Oleh: M. Ridwan
Sejujurnya, awalnya, saya tidak ingin
membahas topik ini. Bukan saja karena kompetensi saya sangat terbatas dengan
seluk-beluk teknik baca Alquran, tapi setahu saya di Pulau Jawa, ada ratusan ribu
Qari-Qariah yang sangat piawai melantunkan Alquran sekaligus menguasai sampai
sedetail-detailnya hal ihwal qiraah Alquran dan hukum bacaanya. Serahkan saja
kepada ahlinya. Namun, karena isunya sudah kadung heboh, maka saya kira, ada baiknya juga untuk ikut nimbrung. Lagipula, tema ini sesuai dengan tema blog yaitu negeri gaya-gayaan :)
Kemarin sore, saya mendapatkan broadcast
tentang Alquran yang dibacakan dengan langgam Jawa. Video itu di sharing di
beberapa group WA. Langgam ini dibawakan di istana negera dalam acara Isra Mi’raj
Nabi yang pasti dihadiri para Dubes dari negara lain termasuk Timur Tengah.
Sejujurnya, langgamnya agak mengusik
telinga awam saya. Baik tajwid maupun makharijul hurufnya agak aneh saja. Saya
yakin langgam ini pasti juga aneh di telinga para qari-qariah yang bertebaran
di negeri ini. Telinga mereka sangat peka. Saya pastikan mereka tidak bisa
tidur. Bercampur baur, antara lucu, jengkel dan mungkin marah. Kok bisa?. Kalau
tidak percaya, silahkan tanya mereka satu persatu.
Seorang ahli qiraah Indonesia
berpendapat bahwa kalau langgam itu dibacakan di forum tidak resmi masih bisa dimaklumi. Mungkin bisa dimaafkan.
Apalagi jika si qari sedang belajar tajwid atau qiraah. Akan tetapi, ketika
langgam yang tidak biasa ini dibacakan di forum resmi kenegaraan, maka
dipastikan akan mengundang tanya tanya komunitas qari di seluruh dunia. Apakah
Indonesia tidak percaya diri lagi dengan langgam Alquran versi Timur Tengah?.
Apakah Indonesia sudah begitu "paniknya" karena tidak memiliki sesuatu untuk dipamerkan. Maka, tak ayal, berbagai komentar miring bermunculan terhadap langgam Jawa ini.
Sebagian besarnya, menghujat. Menganggap ada upaya desakralisasi Alquran,
bahkan sekularisasi.
Namun, tentu juga ada pro
terhadap langgam Jawa ini. Mereka beranggapan bahwa kendati ada hadis yang
menyatakan larangan Nabi untuk menggunakan langgam non Arab, maka menurut
mereka hadis itu dhaif. Langgam berbeda dengan Alquran itu sendiri. Selama
tajwid dan mahkhrajnya terjaga, maka tidak ada masalah. Inilah saatnya untuk mempublikasikan Islam Nusantara. Keren...
Perdebatan di atas, saya yakin
akan terus mengisi hari-hari bangsa ini ke depan. Bersiap-siap saja.
Akan tetapi, saya lebih tertarik
membahas dari sisi lain. Kita akan melihat langgam Jawa tadi dalam kacamata marketing
terutama terkait branding. Istilah branding merujuk kepada upaya menciptakan
keunikan produk yang ingin kita jual. Branding bertujuan supaya produk
itu dikenal, diingat dan syukur-syukur masuk ke dalam alam bawah sadar konsumen. Dari mulai recognition, recall sampai top of
mind, demikian istilah yang dipakai dunia per-branding-an. Branding tidak
hanya berlaku bagi produk-produk barang dan jasa dalam lingkup kecil saja tapi
juga dapat digunakan untuk mem-branding sebuah negara.
Misal, apa yang terlintas pertama
kali ketika kata Korea diucapkan?. Mungkin saja yang terbayang adalah ginseng, group
music K-Pop atau Gangam Style-nya. Artinya, Korea berhasil mem-branding
negeri mereka dengan gingseng, K-Pops dan Ganggam Style-nya. Demikian,
juga ketika kata Jepang diucapkan, apa yang terbayang?. Mungkin saja gunung
Fujiyama, bunga Sakura atau Hiroshima dan Nagasaki.
Demikian juga, ketika kata Arab
Saudi diucapkan, mungkin yang terlintas adalah Kabah, masjidil Haram, Mesjid
Nabawi atau Zamzam dan Kurma. Atau, kata Indonesia dengan Borobudur dan
Bali-nya. Artinya, branding setiap negara itu pasti selalu ada, baik
diciptakan dengan sengaja atau tidak.
Dengan demikian, branding
bisa diidentikkan dengan upaya memperkenalkan diri. Tampil beda atau unik.
