Ticker

6/recent/ticker-posts

Get The Sipirit of Fikih Muamalah: Antara Over Fleksibel dan Fanatisme Mazhab

Oleh: M. Ridwan

Banyak kalangan yang masih meragukan bahwa muamalah itu bersifat fleksibel. Padahal, kaidah utama dalam muamalah berbunyial-ashl fi al-mu’amalah al-ibahah illa dalla al-dalil ‘ala tahrimihi (hukum asal dari muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

Kaidah ini sangat mudah dipahami, yaitu diperbolehkan melakukan aktifitas atau mendesain sebuah akad muamalah selama tidak ada ketentuan syariah yang melarangnya. Kaidah muamalah ini berbeda dengan kaidah ibadah yaitu al-ashl fi al-‘ibadah al-tahrim illa dalla al-dalil ‘ala ibahatihi (hukum asal dari ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang membolehkannya). Dalam ibadah  tidak diperbolehkan mendesain sebuah praktik ibadah baru kecuali ada aturan syariah yang membolehkannya. Misalnya diharamkan, menambah rakaat sholat subuh menjadi 4 rakaat karena ingin lebih khusuk di pagi hari, dsb.

Jamal al-Din al-‘Atiyyah mengatakan bahwa kebolehan dalam muamalah itu bisa berimplikasi pada banyak hal seperti:
1. Suatu bentuk muamalah tidak perlu dicari dasar hukum syariahnya sebab memang hukum asalnya adalah mubah dan bukan haram;
2. Kalaupun ada keterangan dalam al-Quran maupun hadis terkait suatu bentuk muamalah tidaklah dimaksudkan bahwa al-Quran dan hadis membatasi  manusia sehingga tidak boleh mendesain bentuk-bentuk muamalah baru;
3. Implikasi dari point 2 menyebabkan bahwa dalam mendesain bentuk muamalah baru tidak perlu dianalogikan kepada bentuk muamalah yang telah dijelaskan oleh nash, bahkan tidak perlu dianalogikan (takhrij) atau bahkan penggabungan mazhab-mazhab (talfiq), karena satu-satunya batasan bahwa bentuk muamalah baru itu tidak melanggar nash baik yang mengharamkan seperti yang terdapat dalam al-Quran maupun hadis. Beliau kemudian menyatakan bahwa hal yang harus dilakukan dalam membuat sebuah hukum muamalah hanyalah mempertanyakan apakah ada nash yang melarangnya dan bukan nash yang membolehkannya. Pendapat ‘Atiyyah ini, silahkan baca dalam bukunya al-Bunuk al-Islamiyyah (Qatar: Risālah al-Mahākim al-Sharī’ah wa al-Shu’un al-Diniyyah, 1407 H) hal. 125.

Dasar pikiran di atas-lah yang setidaknya digunakan untuk mendesain berbagai produk lembaga keuangan Islam saat ini, termasuk juga berbagai praktik bisnis syariah lainnya. Kendati hukum asalnya adalah boleh, namun ijtihad dalam bidang muamalah harus dilakukan dengan metodologi benar. Metodologi yang dimaksud adalah penggunaan perangkat (tools) dan instrument ijtihad tepat.

Perangkat-perangkat tersebut misalnya usul fikih, tarikh tasyrik, tafsir dan hadis, sebab turun ayat (asbabun nuzul), sebab datangnya hadis (asbabul wurud), dan tentu saja pemahaman yang baik terhadap pendapat-pendapat ulama fikih dan kondisi kontekstual saat pendapat itu dibuat. Untuk memahami perangkat-perangkat itu–yang tertulis dalam kitab-kitab klasik- maka penguasaan bahasa Arab juga mutlak diperlukan.

Semua perangkat tersebut kemudian diramu dengan pendekatan kemaslahatan (maslahat) sehingga tujuan syariah (maqasid syariah) dari suatu ketentuan hukum dapat diketahui. Tanpa perangkat-perangkat tersebut maka poduk ijtihad yang dihasilkan dikhawatirkan akan bias, parsial, dan bisa saja terjatuh ke dalam tindakan distorsif seperti menghalalkan yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal –suatu hal yang tentu saja harus dihindarkan-.

