Oleh: M. Ridwan
Tulisan ini sekedar unek-unek
saja. Melihat kondisi rupiah yang KO di hadapan Dollar tentu membuat hati
menjadi miris. Memang sih, ada kiat tersendiri ketika membaca sebuah berita
ekonomi apalagi menyikapi sebuah analisis ekonomi dari pengamat atau pakar
ekonomi. Misal, Anda jangan terlalu panik stress menyikapi sesuatu yang baru
merupakan prediksi. Entah itu prediksi buruk atau baik. Kehidupan ekonomi
selalu menemukan caranya sendiri untuk kembali kepada keadaan normal.
Makanya,
ketika krisis ekonomi tahun 1997 lalu terjadi dan –tentu memakan korban-, namun
badai itu juga akhirnya berlalu. Atau, kita masih ingat ketika Yunani
megap-megap dan hampir koma menghadapi hutang negara yang menggunung.
Toh, akhirnya mereka kini tetap masih bisa bernafas lega dan tersenyum
bukan?
Tulisan saya tentu bukan
mengenyampingkan prediksi buruk itu. Saya tidak menafikan bahwa Indonesia bisa
saja jatuh ke dalam krisis ala Yunani atau tahun 1997 lalu. Kendati puluhan
pakar ekonomi mengatakan bahwa fundamental ekonomi kita masih kuat dan berbeda
dengan tahun 1997 lalu, tapi masyarakat hanya melihat fakta yang jelas. Rupiah
terpuruk habis. Titik.
Sehingga, saya tidak punya kata-kata
untuk menenangkan siapapun yang mengatakan bahwa Indonesia sudah gawat. Kendati
kita mengatakan kepadanya bahwa justru pikiran buruk akan menyebabkan kejadian buruk
itu akan terjadi, dia pasti akan tertawa dan berkata, “Buktinya apa?, Itu
Dollar terus perkasa. Pemerintah gagal, bla bla,” dan seabrek kekecewaan
lainnya yang pasti ditunjukkannya.
Memang, tidak enak menjadi pecundang.
Tidak enak memiliki rupiah ketika harus berbelanja di jalanan Amerika atau
London. Sangat tidak nyaman setiap saat orang selalu membandingkan keadaan
negeri tercinta ini dengan negara-negara lain. Saya pernah bertemu dengan
seorang TKW dari Malaysia dan Hongkong yang dengan bangga menceritakan kehebatan
negeri-negeri itu. Dia membandingkan dan berandai-andai bahwa keadaan yang sama
juga terjadi di negeri ini. Seolah-olah semua yang mereka lihat di luar negeri
pasti lebih baik dari Indonesia. Tapi, kita mau membantah?, rasanya sangat berat. Wong,
memang begitu kenyataannya kok.
Tradisi “banding-membandingkan” merupakan
naluri manusia. Apalagi jika yang dilihat itu lebih baik dari tempat asalnya.
Selalu saja rasa bangga itu lenyap. Selalu saja nasionalisme bahkan akan tergerus
perlahan-lahan ketika kita dihadapkan kepada kenyataan bahwa “taji” negeri kita
selalu lebih tumpul dari negera lain.
Kemarin, saya bertemu dengan
seorang rekan yang punya pengalaman lucu nan miris di negeri Belanda. Dia
menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi sebuah museum terkenal di negeri
itu.
Alkisah, rombongan dari Indonesia
dipersilahkan masuk ke sebuah museum untuk melihat-lihat beragam peninggalan
sejarah Belanda termasuk beragam pakaian perang tempo dulu. Betapa kagetnya dia
ketika tiba-tiba petugas keamanan menangkap dan mengintrogasi seorang rekannya
yang menurutnya cukup berpendidikan. Selidik punya selidik, temannya itu secara
sengaja menyentuh sebuah lukisan. Kendati hanya beberapa detik, namun
tindakannya itu terekam oleh CCTV museum. Tindakan itu ternyata sangat dilarang
keras dilakukan. Parahnya lagi, beberapa anggota rombongan lain juga ditangkap
karena ada yang menyentuh dan mengetuk-ngetuk baju-baju perang itu. Dalam
pikiran rombongan, tidak ada larangan tertulis yang melarang menyentuhnya.
