Ticker

6/recent/ticker-posts

BAYI DEBORA: Antara Komersialisasi Akut dan Sumpah Dokter

By: M Ridwan

"Saya bersumpah bahwa saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya. Saya akan memelihara sekuat tenaga martabat, tradisi luhur jabatan kedokteran. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter. Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh, supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial." (Sumpah Dokter) 



Tulisan ini didedikasikan untuk Debora. Bayi mungil berusia 4 bulan yang meninggal mengenaskan akibat keterlambatan pengobatan di sebuah Rumah Sakit.  Saya dan Anda mungkin tidak tahu apa yang terjadi di RS ketika itu, termasuk siapa yang benar dan salah. Menurut pengakuan orang tua, pihak rumah sakit-lah yang menolak perawatan di ruang PICU karena orang tua dianggap tidak sanggup membayar sebesar 18 jutaan. Sedangkan, pihak RS menolak dengan mengatakan bahwa mereka telah melakukan prosedur pertolongan maksimal kepada si bayi. Mereka menolak disalahkan. 

Wallahu a'lam, 
Saya hanya berdoa semoga kasus Debora tidak lagi ada, tutup dan hilang selamanya dari negeri yang dihuni hampir 300 juta manusia ini. Sebagian besar kita tentu tidak banyak memahami dunia medis. Bagi saya, praktisi medis itu orang "terpilih". Betapa tidak. Mereka harus memiliki otak yang encer ketika kuliah. Kalau tidak, siap-siap DO. Dulu, saya punya teman, yang tidak sanggup menyelesaikan kuliah di kedokteran. Ia menyerah karena -menurutnya- banyak sekali buku dan bahan kuliah yang harus diresapi. Otaknya hang. Katanya sih, dia baru tahu bahwa hoby nya tidak di dunia medis. Dia akhirnya memilih menjadi pedagang saja...Wah,,wah, kok terlambat nyadar ya..?
Nah, Setelah jadi dokter, perjuangan mereka semakin besar. Memilih profesi sebagai "penyelamat" nyawa manusia itu adalah pilihan berani. Mereka berani bekerja di tepi jurang. Salah sedikit akan dihujat dan jika berhasil mungkin saja mereka tidak begitu diapresiasi. Makanya, saya setuju jika paramedis khususnya dokter adalah pejuang yang sedang berjihad dengan ilmunya, termasuk dengan perasaan mereka. Salam hormat buat para dokter. 

Dulu, setelah menyelesaikan pendidikan S3, seorang Bapak tua di kampung, dengan lugunya bertanya kepada saya. Hebat ya, kamu sekarang sudah jadi dapat titel "Doktor", bisa dong kami berobat gratis? bisa obatin apa saja?. Apresiasi dan pertanyaan jujur itu muncul spontan. Wajahnya kelihatan bahagia.

Saya tersenyum kecut, kendati dijelaskan bahwa doktor "adalah" dan "hanyalah" predikat pendidikan, yaitu S1,S2 dan S3, namun si Bapak tetap tidak bergeming. Baginya, doktor atau dokter ya sama saja...Masak sih gara-gara, huruf "O" dan "E" saja bisa berbeda profesi?. 

Saya tersenyum maklum saja. Dia tentu tidak tahu apa itu beda Dokter, Doktor atau Doktor Honoris Causa. Temasuk, mungkin, beda dokter umum, dokter spesialis dan seabrek istilah turunan lainnya. Hanya satu yang saya garis bawahi, si Bapak takut berurusan dengan biaya di rumah sakit, makanya berharap saya bisa menggratiskannya kalau berobat. Sayangnya, saya bukan dokter pak...

Namun, sejak peristiwa itu saja jadi pingin tahu juga prihal dunia kedokteran dan kesehatan. Profesi ini tentu didambakan banyak orang, karena dianggap mulia dan terhormat tentunya. Silahkan tanya anak-anak kita, apa profesi yang mereka idamkan nantinya?. Kalau di sekolah saya, dulu, urutan teratas, adalah presiden, dokter, pilot, bankir, polisi, dan guru. Entahlah di sekolah lain dan entahlah kini. Tapi, saya pernah tanyakan juga kepada beberapa orang anak, apakah mereka tertarik menjadi petani atau nelayan?. Mereka serempak menggangguk tidak, bahkan anak petani pun enggan bercita-cita menjadi petani seperti bapaknya. Walah...

Kata teman saya, rendahnya minat menjadi petani hanya karena cover buku pelajaran anak-anak SD dan SMP. Lho, kok bisa?. Menurut mereka, gambar-gambar di sampul buku anak-anak kita mengambarkan petani dengan kerbau dan sawah semata. Image-nya "kampung" dan tidak keren. Demikian juga nelayan dengan perahu sederhanya. Berbeda sekali dengan profesi seperti dokter dengan stetoskop-nya atau pilot dengan pesawatnya. Keren banget. 
Menurut teman itu, dunia sekarang adalah dunia gaya dan pencitraan. Kesan "kere" harus berganti dengan "necis", mapan dan berduit. Makanya, gambar petani harus harus diganti dengan tampilan necis pula, misalnya berlatar belakang traktor canggih dan pesawat atau nelayan dengan kapal ikan canggih, satelit cuaca, atau gudang ekspor impor. Lihatlah keajaiban yang terjadi beberapa tahun ke depan. Anak-anak kita akan berebut menjadi petani dan nelayan. Di benak mereka, petani dan nelayan itu ternyata bisa membuat tajir juga kok...Seperti itukah?. 