Meyeimbangkan antara Fleksibelitas Berlebihan dan Fanatisme Mazhab

Dalam praktiknya, keluwesan yang dimiliki oleh kajian muamalah tentu tidak boleh menjadikan kita terlalu bebas (over fleksibel) dalam membentuk akad-akad baru. Praktik bay’ 'inah di Malaysia mungkin bisa menjadi contoh over fleksibel ini. Instrumen keuangan syariah di negeri jiran ini awalnya banyak didesain dengan menggunakan akadbay’ inah.  Padahal, akad ini dilarang oleh para ulama karena lebih menyerupai praktik riba. Argumen pakar Malaysia saat itu, karena Imam Syafi’i membolehkan akad ini. Padahal, yang dibolehkan oleh Imam Syafi’i adalah bay’ 'inah dalambentuk kedua dimana tidak ada persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing pihak terhadap pengurangan harga. Artinya, proses jual beli yang terjadi harus  alamiah tanpa rekayasa. Ini tentu berbeda dengan praktik lembaga keuangan di Malaysia dimana bay’ 'inah tersebutdilakukan dengan rekayasa antara pihak-pihak (bentuk I) sehingga praktiknya akhirnya lebih menjurus kepada jual beli tipuan saja.

Syukurlah, Malaysia akhirnya mengurangi praktik ini sejak tahun 2007-an lalu.  (Ceritanya waktu itu Dr. Anwar Ibrahim anggota DSN MUI dipanggil dalam seminar di Malaysia dan mengingatkan kalangan Malaysia terhadap praktik bay' 'inahtersebut).

Dalam contoh di atas, upaya Malaysia menggunakan bay’ 'inah adalah salah satu contoh tindakan over fleksibel dalam upaya mengakomodasi instrumen keuangan konvensional ke dalam lembaga keuangan Islam. Bisa saja, praktik-praktik serupa akan terjadi jika tiidak cermat dalam melihat keutuhan sebuah akad dan konteks yang mengitarinya.

Sebaliknya, fanatisme mazhab yang berlebihan juga sangat berbahaya karena bisa membuat perkembangan muamalah menjadi tersendat. Kita tentu memaklumi adanya kekhawatiran banyak pihak seandainya praktik muamalah yang dilakukan menyebabkan kita terjerumus kepada yang diharamkan Allah. Kita tentu tidak menginginkan bila transaksi yang dilakukan ternyata tidak diridhai Allah karena –misalnya- ada unsur riba. Akan tetapi, kekhawatiran yang berlebihan juga harus dihilangkan.

Apalagi bila kekhawatiran tersebut justru sampai pada tindakan mengharamkan suatu praktik muamalah yang halal namun karena kurang memahami keseluhan mazhab akhirnya melahirkan pendapat yang distorsif misalnya menyatakan bahwa suatu transaksi itu haram hanya karena beda sudut pandang. Hal ini biasanya terjadi bila ijtihad yang dilakukan tidak menggunakan metodologi yang tepat. Demikian pula, adanya fanatisme mazhab yang  berlebihan tanpa disertai dengan upaya i’adah al-nazhr (telaah ulang) terhadap pendapat-pendapat mazhab lainnya akan menyebabkan lahirnya pikiran-pikiran sempit dan tidak konstruktif bagi perkembangan muamalah kontemporer yang akhirnya menyulitkan umat Islam sendiri.

Dalam berbagai pelatihan ekonomi Islam yang penulis pernah isi, penulis melihat bahwa 2 (dua) kecendrungan di atas juga dimiliki oleh para peserta. Ada peserta yang sangat takut (paranoid) dan berpandangan streotif terhadap akad-akad yang digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan  syariah. Bahkan ada yang meragukan dan menyangsikan kekuatan fatwa Dewan Syariah NAsional (DSN) sebagai rujukan praktik muamalah di Indonsia –padahal fatwa DSN dalah fatwa yang paling bisa dipercaya karena telah mengakomodir dan dikeluarkan oleh ulama-ulama lintas komptensi yang sangat mumpuni-. Kelompok ini bisa dikategorikan memiliki sikap fanatisme yang sangat berlebihan bahkan menunjukkan sikap taklid buta karena kebanyak mereka tidak mengetahui dari tahu mana dan bagaimana sumber-sumber tersebut diperoleh. Memang, aktifitas muamalah kontemporer saat ini memang ada sebagian yang telah diatur dalam kitab-kitab fikih klasik dan dirumuskan oleh para ulama dengan baik, namun tidak sedikit praktik kontemporer yang ada harus dirumuskan ulang dan didesain oleh ulama saat ini -tentunya dengan tetap berpedoman kepada metode yang dilakukan oleh ulama klasik-.