Terkait negara, upaya branding telah dilakukan para penguasa dunia dari
jaman ke jaman. Lihat, bagaimana Fir’aun ingin mem-branding Mesir dengan
piramid yang megah. Konon, piramid dibangun bukan hanya untuk itu, tapi juga
diperuntukkan untuk pamer kehebatannya kepada penduduk Mesir bahwa ia bisa
mencapai langit dan membunuh Tuhan Musa.
Dalam sejarah, tidak semua negara
berhasil mem-branding dirinya. Misalnya, Yaman dalam pemerintahan
Abrahah. Dia marah karena yang menjadi tujuan wisata spiritual ribuan manusia
saat itu justru adalah Mekkah dengan Kabahnya. Dia ingin tujuan itu dirubah ke
Yaman. Namun, dikarenakan Yaman tidak memiliki tempat sebagai destinasi
spiritual sehingga sulit untuk memberikan branding unik, maka Abrahah gelap mata. Ketimbang repot-repot
memikirkan cara menciptakan sesuatu yang bernilai beda, dia lebih memilih untuk
menghancurkan Kabah. Lebih simple.
Dengan ribuan tentara bergajah
dia bernafsu untuk menghancurkan simbol Mekkah. Dalam pikirannya, ketika Kabah
hancur, maka destinasi para pengunjung akan berpindah ke Yaman. Tentu saja dia
salah. Kabah bukan saja merupakan branding Arab Saudi namun merupakan branding
Tuhan di muka bumi. Sehingga, lawan Abrahah bukan lagi penduduk Mekkah, tapi
Tuhan sendiri. Maka kehancuran Abrahah menjadi sebuah keniscayaan. Silahkan
baca kisah Abrahah yang diceritakan dalam Surat Al-Fiil.
Dalam sejarah Romawi dan Persia,
mereka dianggap berhasil mem-branding mata uang dinar dan dirham menjadi
mata uang yang diakui di seluruh dunia. Sampai-sampai di masa awal pemerintahan
Islam saat itu, masih menggunakan dinar dan dirham dari kedua emperium ini.
Makanya, ketika Abdul Malik bin Marwan penguasa bani Umayyah menerbitkan dinar
versi Islam dengan kalimat Allah di atasnya, Romawi kalang kabut dan marah
besar. Selidik punya selidik, kemarahan mereka bukan hanya karena branding
Romawi yang hilang, tapi juga mereka kehilangan banyak pemasukan dari biaya franchinse
pencetakan uang di wilayah Islam.
Oh ya, kembali ke laptop.
Terkait Alquran, fakta sejarah memang
menunjukkan bahwa ada semacam “kecemburuan” ketika kitab ini ditulis dalam
bahasa Arab. Bahkan, bukan hanya Alquran, sosok Muhammad yang berasal dari Arab
juga mengundang “kecemburuan” bangsa lain. Bangsa-bangsa lain merasa aneh, kok
nabinya dari negeri tandus dan kering itu?. Selama itu, Arab Saudi dianggap
tidak memiliki bakat melahirkan emperium. Makanya, Romawi dan Persia menjadi
kalang kabut.
Atau seperti Yahudi. Negeri
pengikut Musa ini juga tidak terima atas keputusan Tuhan menempatkan Nabi
terakhir berada di tanah Arab. Yahudi memang mengetahui akan ada Nabi akhir
jaman, namun dalam pikiran mereka, Nabi yang akan hadir berasal dari Ras
Israel. Ras ini dianggap mulia. Mereka menunggu kehadiran sang nabi dengan
penuh kesabaran. Makanya, mereka sangat kaget dan kebakaran jenggot ketika
Muhammad itu muncul dari Arab. Wong, Arab
dianggap tidak memiliki pengalaman melahirkan para Nabi, demikian di pikiran
Yahudi. Kecemburuan mereka melahirkan kebencian dan konflik. Konflik ini bahkan
abadi sampai saat ini. Bayangkan, bahayanya sebuah persepsi jika salah.:)
Atau, Musailamah al-Kazzab –Nabi
Palsu- yang pernah berkreasi menciptakan Alquran tandingan. Menurutnya, apalah
sulitnya menciptakan Alquran. Dalam pikirannya, Muhammad pasti berkreasi
sendiri menciptakan Alquran. Si Musailamah memang cukup kreatif kendati
kebablasan. Dia menciptakan sebuah syair yang menurutnya lebih baik dari
Alquran. Judulnya adalah “Sang Kodok (al-Dhif’da).” Namun, bukan pujian
yang diperoleh, Musailamah justru mendapatkan ejekan dari orang Arab saat itu
karena Alquran vesinya sangat aneh di telinga mereka yang sangat mahir
bersyair. Musailamah dianggap nyeleneh bahkan gila.
Upaya untuk desakralisasi Arab pernah
terjadi di era Kemal Attarturk, tokoh sekuler Turki. Saat itu dia mengganti
semua simbol-simbol Arab. Bahkan, azan juga diganti dengan bahasa Turki. Dalam
pikirannya, kemajuan Turki akan terjadi jika budaya tradisional dihilangkan.
