Oleh: M. Ridwan
Momentum Idul Adha 1436 H ini merupakan
waktu yang tepat untuk mempertanyakan kembali visi ke-akhiratan kita. Yup,
tentu kita tidak hanya menyadari bahwa akhirat itu ada. Tidak cukup, karena
Iblis pun mengetahui bahwa akhirat itu ada.
Untuk konteks jaman -yang katanya
modern ini-, kita membutuhkan sebuah clearest
vision (penglihatan yang yang paling terang) akan akhirat. Melebihi terangnya
mentari si siang hari. Memangnya, kalau kita mempu melihat akhirat dengan
jelas, apa konsekuensinya bagi kehidupan?
Tentu banyak sekali.
Tingkah laku yang ditunjukkan
oleh manusia itu muncul dari sebuah visi. Visi dibentuk dari paradigma
(pola pikir). Paradigma dibentuk oleh kebiasaan. Tragisnya, kebiasaan tadi
selanjutnya ternyata mampu pula membentuk dan mengkristalisasi paradigma dan
visi tadi. Gawat sekali. Seperti multikorelasi dalam regresi linear berganda,
tidak persis sih. J
Terkait akhirat, kebiasaan
sehari-hari inilah yang kemudian menjadi barometer apakah seseorang itu
berpotensi masuk surga atau masuk neraka. Tentunya, dengan kasih sayang dan
otoritas dari Allah.
Dikarenakan “penglihatan” (vision)
akan surga tidak jelas (grey/kabur/samar-samar) bahkan mungkin tidak ada,
maka seseorang tidak takut lagi kepada neraka dan tidak terlalu mengharap
surga. Keinginan dan ketakutannya menjadi kabur. Pikirannya mungkin saja berkata“biasa
saja tuh” sehingga ia tidak geretan atau gencar mengejarnya. Dianggapnya,
kenikmatan surga biasa-biasa saja, atau kengerian neraka juga biasa-biasa. Easy
man..Cool…
Saya kadang lucu saja ketika
mendengar celetukan seorang yang mengatakan bahwa “tidak perlu beribadah semata-mata
mengharap surga”. Dan, “jangan pula alasan takut kepada neraka maka tidak
melakukan maksiat”. Kesannya, tulus dan mendalam, banget ya..:). Tapi,
bagi sebagian orang ini bisa menjadi menyesatkan. Kok bisa?
Biasanya, mereka yang mengatakan ini,
merujuk kepada perkataan sufi perempuan terkenal bernama Rabi’ah al-Adawiyah.
Rabi’ah terkenal dengan ajaran cinta (Mahabbah)-nya. Konon, suatu
ketika ia pernah berjalan membawa api di tangan kanannya dan air di tangan
kirinya. Ketika ditanya untuk apa, ia menjawab bahwa api akan digunakannya
untuk membakar surga karena banyak orang yang beribadah bukan karena Allah.
Mereka beribadah karena mengharap surga saja. Sebaliknya, air akan digunakannya
untuk memadamkan api neraka karena menurutnya, banyak manusia yang hanya takut kepada neraka lantas baru mau
menjauhi kemaksiatan. Seharusnya, manusia meninggalkan maksiat dan beribadah
karena Allah semata, karena cinta yang besar kepada-Nya.
Nah, perkataannya ini sering
disalahartikan dan digunakan. Kata-kata ini bahkan menjadi justifikasi (pembenaran) malas
beribadah dan melakukan maksiat. Wah, berabe sekali. Salah menafsirkan,
nih.
Seharusnya, tindakan Rabi’ah harus
dilihat dalam bentuk lebih komprehensif.
Dia berkata seperti itu karena telah
melewati tahapan ibadah yang maksimal. Ia pasti telah melakukan sholat lebih
banyak dan mungkin lebih khusyuk dari kita. Dia pasti telah membaca Alquran dan
memahami maknanya lebih banyak dari yang kita lakukan.
Kita ini?. Mungkin masih berada dalam kelompok manusia pemalas
dalam beribadah.
Wong, baru sholat lima
waktu dan tahajjud sekali sebulan saja, dengan kualitas pas-pas saja sudah
merasa menjadi wali dan harus mendapat karamah melebihi Rabi’ah. Jangan-jangan,
hanya dengan sedekah beberapa ratus ribu atau sekian juta, kita merasa layak
mendapat special gift dari Allah. Sim salabim, jadi konglomerat. Otak
dagang sekali ya… (hehe, sory ya..).
