Oleh: M. Ridwan
Akhirnya, kami tiba juga di
Manado. Awalnya saya kira perjalanan ini akan melelahkan. Bayangkan 5 jam di
atas pesawat plus hampir 3 jam duduk di Bandara Cengkareng pastilah akan
meletihkan. Sejak jam 3 malam kami sudah harus bergerak ke Bandara Kuala Namu. Tapi,
siapa sangka, saya dan Kak Chuzaimah ternyata
berada satu pesawat dengan para guru besar UINSU. Terlihat, Prof. Syahrin
Harapan (Guru Besar Pemikiran Islam UINSU), Prof. Hasan Bakti, Prof. Hasan
Asary dan Dr. Sukiman (Dekan FU UmINSU) juga
berada di pesawat yang sama. Alhasil, sesampainya di Jakarta, kita , memanfaatkan
momen itu untuk berdiskusi panjang lebar dengan mereka. PIkiran saya melayang
ke belakang ketika masih sangat “culun” saat menjadi mahasiswa Prof.
Syahrin.
Kalau tidak salah, beliau mengajar mata kuliah Dirasah Islamiyah. Saya
sangat menyukai mata kuliah ini. Mata kuliah itulah yang membuka waawan dan optimis
saya terkait dunia Islam. Saya masih terbayang semangatnya ketika menjelaskan
mengenai kebangkitan Islam di Mesir dan Belahan Dunia Arab saat itu. Dengan
intonasi yang khas dan gaya bahasa yang tegas, beliau berhasil membuat kami
terkesima. Dan, momentum itu terulang kembali hari ini.
Diskusi kami panjang lebar. Mulai
dari pembahasan terkait akademis, teknologi informasi, sampai dengan cara
mempromosikan akademisi dan agamawan UIN. Ngalur ngidul juga lah. Tentu
saja sambil ditemani secangkir teh di kafe bandara. Sedappp…
Menurut Prof. Syahrin, saat ini telah
terjadi banyak pergeseran budaya berpikir masyarakat bahkan di kalangan
ilmuawan atau orang pintarnya. Dia mengawalinya dengan menyatakan bahwa sebuah
teori yang dicetuskan saat ini, atau sebuah opini sekalipun, pasti telah pernah
dikemukan oleh orang lain, someone or somewhere. Jadi, sebenarnya tidak
ada teori yang benar-benar genuine dari seseorang.
Lalu, bagaimana menjadikan sebuah
teori, tesis atau sintesa itu menjadi unik atau berbeda meski memiliki argumen
yang sama?. Jawaban Prof Syahrin terletak pada konklusinya. Artinya, sebuah
kesimpulan harus memiliki nilai beda. That’s it. Begitu yang bisa saya
pahami dari dialog dengan beliau.
Diskusi berlanjut di ruang ruang tunggu
pesawat. Beberapa rekan dari UIN dan IAIN lain mulai terlihat. Dari sekian kata-katanya, satu satu ungkapan
yang paling saya ingat bahwa saat ini semuruh umat manusia tengah berada di
persimpangan jalan (Crossroad).
Lalu siapa yang dimaksud dengan
kata “kita”?,
Tentu saja kita-kita ini, para akademisi,
teknokrat, birokrat, pemuka agama atau masyarakat umum. Kita dihadapkan pada
pertanyaan seperti apa masa depan teknologi, media sosial, militer dan agama?.
Kita masih belum bisa menebak seperti apa
dampak pencapaian ini pada sisi kemanusian, tatanan moral termasuk juga bidang ekonomi,
dan politik. Seberepa besar nilai positifnya sekaligus seberapa dahsyat daya
rusaknya. Kita masih di persimpangan untuk menentukan seperti apa baiknya
sebuah masa depan.
Prof. Syahrin menutup
penjelasannya mengenai situasi geopolitik dunia yang mulai tidak menentu.
Kendati proses balancingnya akan terjadi, tetap saja akan memakan korban jiwa.
Bahkan sangat mungkin melahirkan peperangan.
Saya tentu saja ikut nimbrungi dan
cuap-cuap dengan memberikan informasi situasi terkini kondisi ekonomi
Indonesia. Pantang tak hebat juga lah..hehe
Diskusi kami juga membahas sekilas
masa depan Indonesia dan Islam. Kali Prof Hasan Bakti yang menjelaskan fenomena
lemahnya iman dan pondasi umat Islam khususnya Sumatera Utara. Pokoknya diskusi
itu panjang lebar. Saya tidak mungkin menuliskannya di sini karena tangan saya
juga sudah cukup letih menuliskannya dan mengantuk.
We are at the crossroad?
Benarkah kita sedang di berada di persimpangan jalan?
(Bersambung)
0 Comments