Ticker

6/recent/ticker-posts

Ketulusan yang (Mungkin) Tergerus: Kado Pahit Buat Pahlawan Negeriku

Oleh: M. Ridwan

“Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati. Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Alllahu Akbar ! Allahu Akbar (Pidato Bung Tomo, 10 November 1945)

Tanggal 17 Agustus 2015 merupakan ultah Indonesia yang ke-70.  Esok, upacara peringatan kemerdekaan dan aneka kegiatan pasti menghiasi bumi pertiwi ini. Seperti biasa, ungkapan bernada patriotisme dan nasionalisme pasti akan banyak kita banyak kita dengar esok pagi.  Saatnya pula, bendera merah putih akan dikibarkan dan menghiasi semua rumah penduduk negeri ini. Mudah-mudahan, kita masih ingat dimana terakhir kali menyimpan bendera itu. Atau, jangan-jangan, ada yang sudah tidak memiliki bendera itu. Masih ada waktu untuk membelinya. J

Kendati, kita sangat paham bahwa kemerdekaan bukanlah sekedar hanya diperingati  dengan seremonial upacara apalagi dengan hingar-bingar pertandingan panjat pinang, lompat karung atau “dangdutan” yang biasanya dilakukan sampai tengah malam. Ada “pengungkapan” yang harus lebih dari itu. Begitupun, that’s okey lah. Masak sih, peringatan 17-an tidak ada acara seru-seruan dan nyanyian ya?:)

Saya hanya berandai-andai, jika sekiranya para pahlawan yang dulu memperjuangkan negeri ini masih hidup. Apa yang kira-kira mereka akan katakan kepada kita hari ini. Andai bung Tomo, masih diperkenankan untuk melihat bangsa besar ini, kira-kira apa yang akan dia sampaikan?. Banggakah ia dengan pencapaian negeri ini. Apakah decak kagumnya akan bergemuruh menyaksikan hasil pembangunan yang telah kita capai?. Apakah ia tetap akan meneriakkan Allahu Akbar seperrti gegap gempitanya ia ketika membakar semangat arek-arek Suroboyo?. Jangan-jangan, ia malah dikira teroris pula :)

Atau, jika bung Hatta masih hidup, apakah dia akan tersenyum bangga dengan “kesederhanaan” ala pejabat negeri saat ini?. Dari cerita yang saya baca, beliau adalah sosok pahlawan kemerdekaan yang sangat sederhana. Bahkan, sampai akhir hayatnya, dia tidak bisa membeli sebuah sepatu Bally. Guntingan gambar sepatu Bally itu ditemukan di kamarnya setelah ia meninggal. Lho, kok seorang wapres tidak mampu membeli sepatu?, Bukankah dengan posisinya sebagai wapres dia seharusnya bisa  memiliki perusahaan sepatu itu?. Apakah Bung Hatta sedemikian “bodohnya” sehingga tidak memiliki feeling bisnis seperti itu?

Ada pula sosok Muhammad Nasir yang pernah menjabat sebagai perdana menteri RI. Dia juga pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan. Kala itu, seorang guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan bertemu dengan sang menteri. Apa kesan pertamanya?. “Sang Menteri mengenakan jas bertambal. Aneh, pakaiannya tidak menunjukkan bahwa ia seorang menteri dalam pemerintahan”, ujarnya.  Memang, ketika Nasir akhirnya menjadi Perdana Menteri berbagai fasilitas rumah dan pengawalan akhirnya beliau dapatkan, namun seluruh keluarganya tak satupun yang diperkenankan untuk semena-mena menggunakan fasilitas negara. Mereka tidak boleh manja..!!

Kadang saya berpikir. Mungkinkah, kisah kepahlawanan yang tertulis di buku-buku sejarah bangsa ini hanya menarik untuk diceritakan di pelajaran sekolah saja. Dibuat dalam pertunjukkan drama atau film semata, namun tak seorangpun lagi sudi untuk mempraktikkannya?. Lucu sekali bukan?

Saya mau bertanya, jika kita berada dalam posisi Bung Hatta, apakah kita akan melakukan hal yang sama?. Oh, ya, ada juga sebuah peristiwa ketika keputusan mengenai kebijakan sanering (pemotongan uang) disepakati dengan presiden. Keputusan pada Oktober 1946 dilakukan mengingat inflasi yang dialaminya Indonesia begitu tinggi setelah kemerdekaan. Maklum, baru merdeka.

Bung Hatta kemudian pulang ke rumah dan sama sekali tidak tidak memberitahukan informasi penting ini kepada sang isteri. Padahal, kebijakan itu besoknya secara langsung akan menjadikan kekayaan seluruh rakyat Indonesia, berkurang menjadi setengah kali lipat termasuk keluarga Hatta. Nah, Hatta tidak membocorkan informasi itu di sorenya, meski ia bisa melakukannya. Makanya, sang isteri agak protes ketika esok harinya kebijakan uang itu dilakukan. Sang isteri protes mengapa sang suami tidak membocorkan rahasia tersebut sehingga ia bisa mengantisipasinya terlebih dahulu. 