Pada sisi lain, ada  pula peserta yang sangat menginginkan adanya fleksibelitas akad-akad muamalah. Biasanya mereka ini didominasi oleh pelaku industri syariah. Kelompok ini biasanya lebih cendrung membidik dan mencari pendapat ulama yang membolehkan aktifitas mereka. Pertanyaan mereka biasanya, adakah ulama yang membolehkannya?, apakah model transaksi seperti ini bisa disyariahkan?, apakah ada model Islam untuk transaksi seperti ini? bahkan ada yang mencoba “merevisi” fatwa DSN dengan memberikan tawaran yang –tentu saja- lebih berpihak kepada mereka sebagai pelaku industri keuangan. Bahkan ada yang langsung langsung ingin men-launching sebuah produk tanpa mengkaji substansi dan prinsip maslahatnya.

Menanggapi 2 (dua) kubu di atas biasanya kita lebih cendrung pada posisi tengah (sesuai istilah ekonomi Islam yaitu  nama Iqtishad yang artinya seimbang lho.. :) ) dengan  menyajikan pendapat-pendapat ulama yang kuat argumentasinya, bukan sekedar pendapat ulama yang ada namun argumentasinya lemah. Kita sangat ketat memegang konsensus ulama mengenai prinsip akad-akad yang dilarang yang bisanya dikenal dengan istilah MAGHRIB (Maysir/Judi, Aniaya, Gharah, Haram, Riba, Ikhtikar dan bathil). Kita juga berupaya sekuat tenaga supaya akad-akad muamalah yang digunakan lembaga keuangan Islam tidak bertentangan dengan Islam apalagi sampai terjerumus kepada riba. Na’uzubillah.

Namun, kita juga harus mengakomodir aspirasi kalangan industri yang memang berprofesi sebagai pemegang amanah harta nasabah dan agen bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Artinya, suatu keharusan bagi mereka untuk mendapatkan akad-akad yang menguntungkan. Syariah juga membolehkan upaya mencari untung ini seperti yang disebutkan dalam prinsip muamalah yaitu istirbah mencari untung, namun tentunya akad-akad tersebut harus benar-benar terhindar dari MAGHRIB di atas.

Pertanyaannya; adakah akad-akad yang betul-betul syariah (kuat kehujjahannya) namun juga menguntungkan bagi kalangan industri syariah saat ini..?. Jawabnnya, ada dan banyak. Tinggal bagaimana kita mampu menggali secara lebih mendalam dan kreatif.  Akad-akad tersebut insyaallah juga tidak bertentangan dengan syariah dan pada sisi lain juga menguntungkan kalangan industri dan bisnis. Akad-akad ini dapat kita temukan dalam berbagai khasanah Islam dan bisa digunakan saat ini. Untuk itulah, FEBI akan terus mensosialisaikan berbagai bentuk pelatihan terkait dengan fikih muamalah :) ) dan tentu saja finalisasi akhir keputusan sebuah akad itu berada di tangan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai otoritas fatwa di negeri tercinta ini.

Di atas segalanya, kehalalan sebuah akad saja belum cukup dalam sebuah praktik bisnis. Masih diperlukan berbagai instrument lain supaya nilai-nilai syariah bisa diimplementasikan dengan sepenuhnya dalam transaksi bisnis terutama berkaitan dengan motif (niat) dan substansi yang ingin dicapai dari keberadaan sebuah akad seperti upaya menggalakkan sektor riil dan mengentasakan kemiskinan.

Berkaitan dengan hal ini biasanya kita harus menjunjung tinggi dan berupaya mendapatkan spirit (ruh) dari fikih muamalah itu sendiri yaitu terealisasinya tujuan syariah (maqasid syariah) dalam berbagai praktik bisnis kita demi tercapainya keseimbangan dimensi kehidupan dunia dan ukhrawi. So, get the spirit and go on,.!!!

Post a Comment

0 Comments