Ticker

6/recent/ticker-posts

Mesjid Vs Mall: Gerbang Surga Yang Tak Lagi Menarik?

Oleh: M. Ridwan
 
Membandingkan antara Mall dan Mesjid sepertinya memang kurang tepat. Bahasa kerennya, tidak “apple to apple”. Mesjid adalah tempat ibadah sedangkan mall adalah tempat berbelanja dan “cuci mata”. Bagaimana mungkin keduanya dibandingkan?. Namun, jika dilihat dari sisi jumlah pengunjung dan kekuatan daya tariknya, saya kira kita bisa melakukan perbandingan antara keduanya.

Lalu, bagaimana hasil perbandinganya?. Saya kira, anak TK di negeri ini juga akan tahu jawabannya. Silahkan, tanyakan kepada mereka, mau jalan-jalan ke mesjid atau ke mall?. Saya, yakin, mereka dengan sukacita akan memilih ke mall. Sehingga, memang tak perlu bersusah payah untuk menentukan pemenangnya. Pesona mall dan tempat perbelanjaan harus diakui melebihi mesjid. Hal ini juga diakui dan senada dengan hasil penelitian dari Prof. Abdullah bin Abd. Ghani dari UUM Malaysia dalam acara Seminar Internasional dan Workshop Pemberdayaan Ekonomi Mesjid tanggal 30-31 Mei yang digagas oleh FEBI minggu lalu. Menurutnya, banyak mesjid di Malaysia yang hanya menjadi tempat bagi para orang tua yang menanti ajal, dan bukan tempat menarik bagi anak-anak muda. Mereka lebih memilih mall sebagai tempat “mengadukan” berbagai hal kehidupannya dan bukan mesjid.

Saya kira, fenomena ini tidak hanya terjadi di Malaysia. Indonesia juga mengalami hal yang sama. Setidaknya jika dilihat secara kasat mata, mesjid memang bukan merupakan pilihan pertama sebagai destinasi kunjungan. Kalaupun ada, kunjungan terhadapnya “sekedar saja”.  Kalau dirata-ratakan, perhari tidak lebih dari 1 jam saja. Itupun bagi jamaah yang rutin melaksanakan sholat 5 waktu di mesjid.  Bagi masyarakat lain, mungkin saja hanya dikunjungi ketika sholat Jumat, Ramadhan atau sholat Idul Fitri semata. Sisanya, mungkin digunakan ketika mensholatkan kerabat yang meninggal atau menghadiri perayaan peringatan Hari Besar Islam. :(

Tragiskah kondisi di atas?

Saya kira memang cukup tragis, namun tentu tidak pada tempatnya untuk saling menyalahkan. Saya sebut tragis, karena dengan jumlah umat Islam yang hampir 200 juta, maka seharusnya kunjungan ke mesjid-mesjid di negeri ini membludak. Kenyataanya tidak begitu. Meskipun, secara fisik, rata-rata mesjid di Indonesia memiliki struktur bangunan yang mampu menampung jamaah dengan jumlah ribuan.

Lalu, jika jumlah kunjungan itu tidak sebanyak yang diharapkan, dimana duduk masalahnya?. Saya kira, dari paparan pemateri Seminar Internasional lalu, salah satu penyebabnya adalah fungsi pelayanan mesjid hanya sebatas ritual ibadah semata. Tentu tidak ada yang salah dengan pelayanan ibadah karena memang mesjid didirikan dengan tujuan utama untuk tempat ibadah seperti sholat atau I’tikaf. Namun, dengan kondisi masyarakat yang memiliki segudang permasalahan terutama terkait dengan ekonomi, politik, pendidikan dan budaya, maka peran mesjid memang seharusnya dikembangkan sehingga mampu menyentuh dan menjawab permasalahan umat dalam menyikapi masalah tersebut. Mesjid harus menjadi pusat aktifitas umat. Bagaimanapun caranya.

SDM Mesjid yang Mumpuni

Tak ayal, untuk menjadikan mesjid sebagai pusat aktifitas umat, maka harus ada terobosan baru dalam pengelolaan mesjid. Nah, terkait dengan hal ini, maka SDM yang mumpuni adalah merupakan sebuah keniscayaan. Mesjid yang mampu menjadi harapan umat harus didukung oleh SDM BKM yang mumpuni. Mereka harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang di atas rata-rata. Tanpa itu, maksimalisasi fungsi mesjid hanya akan menjadi impian semata.

