Ticker

6/recent/ticker-posts

Aksi 1712: Antara Arogansi Donald Trump dan Mahalnya Persatuan Muslim

By: M. Ridwan

Hari ini, ada aksi besar di Jakarta, yakni penolakan Deklarasi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel yang mengejutkan dunia.

Betapa tidak, pengakuan sepihak presiden nyentrik ini menyalahi ketentuan PBB yang menyatakan bahwa kota suci Yerusalem adalah zona status quo. Artinya, Yerusalem adalah kota suci 3 agama yaitu Kristen, Yahudi dan Islam. Jadi tidak bisa diklaim sepihak oleh Israel.

Belum lagi kalau dilihat dari sejarah, bahwa negara Israel sebenarnya tidak ada dalam peta sebelum 1948. Palestina adalah pemilik sah Yerusalem. Namun, jatuhnya Turki Usmani menyebabkan wilayah Yerusalem yang sebelumnya berada di bawah kekuasaannya direbut dan diserahkan Inggeris kepada diaspora Yahudi di Eropa dan mengusir paksa penduduk setempat, bangsa Palestina yang notabene adalah muslim.

Kisah ini teramat menyakitkan. Secara kasat mata dunia menyaksikan pencaplokan paksa sebuah negara sah yang menistakan penduduknya. Tragisnya, dunia tidak mampu berbuat banyak alias nothing and nonsense.

Israel adalah sebutan untuk komunitas Yahudi yang selama ribuan tahun bercerai berai di dunia. Memang, sekitar 3000 tahun lalu, Yahudi tinggal di Yerusalem, namun mereka tidak lagi memiliki wilayah ini karena dua kali dimusnahkan, yaitu oleh Bangsa Asyiria pada tahun 780 SM dan Romawi pada tahun 37 M. Israel berserakan di muka bumi menangisi nasib dan azab Tuhan karena kejahatan mereka sendiri. Sejarah 3000 tahun inilah yang lantas diklaim oleh si Donald sebagai fakta bahwa Israel adalah pemilik Yerusalem. Klaim yang aneh, bukan?

Kejadian ini, cocok dengan informasi Alquran di dalam surat Al-Isra' yang menyebut bahwa kaum Israel selalu melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka membunuh nabi, melakukan seks bebas,  makan riba dan arogan. Untuk kerusakan yang mereka lakukan, Alquran menyebut bahwa mereka diazab sebanyak dua kali. Penyerangan Asyiria, Babilonia Baru maupun Romawi memperkuat hal ini, bukan?

Pada masa kekuasaan Islam, Yahudi dilindungi. Mereka bebas menjalankan ibadah. Namun, karena dasarnya adalah umat yang bandel dan arogan, Yahudi selalu berkhianat. Lain di mulut, lain di hati. Termasuk ketika perang Uhud dan Ahzab dimana mereka berkomplot dengan kafir Quraisy. Parah, bukan?

Yerusalem sendiri aman damai ketika berada di bawah kekuasaan Islam. Meski dikuasai Islam, umat Yahudi dan Kristen diperbolehkan beribadah di sana dengan aman nyaman. Kurang baik apa lagi umat Islam, bukan?

Kisah duka dialami Yerusalem ketika Paus Urbanus II menggelorakan Perang Salib I. Pasukan dari Eropa meluluhkantakkan Yerusalem, membunuh lebih dari 80 ribu Muslim dan Yahudi di sana. Dalam buku
Warriors of God: Pasukan-Pasukan Tuhan Perang Salib (2007) karya James Reston disebutkan bahwa pasukan Salib membunuh penduduk muslim dan Yahudi di masjidil Aqsa dan sinagog yahudi pada tanggal. 15 Juli 1099. Inilah pembantaian berkedok agama. "Kegilaan yang berkedok agama", demikian diperkuat Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburg.

Salahuddin Al-Ayyubi berhasil merebut kembali Yerusalem pada tahun  20 September 1187. Berbeda dengan kekejaman Pasukan Salib, tentara Salib dizinkan keluar dengan aman.

“Adegan ini benar-benar kebalikan dari pembantaian berdarah pada Juli 1099. Tentara Salib diizinkan untuk pergi. Keluarga-keluarga dan rakyat jelata melakukannya dalam sebuah konvoi damai tanpa dilecehkan oleh orang-orang muslim,” kata Qassem Abdu Qassem, kepala sejarah dari Universitas Zagaziq, Mesir. "Kurang baik apa umat Islam?. Mereka sadar ngak, ya?

