Oleh: M. Ridwan
Pagi ini saya tertegun membaca
tulisan Ikhwanul Kirim Mashuri di kolom Republika yang mengetengahkan judul
yang membuat kita tertegun “Bahaya Besar Mengancam Dunia Arab”. Tulisannya
menyoroti masa depan 13 juta anak-anak Arab yang dipastikan terancam pendidikan
mereka dikarenakan konflik yang berkepanjangan. Sebut saja negara-negara
pengekpor pengungsi seperti Suriah, Irak, Afghanistan, Yaman, Sudan atau Libya.-an
Sejujurnya, saya memang berencana
menulis tema yang sama terkait dengan kondisi dunia Arab saat ini. Untuk
menyampaikan unek-unek tentunya. Apa yang terjadi di dirimu wahai negeri Arab?.
Syukurlah, dengan adanya tulisan dari kolumnis
terkemuka Republika ini, maka unek-unek saya menjadi terwakili, dan tentu saja tulisan
beliau lebih dalam dari yang saya inginkan. Lebih luas dan menggigit. :)
Saya teringat dengan sebuah Round Table
pada tahun 2004 lalu. Saat itu, para “dedengkot” ekonomi Islam bertemu
di Jeddah untuk membincangkan –atau lebih tepatnya mengevaluasi- perjalanan
ekonomi Islam di dunia. Hasilnya mengejutan. Ternyata dalam pengamatan mereka, tujuan
awal dari ekonomi Islam yaitu menciptakan tatanan ekonomi dunia yang lebih baik
dan bermartabat belum berhasil dicapai. Tidak usah jauh-jauh melihat Eropa dan
Amerika. Sebagian besar negara Arab yang –notabene- negara muslim atau Islam
terlihat belum berhasil mewujudkan kesejahteraan yang dimaksudkan dalam tujuan ekonomi Islam (Falah).
Salah satu penyebabnya adalah
konflik-konflik dan perebuatan kekuasaan para pemimpin Arab yang sampai
sekarang belum berhenti.
Selain itu, para “sepuh” ekonomi
Islam yang menghadiri pertemuan itu melihat bahwa ekonomi Islam yang mereka
rintis di awal tahun 60 baru sebatas mampu diterjemahkan dalam bentuk lembaga
keuangan dan perbankan saja. Itupun dengan banyak sekali catatan. Misalnya, lembaga
keuangan dan perbankan Islam yang beroperasi saat ini, masih banyak memilih produk-produk
berbasis hutang (murabahah, BBA) mengalahkan produk berbasis equity (mudarabah,
syirkah). Harapan mereka, bahwa ruh ekonomi Islam mampu diaplikasikan dalam
sebuah tatanan ekonomi yang menyeluruh seperti dalam kebijakan negera, dan
hubungan ekonomi antar negara. Kendati
proses tercapainya lembaga keuangan Islam yang ideal semakin hari semakin membaik,
namun saya kira perlu ada sebuah perubahan paradigma mendasar di dalam memahami
ekonomi Islam itu sendiri.
Ekonomi Islam muncul setidaknya
didasarkan pada keinginan untuk mengembalikan kejayaan Islam atau peradaban
Islam yang pernah berjaya dan memberikan kesejahteraan tidak hanya bagi kaum
muslimin yang tinggal di wilayah Islam, namun juga bagi non muslim yang ada. Silahkan
baca buku-buku sejarah peradaban Islam baik yang ditulis oleh kaum muslimin
atau non muslim.
Peradaban Islam bahkan terbukti menjadi
inspirasi dan contoh bagi Eropa untuk berubah dari masyarakat barbar menuju
masyarakat beradab. Mereka harus bersyukur karena telah bersentuhan dengan dunia Islam yang
menunjukkan kepada mereka “beginilah cara hidup yang beradab, bukan seperti yang kalian lakukan
selama ini”. Eropa yang tercerahkan akhirnya berubah, maju dan memiliki
peradaban.Saat ini, kita sangat terkagum-kagum melihat pencapaian mereka kendati awal kehancuran ekonomi Eropa sepertinya mulai terjadi juga.
Namun, seperti cerita dunia
kebanyakan. Bangkit dan runtuhnya peradaban selalu menghiasi sejarah dunia.
Alquran menyebutnya dengan "Kami pergilirkan hari-hari kejayaan itu bagi manusia". Begitu juga yang terjadi di dunia Islam. Kehancuran peradaban Islam, kendati
ditengarai juga akibat peran aktif para invader asing (Jenghis Khan, Hulau Khan, Timur Leng, Perang Salib, dsb) dan kekuatan luar yang
setiap saat mencari selah kelemahan dunia Islam, namun saya kira, umat Islam
khususnya para pemimpinnya harus intropeksi untuk mempertanyakan keislaman
mereka sendiri.
Nah, ekonomi Islam pada awalnya merupakan
harapan untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, minimal untuk dunia
Islam sendiri. Harapannya, dunia Islam bisa terbantu dan bangkit dari “keterbelakangan”,
dan “kemiskinan” menjadi negara yang sejahtera dan bermartabat. Untuk
mewujudkan hal tersebut, lembaga keuangan Islam diharapkan menjadi lokomotif
yang bisa menarik gerbong atau instrument lain seperti hukum, politik atau
pendidikan.
Saya kira, lokomotif ini telah
berjalan lebih dari 30 tahun dan beginilah hasilnya. Dunia Arab tetap berjalan
dengan caranya sendiri. Ekonomi mereka sangat rentan dari dominasi kapitalis dan
hedonis. Lihat, prilaku para pengeran dan penguasa di dunia Arab. Politik dan
hukum mereka juga dikendalikan dengan cara-cara yang bahkan tidak beradab,
lihat hasilnya berupa jutaan pengungsi yang berhasil diekspor ke negeri-negeri
lain di seantaro dunia. Lihat saja.
Tanpa menafikan keberhasilan lembaga keuangan Islam yang telah memberikan setitik harapan bagi
tatanan ekonomi dunia yang lebih baik -terutama ide untuk menghapuskan penyakit dunia yang akut yaitu riba-, saya kita perhatian kepada aspek politik
dan hukum juga harus ditampilkan.
Lain Arab, lain pula Indonesia. Negeri puluhan ribu pulau ini patut berbangga dengan label sebagai negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia. Dapat dipastikan, jemaah haji kita adalah jumlah terbanyak di dunia. Tentunya, dengan berbagai ragam tingkah mereka di sana.
Soal kehebatan, Indonesia tidak kalah dengan Arab. Kita ditengarai sudah lebih maju sebelum Eropah. Kita punya Majapahit dan Sriwijaya. Ada Borubudur, dan ribuan saksi sejarah dan warisan dalam bentuk bangunan, pranata sosial, ekonomi dan politik yang lengkap. Ada buktinya.
Tinggal masalah utama harus dipecahkan. Apakah kita juga mewarisi mental negeri berperadaban dan berkejayaan tinggi seperti Arab dan Eropa?
Jika negeri-negeri muslim seperti Arab dan
termasuk Indonesia tidak segera berbenah dan merubah paradigma, misal dari paradigma kapitalis, hedonis, dan korup menuju paradigma Islam yang sejati, maka tidak berlebihan bila saya
katakan bahwa dunia Arab dan termasuk juga Indonesia, masih terseok-seok
menggapai kejayaannya dan mungkin saja tidak akan bisa mengembalikan kejayaan tersebut. Apakah Anda setuju?
0 Comments