Sampai saat inipun, publik Turki masih terpecah menanggapi kreasi si Mustafa
Kemal Atarturk ini. Ada yang pro dan banyak yang kontra. Yang pro menganggapnya
ia sebagai penyelamat Turki dari penjajahan, namun bagi yang kontra menganggap
dia telah menghilangkan tradisi kekhalifahan dalam Islam.
Tentu saja, saya tidak bermaksud
mengatakan bahwa upaya mengganti langgam Alquran yang dilakukan di Istana negara
adalah upaya untuk desakralisasi Arab apalagi desakralisasi Alquran. Tidak sama
sekali. Apalagi menyamakannya dengan Alquran palsu vesi Musailamah Al-Kazzab
atau isu sekulerisasi versi Kemal Attarturk. Konteks dan bentuknya berbeda. Apalagi langgam
alquran versi Jawa tidak merubah ayat dan maknanya. Kendati asing di telinga,
mungkin kreatifitas langgam ini masih bisa selamat dari kecurigaan ini.
Namun, jika dikaitkan dengan branding
tadi. Maka, Alquran langgam Jawa setidaknya akan memberikan kompetitor baru
bagi langgam Arab. Tidak dapat dibayangkan bagaimana “Sewotnya” Arab mengetahui
fenomena ini. Apalagi jika langgam ini tidak sesuai dengan kaidah bahasa mereka.
Telinga mereka pasti akan “perih” mendengarnya. Saya buat pemisalannya,
seandainya lagu seriosa atau dangdut dinyanyikan oleh seorang bule. Pasti kita
akan tertawa geli.
Artinya, untuk melakukan branding
jangan sampai kebablasan juga. Apalagi jika branding itu menggunakan produk
orang lain. Branding jangan sampai menyalahi kaidah atau norma yang
sudah diakui. Baik norma agama, kesusilaan atau kebiasaan. Sejarah menunjukkan
bahwa menyalahi aturan umum dan kesusilaan apalagi agama akan menyebabkan
tersingkirnya si pelaku dari masyarakat dunia.
Saya kira, harus ada upaya untuk
mendialogkan berbagai ide-ide kreatif terkait agama dengan para tokoh dan
pakarnya. Kendati mungkin tidak diatur oleh nas-nas yang jelas, maka konsensus para
ahli agama itu dapat dibenarkan. Apalagi terkait dengan Alquran. Idealnya, didialogkan dahulu dengan para ahli Alquran. Syukur-syukur mereka yang melahirkan langgam barunya. Sehingga lebih "aman" dan kredibel. Bukan oleh sembarang orang yang mungkin tidak paham tajwid Alquran. Meskipun, sampai kini para ahli Alquran di seluruh dunia sepertinya memang tak berniat lagi untuk mengutak-atik langgam Alquran. Mungkin karena tidak ada urgensi-nya ya... Saya kira pasti karena satu alasan tertentu juga. Sehingga, sampai saat ini kitapun tidak mendengar ada cabang "Lomba Cipta Langgam Alquran" di MTQ di seluruh dunia.
Soalnya, permasalahan seni telah menjadi konsumsi publik dan menjadi tren di masyarakat terutama remaja. Saya tidak dapat membayangkan, pabila setelah langgam Jawa, akan bermunculan pula Alquran langgam Korea, China atau Ala Dangdut India. Atau, bermunculan langgam Alquran versi Lady Gaga, Metalica, Madonna, Justin Bieber atau K-Pop Korea. Jika kita sudah siap menerima konsekuensi seperti ini, go ahead.
Soalnya, permasalahan seni telah menjadi konsumsi publik dan menjadi tren di masyarakat terutama remaja. Saya tidak dapat membayangkan, pabila setelah langgam Jawa, akan bermunculan pula Alquran langgam Korea, China atau Ala Dangdut India. Atau, bermunculan langgam Alquran versi Lady Gaga, Metalica, Madonna, Justin Bieber atau K-Pop Korea. Jika kita sudah siap menerima konsekuensi seperti ini, go ahead.
Namun,
jika belum siap, apalagi mau sekedar gaya-gayaan semata, maka saya kira perlu dipetimbangkan matang-matang untuk
melaunching sesuatu yang sensitif terkait simbol agama. Apalagi, jika ternyata langgam Alquran model Arab ternyata merupakan branding dari Allah. Wah, bisa-bisa kita kena damprat seperti Abrahah karena dianggap iri dan sombong dengan Arab. Tobat deh..
Ada pepatah Arab yang menarik
untuk diingat. Bul ‘alaz zamzam, fatu’raf, artinya: Kencingilah sumur
Zam-Zam, maka kamu akan terkenal di seluruh dunia. Tentu yang dimaksud adalah terkenal karena sudah tidak waras. Mudah-mudahan, Alquran langgam Jawa ini tidak
bermaksud untuk ini.
0 Comments