Sangat logis bukan?
Ketika pihak museum di-komplain oleh
rombongan bahwa mengapa tidak ada larangan tertulis. Pihak museum membela diri dan
dengan ketus menjawab bahwa “Anak-anak di Belanda bahkan yang baru berusia 2
tahun-pun paham bahwa menyentuh barang di museum itu tidak diperbolehkan”. So,
mau melakukan pembelaan apalagi?. Akhirnya semua rombongan Indonesia
dikumpulkan di luar dan menunggu investigasi selanjutnya. Pihak museum mau
memastikan bahwa tidak ada hal-hal yang “membahayakan” terjadi dengan barang-barang
museum. Wah, wah..
Saya hanya mengatakan itulah
risikonya menjadi “pecundang”. Kendati Indonesia memang berhasil merdeka dari
Belanda, namun mungkin mental pecundangnya masih kuat merasuki pikiran dan
jiwa-jiwa penduduk negeri ini. Anda mungkin bisa menolak dan mengatakan bahwa
saya terlalu berlebihan dan underestimate melihat negeri sendiri.
Terlalu memandang sepele dan tidak percaya diri. Begitukah?
Menjadi pecundang sangat
menyedihkan. Bahkan untuk berpakaian-pun kita harus berkiblat kepada negeri
lain. Saya sering mendengar cerita menarik bahwa ketika Eropa datang ke Afrika,
mereka mentertawakan penduduk Afrika yang telanjang. Saat itu orang Eropa
datang dengan mengenakan pakaian lengkap. “Berpakaian lengkap adalah etika
orang beradab”, demikian papar orang Eropa.
Beberapa puluh tahun kemudian,
ketika orang Eropa datang ke Afrika, mereka lantas mentertawakan orang Afrika
yang berpakaian lengkap. Menurut mereka, sudah saatnya masyarakat berbikini
ketika menikmati pantai. “Etika orang beradab adalah berbikini”, demikian argument
Eropa kali ini. Saya selalu tertawa mendengar cerita ini karena teringat betapa sudah semakin "ber-etika-nya" bangsa Indonesia dalam berpakaian. :)
Kembali ke Dollar Vs Rupiah.
Saya kira, sudah saatnya kita
menunjukkan betapa hebatnya Indonesia. Prof. Sri Edi Swasono (menantu Bung Hatta) sering menceritakan kepada kami -para mahasiswanya bahwa Indonesia itu hebat. Dulu, ketika Borobudur
dibangun –kira-kira 100 tahun setelah hijrah Nabi ke Madinah-, Prabu
Samaratungga, penguasa Mataram Kuno, memerintahkan untuk mempersiapkan lahan pertanian
yang luas di sekitar Borubudur, jauh-jauh hari sebelum konstruksi dilakukan.
Artinya, sang prabu memahami bahwa akan ada ribuan pekerja konstruksi candi yang
harus dipenuhi kebutuhan makanannya. Penguasa Indonesia yang visioner, right?
Indonesia juga piawai membuat
keris. Seni ini sangat langka dan hanya sedikit negara yang mampu melakukannya.
Bahkan, kecerdasan masyarakat Indonesia sudah teruji dalam
perencanaan kelahiran anak dengan sistem kalender. Jauh-jauh hari sebelum sistem kalender kehamilan diperkenalkan oleh Wong Barat.
Menurutnya, Indonesia hebat. Mengapa kita harus merasa rendah diri?
Entahlah., saya tidak mampu
meneruskan tulisan ini. Saya hanya berharap besok, rupiah bisa turun Mbok ya bisa 10 ribu, kek. Berharap rupiah bisa menunjukkan jati
dirinya sebagai mata uang bangsa yang besar. Bangsa yang pernah berjaya dengan
Majapahit dan Sriwijaya. Semoga. Amin.
0 Comments