Syukurlah, ada beberapa mesjid yang bisa menjadi contoh. Dalam seminar lalu, beberapa pembicara dihadirkan untuk sharing pengalaman mereka mengelola mesjid. Cukup menarik dan memberi harapan baru di tengah kehausan umat akan mesjid yang mandiri dan bertaji.

Ustaz Jazir yang merupakan pengelola Mesjid Jogokariyan Jogyakarta menuturkan berbagai terobosan yang mereka lakukan.  Gaya penyampaiannya yang mengalir dan terkesan santai namun berisi, berhasil membuat peserta terbengong. Mesjid Jogokariyan adalah tipikal mesjid percontohan yang berani keluar dari paradigma pengelolaan mesjid konvensional. Mesjid Jogokariyan berhasil merubah maindset masyarakat yang semula “ogah  ke mesjid menjadi “kecanduan” ke mesjid. 

Berbagai insenstif dan daya pikat mereka luncurkan.  Program-program pemberdayaan ekonomi juga berjalan sangat baik. Uniknya, yang mereka lakukan justru adalah hal-hal ringan dan mungkin belum terpikirkan oleh sebagian besar kita. Misalnya, bagaimana mereka memberikan hadiah bagi anak-anak atau jamaah yang rajin ke mesjid. Ketika ditanyakan apakah hal itu tidak membuat seolah-olah “memaksa” masyarakat untuk ke mesjid?. Dengan santai, sang ustaz manjawab bahwa “lebih baik terpaksa masuk ke surga, daripada ikhlas masuk neraka.” Dari sisi jumlah jamaah sholat subuh, mesjid Jogokariyan terbilang sukses. Jumlahnya hampir sama dengan jamaah sholat jumat. Cukup dahsyat.

Lalu, bagaimana dengan kemandirian mesjid dari sisi ekonomi?. Sang ustaz menjelaskan bahwa mesjid Jogokariyan memanfaatkan potensi jamaah. Infaq bulanan mereka mencapai ratusan juta rupiah. Kenapa bisa banyak? Tidak lain karena mereka telah memetakan segala kebutuhan mesjid dalam satu tahun sekaligus memetakan karakteristik jamaah. Ada jargon yang mereka gaungkan bahwa kalau seorang jamaah tidak berinfaq minimal Rp. 1500 perminggu, maka jamaah itu masih dianggap disubsidi oleh jamaah lain ketika beribadah. Agak memalukan juga sih. Makanya, infaq jamaah mesjid Jogokariyan selalu banyak. Mungkin jamaahnya merasa malu jika tidak berinfaq.

Alhasil, mesjid ini menjadi ikon baru tidak hanya di Yogya tapi juga di Indonesia. Mesjid yang memberi harapan baru bagi kehausan dahaga kita akan sebuah rubah ibadah yang multi fungsi dan memiliki service excellent. 

Seorang peserta seminar –sebut saja namanya Bang Alfiyanto, seorang pengusaha- mengatakan bahwa pola pengelolaan mesjid Jogokariyan terlihat menggunakan “otak kanan” karena terobosan yang mereka buat sangat di luar nalar kita yang selalu menggunakan otak kiri. Misalnya, ketika BKM berupaya menjadikan mesjid sebagai tempat mencarikan jodoh bagi para warga, memberi makanan dan minum susu, membantu musafir yang kehabisan bekal,termasuk juga membuat database warga yang sangat lengkap mencakup relijiusitas dan ekonomi warga. Betul-betul sangat inspiratif.

Selain mesjid Jogokariyan, BKM Mesjid Pondok Indah Jakarta juga ikut menyampaikan presentasi. Mesjid ini berada di kawasan elit Jakarta dan memiliki unit bisnis yang mandiri dan besar. Pesan dari Ustaz H. Ika, Manager BMT-nya, bahwa mesjid memang harus mandiri supaya mampu memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Jika tidak, maka peran mesjid akan tersendat dan dipastikan akan menurunkan daya tarik masyarakat untuk mengunjunginya. Unit usaha mesjid ini beromset ratusan juta bahkan milyaran rupiah dan merencanakan akan melakukan sindikasi pembiayaan properti. Gebrakan yang luar biasa dari sebuah mesjid

Pintu Gerbang Surga Yang Tak Lagi Menarik?

