Ticker

6/recent/ticker-posts

Trouble Maker Country: Negeri Pembuat Onar?



Oleh: M. Ridwan


Kasus asap yang menimpa Indonesia ternyata juga “menyiksa” korban warga negeri jiran tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Bencana tahunan ini bahkan ditengarai telah terjadi selama 30 tahun terakhit ini. Saya tak habis pikir, betapa sabarnya kita dan negeri jiran menyikapinya.

Kita mungkin bisa berkelit dengan mengatakan bahwa sebagian pelaku adalah justru warga jiran sendiri. Mereka-lah yang memiliki lahan sawit dan perkebunan di Riau, Palembang, Jambi atau Kalimantan sehingga bencana ini merupakan sebuah pelajaran berharga bagi warga negeri jiran tetangga. Apakah ada yang berpikiran “kotor” seperti itu?

Dari perspektif ketuhanan (dari kitab suci Alquran, maksudnya), bencana ini pastilah karena ulah tangan manusia. Tidak peduli, manusianya berada di Indonesia, negeri jiran atau negeri di ujung dunia. Alam memiliki sunnatullah tersendiri yang jika dilanggar atau dirusak akan melakukan “perlawanan” balik kepada manusia. Sayangnya, alam tidak melihat apakah yang menjadi korban adalah manusia yang baik, setengah baik, atau setengah “kotor”. Allah sebagai Tuhan sangat konsisten dengan janjinya, bahwa kerusakan yang dibuat bahkan oleh sebagian manusia pasti akan berdampak pada seluruh manusia, tidak peduli apakah dia pelaku utama, penggembira atau penonton saja. Saya kira, Tuhan bermaksud baik supaya kita memiliki budaya kontrol terhadap sesama sehingga tidak individualis dan “masa bodoh” dengan lingkungan.

Saya berandai saja menjadi warga negara Malaysia dan Singapura. Makian atau cemoohan apa kira-kira yang kita sampaikan kepada Indonesia selaku negeri jiran?. Entahlah, saya tidak berani menduga-duga. Komentar seorang warga Malaysia ketika diwawancaia TVONE malam tadi terlihat mencoba memaklumi dan bersabar bahwa pemerintah Indonesia bisa segera mengatasi masalah ini.

Saya hanya khawatir, bahwa negeri ini sudah terlanjur dicap sebagai negeri yang rendah ke-adab-annya atau bahkan disebut sebagai negeri pembuat masalah (trouble maker country). Dalam bahasa Arabnya disebut negeri mufsid, karena banyak pelaku fasadnya. Wah, wah, bahaya. Lho, kok pesimis sekali melihat negeri sendiri?.

Kemarin, seorang ustaz bercerita banyak tentang prilaku sebagian jamaah haji Indonesia yang cukup berbeda dari jamaah haji asal negeri lain seperti Turki, Eropa bahkan Malaysia sendiri. Katanya, jamaah asal Indonesia mudah dikenali. Tidak hanya dari pakaiannya yang khusus, tapi juga dari prilaku mereka yang suka melanggar peraturan. Tidak suka antri, berebutan naik bus, dsb.

Para pakar mungkin bisa berdebat mengenai penyebab prilaku itu. Pakar hukum mungkin mengatakan bahwa itu adalah fenomena ketidakpastian hukum. Karena perasaan itu ada, semua warga negeri Indonesia selalu merasa khawatir bahwa hak-hak mereka tidak terlindungi, makanya selalu berebutan, karena mereka tidak yakin ada yang akan memperjuangkannya.

Pakar ekonomi mungkin mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan kita masih rendah sehingga ketika fokus kita hanya terkait dengan kesejahteraan saja. Kesenjangan ekonomi begitu lebar. Bisa saja dalam pikiran warga negeri ini bahwa tertib dan teratur itu belum begitu penting. Itu hanya akan dilakukan jika nanti sudah kaya dan sejahtera. Boro-boro mau disiplin, teratur dalam antrian, wong, makan saja susah, begitukah?

Pakar agama, mungkin mengatakan bahwa mungkin warga negeri ini tidak kuat lagi keyakinannya dengan Tuhan. Mereka ragu Tuhan akan menyelamatkan hidupnya dan memastikan rejeki dan kehidupannya. Karena keraguan itu, mereka berupaya mengikuti syahwat dan pikiran semata.

Saya teringat dengan dialog dengan Paul Martin dalam perjalanan pulang dari Manado ke Jakarta beberapa waktu lalu. Kebetulan beliau duduk satu deretan kursi di pesawat. Professor bidang hukum peminat Scuba Diving dari New England Australia ini baru saja menghadiri International Conference di Manado. Konferensinya berbeda dengan yang saya ikuti. Dialog kami cukup hangat karena dia juga ingin tahu apa hasil dari International Conference yang saya ikuti. Dia ingin tahu bagaimana kondisi harmonisasi kerukunan agama di Indonesia sedangkan saya juga ingin tahu bagaimana perspektif seorang Australian melihat Indonesia. diskusinya panjang lebar. Intinya, ia mengatakan bahwa yang “sangat harus” diperhatikan warga negeri ini adalah penanganan dan pencegahan korupsi. Menurutnya, inilah awal kerusakan sebuah negara. Corruption? Again..and again.  

Sudahlah,,,saya yakin negeri ini sedang berproses menuju kebaikan.

Syukurlah, kita ada di dalamnya. Namun, tidak salah kiranya kembali lagi membaca buku-buku pelajaran pendidikan moral Pancasila atau akidah akhlak yang dimiliki anak-anak kita, para pelajar SD. Sama yang sedang saya lakukan di pagi ini ketika membongkar buku di atas anak saya, menunggunya  bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Toh, apa gunanya membaca buku-buku tebal dan membuat dahi berkerut, jika kita sulit sekali mengamalkan yang mudah-mudah ini?. Hehehe, jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati ya..





Post a Comment

0 Comments