Kembali kepada Debora,
Saya kira kita harus membedakan antara profesi medis dan komersialisasi. Seabrek kemuliaan memang disandang paramedis, namun bisa saja mereka akan terjebak ke dalam "tarikan komersialisasi" akut yang terjadi di negeri. 

Saya menyebutnya "akut" karena komersialisasi ini bisa terjadi di semua profesi, bukan hanya di bidang medis, bahkan di kapling agama. Secara bahasa, komersialisasi artinya menjadikan sesuatu bernilai dagang dan dapat dikonversikan ke dalam bentuk uang. Jualan jin juga ada lho. 

Apalagi di bidang kesehatan. Produk kesehatan bisa menjadi barang dagang yang menggiurkan. Konsekuensinya, industri kesehatan akan bersaing merebut pasar. Konsumen akan memilih penyedia jasa yang profesional, melayani dan ampuh. Faktor uang akan berbicara. Ada uang ada jasa. Tak ada uang? Siap-siap digantikan dengan orang lain yang mampu. Sampai sekejam itukah? Bisa jadi. Buktinya, warga Sumut, propinsi saya tinggal, lebih suka ke Penang Malaysia untuk berobat. Kata meeeka, pelayanan kesehatan di negeri jiran lebih bagus. Wah, tamparan keras buat Indonesia nih.

Namun, tidak semua komersialisasi bertendensi negatif. Di sinilah, saya menyebut istilah tepi jurang. Di sinilah pentingnya niat dan hati nurani. Paramedis berada pada posisi itu. Kejar duit atau kemanusiaan?

Saat ini, kesehatan mahal harganya. Jumlah orang sakit banyak. Aneh-aneh pula. Butuh riset dan peralatan yang mahal. Ilmunya juga rumit dan sedikit yang ahli di bidang itu. Namun, menjadikan kesehatan dan nyawa manusia menjadi barang dagangan adalah tercela dan terkutuk. Mudah-mudahan, bukan itu yang terjadi pada Debora yang malang.

Takdir nyawa manusia memang di tangan Tuhan. Rumah sakit dan dokter hanyalah berperan sebagai perantara "tangan" Tuhan. Saya tak dapat membayangkan pilunya sang Ibu melihat anak tercinta perlahan-lahan menghentikan nafasnya di rumah sakit yang menjadi ikhtiar akhir perjalanan nyawa. 

Maka, saya berharap cemas dan berdoa, bahwa kematian Debora bukan karena pihak RS menolak si bayi dimasukkan ke PICU. Saya membangun asa di hati bahwa pihak RS saat itu telah berjuang keras, mati-matian menyelamatkan si Deborah. Paramedisnya menghibur si ibu, dan menyabarkan mereka supaya derita keluarga itu berkurang. Itu doa saya.

Namun, seandainya nanti terbukti bahwa pihak RS dan paramedis-nya yang menolak si bayi masuk PICU karena masalah biaya itu, maka betapa tercabiknya hati kita. Kemanusiaan kita pasti harus dipertanyakan. Hati nurani kita harus diganti dan peresapan agama kita akan ditertawakan. Kalau itu terjadi, saya akan berkata kepada si bayi..

"Debora, nan malang,,..
Tuhan mungkin telah mengambil jiwamu kembali. Tapi sungguh, Tuhan begitu menyayangimu dan "menyelamatkanmu" dari dunia yang kejam ini. Dunia yang dipenuhi manusia yang terlalu sibuk mengejar materi dan lupa tempat kembali"

Untuk pengelola Sumah Sakit, kami sadar kalian butuh biaya yang besar untuk membeli peralatan, membangun gedung, membayar dokter dan obat yang mahal. Kalian pasti akan butuh waktu yang lama untuk Break Event Point.  Kami doakan kalian tidak rugi.

Untuk paramedis, kami masih berharap padamu. Kami tidak menafikan jasamu. Perjuangan kalian luar biasa. 

Kami sadar pengorbanan dan upaya kerasmu. Kami menunggu bakti itu dan mendoakan paramedis di Indonesia adalah benar-benar manusia pilihan dan berdedikasi dengan sumpah dan nilai kemanusiaannya. Semoga.

"Saya bersumpah bahwa saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya. Saya akan memelihara sekuat tenaga martabat, tradisi luhur jabatan kedokteran. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter. Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh, supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya. Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung. Saya akan menghormati setiap insani mulai dari saat pembuahan. Sekalipun diancam saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya"

Mungkinkah sumpah ini harus kita cetak dan ditunjukkan setiap saat ketika mengunjungi Rumah Sakit? Wallahu a'lam.

Post a Comment

0 Comments