Di atas segalanya, sudah saatnya umat Islam negeri ini mengembalikan fungsi mesjid kepada bentuknya yang utuh. Bukan saja dalam arti sempit sebagai tempat ibadah mahdah seperti sholat, atau I’tikaf, namun juga mesjid sebagai pusat aktifitas dan keunggulan umat. Sejarah Islam menunjukkan bahwa tiga institusi yang menopang kejayaan Islam adalah mesjid, pusat bisnis (pasar), dan pendidikan. Ketiga institusi ini harus menyatu dan integratif. Inilah yang menjawab pertanyaan mengapa masyarakat saat ini lebih tertarik ke mall atau tempat lain yang dianggap bisa menjawab problematika kehidupan yang dialaminya. Fungsi mesjid menjadi terbatas dan terkesan ekslusif. Karena pergeseran ini, maka tidak heran jika masyarakat berbondong-bondong meninggalkan mesjid. Sehingga kendati mesjid adalah GERBANGNYA SURGA DI BUMI, sebagian besar umat Islam tetap tidak perduli. Gerbang surga tetap tidak menarik di hati umat karena kemampuan melihat secara substantif (haqqul yaqin) juga minim.

Ada pesan menarik dari ustaz Jazir ketika ditanya mengenai kiat mengelola mesjid dengan cara yang "tidak biasa" tersebut. Menurutnya, harus ada sebuah perubahan paradigma secara radikal di benak pengelola. Perubahan yang dimaksud adalah terkait apa visi yang sebenarnya hendak dicari dengan mengelola mesjid? Apakah sekedar sambilan saja ataukah memang benar-benar serius mewujudkan mesjid yang kaffah. Perubahan paradigma ini telah mereka praktikkan. Misalnya, ustaz Jazir lebih senang mengatakan bahwa pekerjaan utamanya adalah sebagai pengurus mesjid sedangkan profesi sampingannya justru dosen. Ada juga yang bekerja sampingan sebagai dokter, pebisnis,  atau insinyur namun mengurus mesjid justru merupakan pekerjaan utama. Wah, ini merupakan perubahan paradigma yang radikal. Pantasan mereka berhasil melakukan gebrakan dahsyat. Apakah kita mampu melakukannya?

Saya kira, jika perubahan radikal tidak kita lakukan dalam pengelolaan mesjid, maka saya khawatir –sebagaimana kekhawatiran Ustaz DR. Azhari Akmal Tarigan, Dekan FEBI yang merupakan salah seorang pemateri- bahwa nantinya bisa saja mesjid-mesjid megah yang sepi pengunjung di negeri ini,  akhirnya akan dilelang atau dijual sebagaimana yang banyak terjadi dengan rumah ibadah lainnya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, amin…



Post a Comment

1 Comments

  1. Insya Allah kekhawatiran DR. Azhari yang nampaknya juga merupakan kekhawatiran inta TIDAK akan terjadi jika para DA'I-DA'I itu masih bertebaran di bumi nusantara ini.Siapakah mereka? Mereka sangat mudah dikenali, mereka selalu ada 5 waktu di Mesjid-mesjid, di shaf-shaf pertama, mereka dalam berdakwah tidak terlibat dalam isu-isu politik, tidak membincangkan perbedaan madzhab-madzhab fikih, tidak pula menjelek-jelekkan kelompok orang yang diluar mereka. Sudah masanya NAZHIR2 mesjida memberikan ruang kepada mereka agar mesjid2 mereka imarahkan, yang walaupun hanya 3 hari mereka ada di sebuah mesjid yang untuk selanjutnya mereka pindah mengimarahkan mesjid yang lain. Sikap kita juga yang selama ini tertutup utk mereka, maka mari buka diri, merepat ke mereka, kita dengar kuliah dan bayan2 agama yang mereka sampaikan, walau kesan majlis mereka sangat sederhana, tapi nampaknya masjlis2 mereka penuh keberkatan. Siapakah mereka itu wahai sahabatku DR. Muhammad Ridwan Umar? Anda pasti tahu. Salam Damai Indonesiaku

    ReplyDelete