Oleh: M. Ridwan
Pengajian minggu pagi kemarin adalah
momen yang dituggu-tunggu sebagian warga komplek kami. Bukan saja karena pagi
itu akan mendapat siraman ruhani dari para ustaz di perumahan kami, tapi juga
biasanya momen itu menjadi ajang refleksi para jamaah setelah seminggu
menjalani amanah kemanusiaan di masing-masing bidang kerjanya.
Pagi kemarin, Ustaz Erwin yang
didaulat menjadi pemateri. Pengusaha muda dan murah senyum ini memaparkan
panjang lebar mengenai kondisi jaman yang harus disikapi dengan baik. Dunia
yang penuh dengan intrik dan fitnah harus disikapi dengan ketenangan dengan selalu
mendekatkan diri kepada Allah. Harapannya tentu pentunjuk Allah dan kasih
sayang-Nya. Kita mengharapkan diberikan hikmah atau kearifan dari-Nya.
Saya termenung, kata “'arif”
menjadi sebuah hal yang menarik untuk diperdalam. Saya kira, kearifan memang
dibutuhkan untuk menyelamatkan bangsa besar ini.
Lalu apa itu kearifan?
Kearifan biasanya ditujukan
kepada manusia yang mengetahui atau mendapatkan hikmah. Arif dan hikmah saya
kira identik. Ada yang suka menggunakan kata ahli hikmah untuk menunjukkan
orang arif yang mengetahui lebih dari sekedar ilmu. Hikmah adalah pengetahuan
di atas ilmu. Bisa saja kita sebut dengan “beyond science or knowledge”.
Untuk seterusnya saya menggunakan kata “arif” untuk menggantikan “ahli hikmah”.
Kalau saya tidak salah…
Orang arif memiliki pengetahuan
atas dunia yang tampak (fenomena) dan dunia di balik yang tampak (nomena).
(Bukan dunia lain, lho). Orang arif bukan sekedar mampu berpikir lateral, otak
kanan atau seabrek istilah yang diperkenalkan ahli neurologi, atau psikologi,
tapi juga mampu berpikir dengan spiritual. Ini tentu berbeda orang yang sekedar
memiliki pengetahuan, otak kiri, atau logis.
Berbagai kisah kearifan manusia
sering kita temukan dalam buku-buku sejarah. Saya yakin kita semua pasti sering
membaca kisah Khaidir dan Musa. Khaidir adalah representasi manusia arif yang
berpikiran lateral dan spiritual sedangkan Musa adalah representasi manusia
logis, dan emosional.
Alquran mempertemukan Musa dengan
Khaidir untuk menunjukkan kepada Musa bahwa masih ada langit di atas langit.
Konon, Musa juga pernah ditantang Allah untuk mencari orang yang lebih dari
dirinya. “Wahai Musa, bawalah satu mahkluk yang lebih rendah derajatnya dari
dirimu”, demikian perintah Allah kepadanya. Syukurnya, setelah berupaya keras
menemukannya, Musa akhirnya mengakui bahwa tidak ada satupun makluk ciptaan Allah
yang hina. Semuanya memiliki keistimewaan masing-masing. Ia memohon ampun karena selama ini merasa
dialah memiliki segala keistimewaan dari Tuhan.
Tindakan Musa tepat karena seandainya
Musa berhasil membawa satu mahkluk yang menurutnya lebih rendah derajatnya dari
dirinya, maka Allah pasti akan mencabut kerasulannya. Screening
kesombongan berhasil dilewati Musa dengan baik.
Saya kadang penasaran saja.
Kenapa sih, kisah-kisah manusia arif nan bijaksana itu selalu saja diketahui
ketika manusia bersangkutan telah wafat atau meninggalkan jaman kita?. Kita
membaca kisah Ibrahim bin Adham, Harun al-Rasyid, para imam Mazhab termasuk
tokoh-tokoh Indonesia yang telah meninggal dunia.
Saya berandai-andai saja jika
manusia-manusia arif itu kita ketahui secara kasat mata saat ini. Bukankah akan
sangat “enak”? . Kita akan mudah mengakses dan mengunjungi mereka untuk
memecahkan berbagai masalah negeri ini dari perspektif mereka yang tentu
mungkin berbeda dari pikiran awam kita. Kita yakin mereka diberi petunjuk oleh
Allah.
Tapi, saya berandai-andai juga. Jika
orang arif itu kita ketahui mungkin saja dirinya tidak begitu “laku” lagi alias
berharga murah. Bukankah, yang dibutuhkan saat ini adalah orang-orang cerdas,
cepat dan realistis? sama seperti kebutuhan Bani Israil akan sosok Musa?
Dalam kajian sufistik, orang arif
ini mungkin saja para mursyid atau wali yang telah memiliki kemampuan mengakses
alam malakut. Kendati, mendapat sikap pro dan kontra dari pihak-pihak yang mendeklarasikan
anti kejumudan –dan sufistik dianggap sebagai salah satu penyebabnya- namun
komunitas pro sufistik juga menjamur di dunia ini tak terkecuali Indonesia.
