Ticker

6/recent/ticker-posts

Hunting of The 'Arifin: Mencari Para Pemilik Hikmah



Oleh: M. Ridwan

Pengajian minggu pagi kemarin adalah momen yang dituggu-tunggu sebagian warga komplek kami. Bukan saja karena pagi itu akan mendapat siraman ruhani dari para ustaz di perumahan kami, tapi juga biasanya momen itu menjadi ajang refleksi para jamaah setelah seminggu menjalani amanah kemanusiaan di masing-masing bidang kerjanya.

Pagi kemarin, Ustaz Erwin yang didaulat menjadi pemateri. Pengusaha muda dan murah senyum ini memaparkan panjang lebar mengenai kondisi jaman yang harus disikapi dengan baik. Dunia yang penuh dengan intrik dan fitnah harus disikapi dengan ketenangan dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Harapannya tentu pentunjuk Allah dan kasih sayang-Nya. Kita mengharapkan diberikan hikmah atau kearifan dari-Nya.

Saya termenung, kata “'arif” menjadi sebuah hal yang menarik untuk diperdalam. Saya kira, kearifan memang dibutuhkan untuk menyelamatkan bangsa besar ini.

Lalu apa itu kearifan?

Kearifan biasanya ditujukan kepada manusia yang mengetahui atau mendapatkan hikmah. Arif dan hikmah saya kira identik. Ada yang suka menggunakan kata ahli hikmah untuk menunjukkan orang arif yang mengetahui lebih dari sekedar ilmu. Hikmah adalah pengetahuan di atas ilmu. Bisa saja kita sebut dengan “beyond science or knowledge”. Untuk seterusnya saya menggunakan kata “arif” untuk menggantikan “ahli hikmah”.

Kalau saya tidak salah…

Orang arif memiliki pengetahuan atas dunia yang tampak (fenomena) dan dunia di balik yang tampak (nomena). (Bukan dunia lain, lho). Orang arif bukan sekedar mampu berpikir lateral, otak kanan atau seabrek istilah yang diperkenalkan ahli neurologi, atau psikologi, tapi juga mampu berpikir dengan spiritual. Ini tentu berbeda orang yang sekedar memiliki pengetahuan, otak kiri, atau logis.

Berbagai kisah kearifan manusia sering kita temukan dalam buku-buku sejarah. Saya yakin kita semua pasti sering membaca kisah Khaidir dan Musa. Khaidir adalah representasi manusia arif yang berpikiran lateral dan spiritual sedangkan Musa adalah representasi manusia logis, dan emosional.  

Alquran mempertemukan Musa dengan Khaidir untuk menunjukkan kepada Musa bahwa masih ada langit di atas langit. Konon, Musa juga pernah ditantang Allah untuk mencari orang yang lebih dari dirinya. “Wahai Musa, bawalah satu mahkluk yang lebih rendah derajatnya dari dirimu”, demikian perintah Allah kepadanya. Syukurnya, setelah berupaya keras menemukannya, Musa akhirnya mengakui bahwa tidak ada satupun makluk ciptaan Allah yang hina. Semuanya memiliki keistimewaan masing-masing.  Ia memohon ampun karena selama ini merasa dialah memiliki segala keistimewaan dari Tuhan.

Tindakan Musa tepat karena seandainya Musa berhasil membawa satu mahkluk yang menurutnya lebih rendah derajatnya dari dirinya, maka Allah pasti akan mencabut kerasulannya. Screening kesombongan berhasil dilewati Musa dengan baik.

Saya kadang penasaran saja. Kenapa sih, kisah-kisah manusia arif nan bijaksana itu selalu saja diketahui ketika manusia bersangkutan telah wafat atau meninggalkan jaman kita?. Kita membaca kisah Ibrahim bin Adham, Harun al-Rasyid, para imam Mazhab termasuk tokoh-tokoh Indonesia yang telah meninggal dunia.

Saya berandai-andai saja jika manusia-manusia arif itu kita ketahui secara kasat mata saat ini. Bukankah akan sangat “enak”? . Kita akan mudah mengakses dan mengunjungi mereka untuk memecahkan berbagai masalah negeri ini dari perspektif mereka yang tentu mungkin berbeda dari pikiran awam kita. Kita yakin mereka diberi petunjuk oleh Allah.

Tapi, saya berandai-andai juga. Jika orang arif itu kita ketahui mungkin saja dirinya tidak begitu “laku” lagi alias berharga murah. Bukankah, yang dibutuhkan saat ini adalah orang-orang cerdas, cepat dan realistis? sama seperti kebutuhan Bani Israil akan sosok Musa?

Dalam kajian sufistik, orang arif ini mungkin saja para mursyid atau wali yang telah memiliki kemampuan mengakses alam malakut. Kendati, mendapat sikap pro dan kontra dari pihak-pihak yang mendeklarasikan anti kejumudan –dan sufistik dianggap sebagai salah satu penyebabnya- namun komunitas pro sufistik juga menjamur di dunia ini tak terkecuali Indonesia.

