islam khususnya Sumatera Utara. Pokoknya diskusi itu panjang lebar. Saya tidak mungkin menuliskannya di sini karena tangan saya juga sudah cukup letih menuliskannya dan mengantuk.
We are at the crossroad? Benarkah kita sedang di berada di persimpangan jalan?

(Bersambung)

Post a Comment

0 Comments