Banyak rekan saya yang terlihat
begitu antusias mencari orang arif ini. Mereka mengidentikkan orang arif sebagai
mursyid, guru atau wali kutub. “Hunting of Arif Man” ini menjadi sebuah
fenomena yang menarik untuk diteliti.
Kenapa orang Arif semakin sulit
ditemukan?
Tesis saya di atas mungkin
terlalu lebay.
Wong, mendefinisikan orang
arif saja kita belum sepakat, tapi saya berani sudah menyimpulkan bahwa orang
arif itu sulit ditemukan.
Begini saja. Rasanya dulu, kita
sering sekali bertemu dengan orang-orang tua yang suka memberikan tausiyah
kepada kita. Entah itu, orang tua, kyai, ulama atau orang-orang “biasa” lainnya.
Tutur kata mereka santun. Sedikit yang mereka sampaikan, tapi rasanya tuh
sampai ke dada. Mantap dan bernas, kendati yang disampaikan itu adalah sesuatu
yang kita juga sudah tahu. Kita bersemangat untuk mempraktikkan apa yang
disampaikannya. Kita merasa dia mendukung kita.
Apakah efek yang kita rasakan itu
karena kita telah bertemu dengan orang
arif?
Entah juga. Bisa saja faktornya
adalah tingkat kepercayaan kita kepadanya. Kita percaya kepada mereka karena
mungkin dalam pandangan kita mereka adalah sosok-sosok suci yang amanah
yang tidak bisa diperdaya oleh dunia. Mereka mengenggam dunia kendati
hidup mereka biasa-biasa saja. Mereka menikmati peran kehambaan mereka tanpa neko-neko.
Optimis dan tentu menularkan optimis yang sama untuk sesame penghuni bumi ini.
Kita mempercayai mereka karena
kita yakin mereka tidak akan mengkhianati kepercayaan itu. Kita haqqul
yakin bahwa mereka itu bersih dari intrik dan interest “murahan” ala
sebagian warga negeri ini. Dan tentu saja, mereka tulus mendoakan kebaikan buat
kita.
Kalau begitu, bisakah orang arif
itu diidentikkan dengan orang tulus, hatinya bersih dan tenang, tidak tergoda
intrik dunia, dan tentu saja selalu memberikan doa tulusnya untuk kita?. Tanpa
pamrih, tanpa butuh sanjungan dan cium tangan kita juga. Dia selalu tersenyum
melihat kita dalam tatapan sayang. Sesekali dia tersenyum dengan “kebodohan”
dan “kepanikan” kita mengejar dunia, lalu membetulkan cara-cara kita dan
mengatakan kepada kita. “Yes, kamu bisa.”
Saya kira, semakin banyak orang
arif akan semakin cepat bangsa ini menjadi bangsa yang besar yang diridhai
Tuhan. Mereka menjadi inspirator, integrator, motivator, penghibur nestapa
bangsa.
Saya bersedia
membayar untuk menemukan orang seperti itu, bagaimana dengan Anda?
Masih sibuk dengan lamunan, saya teringat
database orang-orang yang saya kenal. Saya teringat kepada Kakek Min. Usianya
telah mencapai 86 tahun. Dia sering mendatangi saya ketika tahu bahwa saya
pulang kampung. Dia rajin ke mesjid dan selalu rajin menghibur orang lain. Sifat
iri dan dengki, sepertinya tak sudi berteman dengan dirinya.
Dia pernah berkata, “Nak, betapa enaknya
kalian bekerja di dunia pendidikan, ya. Kalian mengurus orang yang menuntut
ilmu. Amal jariyah kalian banyak sekali. Alilm ulamanya banyak. Kakek senang
sekali menonton ceramah mereka di TVRI. Tidak seperti kakek yang bodoh ini. Bersyukurlah
kalian”. Saya tercenung dengan kata-katanya.
Saya tersenyum, jangan-jangan
orang-orang arif masih banyak di negeri ini?. Di kampus, di kantor, atau di
rumah kita sendiri. Jangan-jangan, orang arif itu adalah rekan kerja kita,
pimpinan, suami isteri kita, atau mungkin justru kita sendiri. So, Kenapa
pula harus mencarinya mereka jauh-jauh?.. J
Akhirnya, saya hanya mencoba
kembali mengingat ayat yang sering disampaikan oleh Buya Amiur Nuruddin setiap kali
memberi tausiyah kepada kami para mahasiswanya. Ayat ini adalah doa Ibrahim
kepada Allah: “(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku
hikmah dan masukkanlah Aku ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Dan jadikanlah Aku buah tutur yang baik bagi
orang-orang (yang datang) Kemudian. Dan
jadikanlah Aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan”,
(Asy-Su’ara, 83-85). Thanks Prof...
Semoga Allah menjadikan kita pemilik hikmah seperti
Ibrahim. Amin.
0 Comments