Ticker

6/recent/ticker-posts

Terseok-Seok Mengembalikan Kejayaan?: Catatan Miris Dunia Arab dan Indonesia



Oleh: M. Ridwan

Pagi ini saya tertegun membaca tulisan Ikhwanul Kirim Mashuri di kolom Republika yang mengetengahkan judul yang membuat kita tertegun “Bahaya Besar Mengancam Dunia Arab”. Tulisannya menyoroti masa depan 13 juta anak-anak Arab yang dipastikan terancam pendidikan mereka dikarenakan konflik yang berkepanjangan. Sebut saja negara-negara pengekpor pengungsi seperti Suriah, Irak, Afghanistan, Yaman, Sudan atau Libya.-an

Sejujurnya, saya memang berencana menulis tema yang sama terkait dengan kondisi dunia Arab saat ini. Untuk menyampaikan unek-unek tentunya. Apa yang terjadi di dirimu wahai negeri Arab?.

Syukurlah, dengan adanya tulisan dari kolumnis terkemuka Republika ini, maka unek-unek saya menjadi terwakili, dan tentu saja tulisan beliau lebih dalam dari yang saya inginkan. Lebih luas dan menggigit. :)

Saya teringat dengan sebuah Round Table pada tahun 2004 lalu. Saat itu, para “dedengkot” ekonomi Islam bertemu di Jeddah untuk membincangkan –atau lebih tepatnya mengevaluasi- perjalanan ekonomi Islam di dunia. Hasilnya mengejutan. Ternyata dalam pengamatan mereka, tujuan awal dari ekonomi Islam yaitu menciptakan tatanan ekonomi dunia yang lebih baik dan bermartabat belum berhasil dicapai. Tidak usah jauh-jauh melihat Eropa dan Amerika. Sebagian besar negara Arab yang –notabene- negara muslim atau Islam terlihat belum berhasil mewujudkan kesejahteraan yang  dimaksudkan dalam tujuan ekonomi Islam (Falah).  Salah satu penyebabnya adalah konflik-konflik dan perebuatan kekuasaan para pemimpin Arab yang sampai sekarang belum berhenti.  

Selain itu, para “sepuh” ekonomi Islam yang menghadiri pertemuan itu melihat bahwa ekonomi Islam yang mereka rintis di awal tahun 60 baru sebatas mampu diterjemahkan dalam bentuk lembaga keuangan dan perbankan saja. Itupun dengan banyak sekali catatan. Misalnya, lembaga keuangan dan perbankan Islam yang beroperasi saat ini, masih banyak memilih produk-produk berbasis hutang (murabahah, BBA) mengalahkan produk berbasis equity (mudarabah, syirkah). Harapan mereka, bahwa ruh ekonomi Islam mampu diaplikasikan dalam sebuah tatanan ekonomi yang menyeluruh seperti dalam kebijakan negera, dan hubungan ekonomi antar negara.  Kendati proses tercapainya lembaga keuangan Islam yang ideal semakin hari semakin membaik, namun saya kira perlu ada sebuah perubahan paradigma mendasar di dalam memahami ekonomi Islam itu sendiri.

Ekonomi Islam muncul setidaknya didasarkan pada keinginan untuk mengembalikan kejayaan Islam atau peradaban Islam yang pernah berjaya dan memberikan kesejahteraan tidak hanya bagi kaum muslimin yang tinggal di wilayah Islam, namun juga bagi non muslim yang ada. Silahkan baca buku-buku sejarah peradaban Islam baik yang ditulis oleh kaum muslimin atau non muslim.

Peradaban Islam bahkan terbukti menjadi inspirasi dan contoh bagi Eropa untuk berubah dari masyarakat barbar menuju masyarakat beradab. Mereka harus bersyukur karena telah bersentuhan dengan dunia Islam yang menunjukkan kepada mereka “beginilah cara hidup yang  beradab, bukan seperti yang kalian lakukan selama ini”. Eropa yang tercerahkan akhirnya berubah, maju dan memiliki peradaban.Saat ini, kita sangat terkagum-kagum melihat pencapaian mereka kendati awal kehancuran ekonomi Eropa sepertinya mulai terjadi juga. 

Namun, seperti cerita dunia kebanyakan. Bangkit dan runtuhnya peradaban selalu menghiasi sejarah dunia. Alquran menyebutnya dengan "Kami pergilirkan hari-hari kejayaan itu bagi manusia". Begitu juga yang terjadi di dunia Islam. Kehancuran peradaban Islam, kendati ditengarai juga akibat peran aktif para invader asing (Jenghis Khan, Hulau Khan, Timur Leng, Perang Salib, dsb) dan kekuatan luar yang setiap saat mencari selah kelemahan dunia Islam, namun saya kira, umat Islam khususnya para pemimpinnya harus intropeksi untuk mempertanyakan keislaman mereka sendiri.

Nah, ekonomi Islam pada awalnya merupakan harapan untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, minimal untuk dunia Islam sendiri. Harapannya, dunia Islam bisa terbantu dan bangkit dari “keterbelakangan”, dan “kemiskinan” menjadi negara yang sejahtera dan bermartabat. Untuk mewujudkan hal tersebut, lembaga keuangan Islam diharapkan menjadi lokomotif yang bisa menarik gerbong atau instrument lain seperti hukum, politik atau pendidikan.

Saya kira, lokomotif ini telah berjalan lebih dari 30 tahun dan beginilah hasilnya. Dunia Arab tetap berjalan dengan caranya sendiri. Ekonomi mereka sangat rentan dari dominasi kapitalis dan hedonis. Lihat, prilaku para pengeran dan penguasa di dunia Arab. Politik dan hukum mereka juga dikendalikan dengan cara-cara yang bahkan tidak beradab, lihat hasilnya berupa jutaan pengungsi yang berhasil diekspor ke negeri-negeri lain di seantaro dunia. Lihat saja.

Tanpa menafikan keberhasilan lembaga keuangan Islam yang telah memberikan setitik harapan bagi tatanan ekonomi dunia yang lebih baik -terutama ide untuk menghapuskan penyakit dunia yang akut yaitu riba-, saya kita perhatian kepada aspek politik dan hukum juga harus ditampilkan. 

Lain Arab, lain pula Indonesia. Negeri puluhan ribu pulau ini patut berbangga dengan label sebagai negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia. Dapat dipastikan, jemaah haji kita adalah jumlah terbanyak di dunia. Tentunya, dengan berbagai ragam tingkah mereka di sana.

Soal kehebatan, Indonesia tidak kalah dengan Arab. Kita ditengarai sudah lebih maju sebelum Eropah. Kita punya Majapahit dan Sriwijaya. Ada Borubudur, dan ribuan saksi sejarah dan warisan dalam bentuk bangunan, pranata sosial, ekonomi dan politik yang lengkap. Ada buktinya. 

Tinggal masalah utama harus dipecahkan. Apakah kita juga mewarisi mental negeri berperadaban dan berkejayaan tinggi seperti Arab dan Eropa?

Jika negeri-negeri muslim seperti Arab dan termasuk Indonesia tidak segera berbenah dan merubah paradigma, misal dari paradigma kapitalis, hedonis, dan korup menuju paradigma Islam yang sejati, maka tidak berlebihan bila saya katakan bahwa dunia Arab dan termasuk juga Indonesia, masih terseok-seok menggapai kejayaannya dan mungkin saja tidak akan bisa mengembalikan kejayaan tersebut. Apakah Anda setuju?


Post a Comment

0 Comments