Ternyata, sang isteri telah mengumpulkan uang untuk membeli mesin jahit keluarga. Akibatnya, tentu saja sang isteri yaitu Rachmi Rahim tidak mampu membeli mesin jahit itu. Lalu apa kaya Hatta? , “Sungguhpun saya bisa mempercayaimu, tapi rahasia ini tidak boleh dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan negara. Kita coba menabung lagi ya?”. Hatta lebih memilih mengorbankan kepentingan keluarganya demi kepentingan negara. Ia tidak mau mencari selamat sendiri.

Membandingkan kisah Bung Hatta dengan konteks kekinian, mungkin sejuta argumen akan kita sampaikan. Tentu saja untuk mengatakan bahwa kita tidak mesti meniru Hatta. Misalnya, kita akan beralasan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi Hatta saat itu. Kita mungkin akan mengatakan, bahwa sekarang, para pejabat apalagi presiden atau wapres sudah mendapatkan tunjangan yang sangat layak. Toh, fasilitas itu halal dan sudah semestinya. Seorang pejabat jangan sampai disibukkan oleh masalah seperti itu lagi. Biar ia fokus mengurus negara, bukankah demikian?.

Jadi, jika ada yang coba-coba berbuat seperti Bung Hatta atau Nasir, maka pastilah dianggap tidak etis, lebay, narsis dan tentu saja pencitraan. Apa kata dunia, kalau Presiden dan Wapresnya tampil “memalukan” di mata dunia?.  Begitukah? :)

Saya tidak mengkaji tentang kesederhanaan seorang Bung Hatta, Nasir atau Bung Tomo. Standar sederhana bisa saja berubah dari jaman ke jaman. Untuk konteks kekinian, tentu tidak ada salahnya jika seorang pejabat memiliki sepasang sepatu impiannya atau jas yang layak, bukan?. Apalagi jika semua itu akan memberikan kemudahan dirinya untuk mengemban amanah negara.

Tentu tidak mungkin, seorang presiden, wapres atau menteri masih disibukkan oleh masalah domestik rumah tangganya, seperti pakaian, kendaraan atau fasilitas primer lainnya, dimana semua itu bisa di-handle oleh pembantunya. Bukan itu maksud saya.

Saya hanya menggaris bawahi satu hal saja. Ternyata, satu hal inilah yang mempertemukan antara semangat Bung Tomo, kesederhanaan Bung Hatta, kejujuran seorang Nasir dan keikhlasan jutaan pahlawan negeri ini.

Apa itu? tidak lain bahwa mereka memiliki ketulusan hati. Seluas samudera. Ketulusan itu pasti lahir dari kebersihan hati. Kebersihan hati itu juga pasti muncul dari kedekatan diri mereka  kepada Tuhan. Tanpa hati yang bersih, maka mustahil ketulusan itu akan muncul. Hati yang kotor tidak akan bisa menahan diri dari godaan kekuasaan yang bisa menawarkan sejuta pesona. Masuk akal bukan?

Bukankah, saat itu Bung Tomo bisa duduk manis di belakang radio untuk menyemangati para pejuang tanpa perlu terjun ke medan peperangan?. Mengapa ia masih memegang senjata?

Bukankah saat itu, Bung Hatta seharusnya sudah bisa memikirkan bagaimana ia bisa memiliki jutaan hektar tanah di Kalimantan dan Sumatera?. Mengapa tidak dilakukannya? Tidakkah terpikir olehnya ketika pensiun untuk menjadi komisaris di BMUN atau perusahaan asing?. Kenapa ia menolak jabatan di bank dunia?

Bukankah M. Nasir ketika menjadi Perdana Menteri sudah bisa mulai memikirkan, berapa fee yang bisa dia dapatkan dari berbagai kontrak pembangunan dengan para kontraktor dan bank asing yang “katanya” bersedia membantu Indonesia?

Makanya, saya agak kaget melihat video ketika pembacaan doa dibacakan saat sidang paripurna DPR beberapa waktu lalu. Saya bukan kaget dengan konten doa yang sepertinya “terlalu” jujur menggunakan kata. Tidak ada yang ditutupi. It’s already naked. Blak-blakan.

Saya  kaget, melihat bahwa sebagian peserta sidang terlihat menahan tawa geli. Apakah mereka tidak biasa mendengarkan doa seperti itu dibacakan di forum kenegaraan resmi?. Apakah mereka tertawa geli karena merasa senang bahwa doa itu mewakili aspirasi mereka untuk mengkritik pihak lain?. Sudah begitu lamakah pemimpin kita jauh dari doa jujur seperti itu?

Saya kira, seharusnya kita semua harus merasa bersalah. Sindiran doa itu pasti untuk kita semua. Bagi rakyat atau pemimpin negeri ini. Kita semua harus bersalah. Kepada siapa kita bersalah?. Tidak lain kepada para pahlawan bangsa ini yang telah mempejuangkan negeri ini dengan darah dan airmata. Kita semua bersalah menyebabkan ibu pertiwi menangis seperti ini. Kita telah mencabut ketulusan dari diri kita untuk bersama membangun negeri. Kita terlalu mementingkan kepentingan pribadi. Dan, kita telah menjadikan itu sebagai kado pahit bagi pahlawan-pahlawan bangsa ini di kemerdekaan yang ke-70 ini. Terlalu…

Merdeka, May God Bless U, Indonesia….Amin..

Post a Comment

0 Comments