Atau, kita mungkin baru membaca
Alquran beberapa lembar atau beberapa baris perhari sudah geer banget. Bukan
maksud saya menyepelekan ibadah yang sedikit, ya. Ibadah yang banyak yang berkualitas
itu lebih baik, lho, kendati yang sedikit dan berkualitas juga ok. Kuncinya,
tentu pengaruh amal itu baik secara sosial, pribadi, lingkungan, dsb.
Saya punya analogi yag mungkin
nyambung dikit. Bagaimana perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta atau
kasmaran?. Mana yang lebih
dibutuhkannya, perjumpaan dengan kekasihnya, atau sekedar mendapatkan pemberian atau hadiah dari sang kekasih namun
tidak pernah berhasil ditemui?.
Saya kira, Rabi’ah berkata
demikian, karena dia telah mendapatkan kenikmatan bertemu “kekasihnya”. Kenikmatan
yang diperolehnya mungkin tidak ingin “dicederai”nya hanya karena mengharap
pahala semata. Dia merasa bahwa sekedar pahala itu not worth full bagi
dirinya.
Back to judul.
Invisble akhirat artinya akhirat
yang tidak terlihat, tidak jelas. “Rasanya ingin masuk surga, tapi ibadahnya nanti saja, deh. Nanti saja.
Sepertinya, kenikmatan surga tidak terlalu asyik. Lebih asyik wisata ke
berbagai tempat di dunia ketimbang membayangkan surga” Mungkin seperti itu yang
ada di alam bawah sadar kita. Tidak disadari, tentunya.
Buktinya, kalau visi tentang surga
itu jelas sekali, maka dipastikan banyak manusia yang rela merangkak mendatangi
sholat subuh di mesjid. Rela bersedekah dengan massif. Rela bersabar dan ikhlas.
Siap sedia menjadi rendah hati, kendatit tidak dipuji. Dikarenakan akhiratnya
tidak jelas, maka prilaku ibadahnya menjadi ogah-ogahan dan pamer sekali.
Demikian juga ketika seseorang
tidak jelas melihat neraka akibatnya seperti saat ini. “Rasanya neraka itu
panas dan mengerikan sih. Tapi tidak perlu terlalu mengkhawatirkan untuk
dipikirkan saat ini. Toh nanti bisa tobat,” Mungkin seperti itu pikiran
sebagian kita. Akibatnya, semua kejahatan mendapat pembenaran. Dimulai dari dosa-dosa
yang dianggap sepele.
Padahal, kalau manusia bisa
melakukan touring, wisata ke neraka, setengah jam saja, dipastikan ia
akan berteriak, tobat dan kapok selamanya. Ia pasti tidak akan berani mencicipi
harta haram, jangankan yang banyak, yang sedikit saja tidak. Ia akan berkorban
untuk menahan selera haramnya. Apakah saya tidak terlalu berlebihan mengatakan
hal ini?
So, marilah kita perjelas visi akhirat
kita menjadi visible akhirat. Caranya, lakukan saja amalan para penghuni surga dan
pengkhawatir neraka. Untuk momen kali ini, tentu sosok Ibrahim dan keluarganya menjadi
ikon utama. Ibrahim digelari Khalilullah, kekasih Allah.
Ibrahim dan keluarganya adalah sosok
pribadi dan keluarga yang memiliki visi akhirat sangat jelas. Sanking,
terangnya, keluarga Ibrahim siap sedia memenuhi apapun perintah Allah. Tinggal
di padang tandus dan kering, berkorban seluruh harta, berkorban perasaan bahkan
rela mengorbankan anak semata wayangnya.
Bagi keluarga Ibrahim, akhirat
itu visible. Tidak kabur atau hilang dalam pandangan mereka. Padahal,
kalau mau jujur, Ibrahim tidak hidup di jaman yang “serba banyak tahu” seperti
sekarang ini. Dia tidak memiliki gadget yang dengan mudah mengakses cerita
orang gagal dalam sejarah. Seharusnya, kitalah yang lebih sholeh dari keluarganya
karena semua informasi tentang kehidupan telah kita miliki. Kita hidup di
tengah jaman dimana perkembangan pemikiran telah berada pada puncaknya. Lho,
kok larinya ke gadget, sih…J
Saya kira, untuk momen Idul Adha
1436 H ini, maka seyogyanya tugas utama kita saat ini adalah mengembalikan
kembali visi akhirat yang mungkin sudah kabur atau buram seperti cermin usang
berusia puluhan tahun. Saya kira, hal itu saja sudah lebih dari cukup untuk mengisi
momen Idul Adha kali ini. Semoga..
0 Comments