Banyak rekan saya yang terlihat begitu antusias mencari orang arif ini. Mereka mengidentikkan orang arif sebagai mursyid, guru atau wali kutub. “Hunting of Arif Man” ini menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk diteliti.

Kenapa orang Arif semakin sulit ditemukan?
Tesis saya di atas mungkin terlalu lebay.

Wong, mendefinisikan orang arif saja kita belum sepakat, tapi saya berani sudah menyimpulkan bahwa orang arif itu sulit ditemukan.

Begini saja. Rasanya dulu, kita sering sekali bertemu dengan orang-orang tua yang suka memberikan tausiyah kepada kita. Entah itu, orang tua, kyai, ulama atau orang-orang “biasa” lainnya. Tutur kata mereka santun. Sedikit yang mereka sampaikan, tapi rasanya tuh sampai ke dada. Mantap dan bernas, kendati yang disampaikan itu adalah sesuatu yang kita juga sudah tahu. Kita bersemangat untuk mempraktikkan apa yang disampaikannya. Kita merasa dia mendukung kita.

Apakah efek yang kita rasakan itu karena kita telah bertemu dengan  orang arif?

Entah juga. Bisa saja faktornya adalah tingkat kepercayaan kita kepadanya. Kita percaya kepada mereka karena mungkin dalam pandangan kita mereka adalah sosok-sosok suci yang amanah yang tidak bisa diperdaya oleh dunia. Mereka mengenggam dunia kendati hidup mereka biasa-biasa saja. Mereka menikmati peran kehambaan mereka tanpa neko-neko. Optimis dan tentu menularkan optimis yang sama untuk sesame penghuni bumi ini.

Kita mempercayai mereka karena kita yakin mereka tidak akan mengkhianati kepercayaan itu. Kita haqqul yakin bahwa mereka itu bersih dari intrik dan interest “murahan” ala sebagian warga negeri ini. Dan tentu saja, mereka tulus mendoakan kebaikan buat kita.

Kalau begitu, bisakah orang arif itu diidentikkan dengan orang tulus, hatinya bersih dan tenang, tidak tergoda intrik dunia, dan tentu saja selalu memberikan doa tulusnya untuk kita?. Tanpa pamrih, tanpa butuh sanjungan dan cium tangan kita juga. Dia selalu tersenyum melihat kita dalam tatapan sayang. Sesekali dia tersenyum dengan “kebodohan” dan “kepanikan” kita mengejar dunia, lalu membetulkan cara-cara kita dan mengatakan kepada kita. “Yes, kamu bisa.”

Saya kira, semakin banyak orang arif akan semakin cepat bangsa ini menjadi bangsa yang besar yang diridhai Tuhan. Mereka menjadi inspirator, integrator, motivator, penghibur nestapa bangsa.
Saya bersedia membayar untuk menemukan orang seperti itu, bagaimana dengan Anda?           

Masih sibuk dengan lamunan, saya teringat database orang-orang yang saya kenal. Saya teringat kepada Kakek Min. Usianya telah mencapai 86 tahun. Dia sering mendatangi saya ketika tahu bahwa saya pulang kampung. Dia rajin ke mesjid dan selalu rajin menghibur orang lain. Sifat iri dan dengki, sepertinya tak sudi berteman dengan dirinya.

Dia pernah berkata, “Nak, betapa enaknya kalian bekerja di dunia pendidikan, ya. Kalian mengurus orang yang menuntut ilmu. Amal jariyah kalian banyak sekali. Alilm ulamanya banyak. Kakek senang sekali menonton ceramah mereka di TVRI. Tidak seperti kakek yang bodoh ini. Bersyukurlah kalian”. Saya tercenung dengan kata-katanya.

Saya tersenyum, jangan-jangan orang-orang arif masih banyak di negeri ini?. Di kampus, di kantor, atau di rumah kita sendiri. Jangan-jangan, orang arif itu adalah rekan kerja kita, pimpinan, suami isteri kita, atau mungkin justru kita sendiri. So, Kenapa pula harus mencarinya mereka jauh-jauh?.. J

Akhirnya, saya hanya mencoba kembali mengingat ayat yang sering disampaikan oleh Buya Amiur Nuruddin setiap kali memberi tausiyah kepada kami para mahasiswanya. Ayat ini adalah doa Ibrahim kepada Allah: “(Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah Aku ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.  Dan jadikanlah Aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) Kemudian.  Dan jadikanlah Aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan”, (Asy-Su’ara, 83-85). Thanks Prof...
Semoga Allah menjadikan kita pemilik hikmah seperti Ibrahim. Amin.





Post a Comment

0 Comments