Yerusalem nyaman tentram di bawah kekuasaan Islam. Palestine sebagai warga yang sah. Namun, pada tahun 1948, Yahudi mengusir 700 ribu Palestina karena mendapat dukungan Inggeris. Negara Arab marah dan memicu pertempuran 6 hari dengan Israel tahun 1967. Hasilnya? Arab kalah telak dengan israel.

Apa tidak salah dengar? Kok bisa kalah?
Itulah "liciknya" Israel dengan memanfaatkan dukungan Amerika dan "lemahnya negara Arab. Komunitas kecil ini berhasil mengalahkan negeri Arab yang saat itu berkoalisi. Tragis bukan?

Faktor kekalahan Arab saat itu memang ditengarai karena campur tangan Amerika Serikat, namun publik melihatnya sebagai hasil dari tidak kuatnya persatuan Arab.

Maka, saya memberikan apresiasi atas deklarasi 57 negara OKI di Turki yang menolak deklarasi Trump atas Yerusalem. Deklarasi Istambul kemarin memberi harapan baru pada Palestina yang dijajah.

Kalau Donald Trump berani mendeklarasikan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel, maka dunia Islampun berani mendeklarasikan bahwa Yerusalem Timur adalah ibukota Palestina, fair bukan?

Meskipun, sebagaimana uraian sebelumnya bahwa Yerusalem itu adalah milik sah Palestina. Justru Israel adalah biang kerok sebenarnya. The real imperialist and terrorist.

Dengan adanya pengakuan bahwa Yerusalem Timur sebagai ibukota Israel, maka seharusnya Israel dan dunia khususnya Barat harus berani menegakkan keadilan bahwa Israel adalah penjajah yang sah dan Palestina harus diberikan haknya. Tapi, lagi-lagi siapa yang berani dengan Israel yang dibelakangnya ada Sang Paman?

Namun, kita tinggalkan kekecewaan kita terhadap dunia Barat. Kita berharap saja kepada negara muslim dunia. Kuncinya memang di tangan negeri muslim. Bernyali atau tidak. Aaakah nyali kita sama seperti Salahuddin Al-Ayyubi saat itu?

Sayang, fakta menunjukkan negeri muslim memang lemah persatuan. Lihat saja Timur Tengah. Sudah jadi rahasia umum bahwa sebagian besar pemimpin dan masyarakat di sana mudah diprovokasi dan diadu domba. Kalau tidak dalam konteks negara, maka perpecahan terjadi dalam konteks lokal dan individual. Sepertinya, selalu saja ada bahan yang bisa menjadi alasan peperangan. Entah atas dasar apa saja.

Kita tentu tidak ingin kejadian serupa ada di Indonesia. Dalam harapan saya nih, umat muslim di Indonesia memiliki persatuan kuat. Menjadi umat yang cinta damai namun tegas terhadap ketidakadilan. Pada satu sisi kita merangkul namun pada sisi lain punya kepalan tangan keras dan disegani. Menjadi umat Islam yang berkualitas gitu lho, bukan umat yang selalu sibuk dan terbuai dengan tontonan sinetron picisan Jaman Now  atau hanya suka sigap tanggap dengan isu murahan yang ngak bisa mengangkat kualitas dan kejayaan.

Caranya?
Sibukkan umat ini dengan kegiatan yang berkualitas. Tingkatkan pendidikan SDM muslim di negeri ini. Cuci bersih hati kita dari sifat permusuhan dan mudah berseteru. Lalu, kita perkaya wawasan dan etos usaha berdasarkan semangat ilahiyah.

Kalau hal di atas bisa terjadi, niscaya bangsa yang didominasi muslim ini akan disegani, bukan hanya dari jumlahnya, tapi karena jago dan "jinggo"-nya. Aksinya nyata, disegani karena "isi" nya. Ya, isi hati dan pikiran yang dahsyat.

Lalu, siapa yang mampu mengemban misi mempersatukan umat ini?. Siapa yang mampu membendung provokasi yang mudah sekali ditelan bulat-bulat oleh umat ini?. Moga aksi 1712 nanti berhasil menyadarkan umat negeri ini bahwa kita memang harus bersatu dan tak lelah bersatu. Jaman gini masih suka berseteru? Malu dong...

Amin.
Fa'tabiru ya ulil abshar,
Wallahu a'lam...

Post a Comment

0 Comments