Oleh: M. Ridwan
Sekitar 2 tahun lalu, saya berkesempatan menghadiri acara halal bi halal yang diadakan MES dan IAEI bertempat di gedung Dhanapala Kementerian Keuangan RI.
Salah seorang panitia, Achmad Iqbal, mengungkapkan bahwa panitia bekerja telah ekstra keras menghadirkan acara ini. Hasilnya pun cukup memuaskan yang dibuktikan dengan kehadiran berbagai elemen masyarakat yang merupalan stake holder ekonomi syariah di Indonesia.
Salah satu acara yang menarik perhatian audiens tidak lain penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara berbagai stakeholder seperti Muliaman D Hadad (Waktu itu beliau Ketum MES), Bambang Brojonegoro (Waktu itu beliau Ketum IAEI), Halim Alamsyah (FKAES), Aries Mufti, Adiwarwan A. Karim, dan tentu saja Menteri Keuangan sendiri yaitu Agusmarto Wardoyo dan Ketua DSN MUI Kyai DR (HC). H. Ma’ruf Amin. Tidak tanggung-tanggung, slogan yang diusung adalah “Sinerji Untuk Akselerasi Mewujudkan Indonesia yang lebih baik”. Sebuah upaya yang patut diacungkan jempol dan tentu saja merupakan harapan seluruh rakyat Indonesia.
Nah, berkaitan dengan kata sinerji itu, maka penulis tertarik memilih judul di atas, namun saya mohon maaf, karena sama sekali tidak bermaksud menganjurkan pembaca untuk berpoligami, lho :). Lagipula, tidak ada relasi antara ekonomi syariah dengan poligami, jadi Anda para peneliti juga tidak perlu repot melakukan riset untuk mengetahuinya. :)
Ilustrasi 4 (empat) orang isteri dalam perkembangan ekonomi syariah pertama kali diungkapkan oleh Mabid al-Jarhi -direktur IRTI- dalam sebuah kegiatan round table para ekonom Islam sekitar tahun 2003 lalu. Saat itu, pentolan ekonomi Islam seperti Nejatullah Siddiqi, Khurshid Ahmad, Umer Chapra dan Fahim Khan bertemu membincangkan perkembangan ekonomi Islam kontemporer. Mereka ternyata sepakat bahwa ekonomi Islam masih belum maksimal mencapai tujuannya. Oleh karena itu ekonomi Islam harus terus dikembangkan.
Nah, berkaitan dengan bagaimana mengembangkannya, Mabid al-Jarhi lantas mengemukakan ilustrasi dengan sinerji 4 (empat) isteri ini. Menurutnya, ada berbagai komponen yang terlibat dalam pengembangan ekonomi Islam, namun berbeda latar belakang. Perbedaan ini sering berimplkasi pada perbedaan pendapat terutama berkaitan kemana arah ekonomi Islam harus dibawa. Menurutnya, mensinerjikannya semua komponen tersebut ibarat mendamaikan empat “isteri” dalam sebuah rumah tangga. Keempatnya adalah:
Isteri I yaitu ekonomi neoklasik. Menurutnya, dalam mengembangkan ekonomi Islam, maka metodologi neoklasik juga berperan. “Isteri I” ini jangan sampai ditingggalkan karena adanya “isteri-isteri” lainnya. Adanya peran ekonomi neoklasik ini sekalgus menafikan pendapat kalangan yang tidak setuju bahkan meng-haram-kan penggunaan metodologi dari ekonomi neo-klasik.
Isteri II yaitu fikih Muamalah. Baik kajian fikih dan ekonomi pada dasarnya sulit disandingkan karena menggunakan bahasa yang berbeda. Sama juga seperti menyandingkan isteri I dan II, lho :). Fikih menggunakan bahasa teks (halal/ haram) sedangkan ekonomi menggunakan bahasa ilmu positif.
Menyikapi hal ini, maka langkah yang terbaik adalah melakukan rekonsiliasi fikih dengan ekonomi. Dengan demikian, fikih dianggap sebagai sebuah bagian dari kerangka institusi masyarakat Islam yakni hukum Islam sehingga tidak terjadi misunderstanding. Silahkan baca 2 (dua) tulisan saya yang lalu tentang bagaimana pemahaman yang minim terhadap fikih muamalah (lack of fikih muamalah knowledge) bisa melahirkan pemikiran yang tak mendasar dan bisa saja destruktif bagi upaya membangun ekonomi Islam yang telah ada.
Isteri III yaitu politisi dan pembuat kebijakan (policy maker). Salah satu aspek yang juga penting diperhatikan adalah keberadaan pembuat kebijakan (policy maker). Sudah merupakan rahasia umum bahwa terkadang visi ekonom Islam berbeda dengan visi politisi atau pembuat kebijakan. Akibatnya sering tidak nyambung. Ekonom Islam maunya ini, tetapi politisi atau pembuat kebijakan punya kemauannya sendiri. :)
Isteri IV yaitu ahli ekonomi Islam (islamic economist). Merupakan satu fakta bahwa di kalangan ekonom Islam sendiri masih ditemukan berbagai perbedaan mengenai seperti apa ekonomi Islam yang hendak dikembangkan,. Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi yang koheren mengenai ekonomi Islam di kalangan ekonom Islam sendiri. Selama ini, para ekonom Islam terlihat masih belum berhasil mengeluarkan seluruh khasanah ekonomi Islam ke dalam kehidupan modern. Langkah ini mutlak diperlukan supaya ekonomi Islam punya kekhasan tersendiri.
Terlepas Anda setuju atau tidak dengan ilustrasi yang digunakan oleh Mabid al-Jarhi, tapi setidaknya begitulah kenyataan yang ada. Kalangan yang berprofesi sebagai akademisi ekonomi Islam atau ulama ekonomi Islam, pasti sering mengalami “shock” ketika idealisme akademis dalam kajian ekonomi Islam terkadang tidak bisa diimplementasikan dengan sepenuhnya oleh para praktisi (ingat perdebatan tentang murabahah, profit sharing, etika banker Islam, biaya yang tinggi, adanya anggapan bank Islam dan konvensional sama saja, dll).
Kalangan ini bisa saja merasa bahwa praktik ekonomi Islam tidak seperti yang diharapkan atau mungkin belum 100% sesuai dengan prinsip Islam. Kalangan ini boleh saja sih merasa “shock” walaupun yang terbaik seharusnya mereka terus membangun idealisme setinggi apapun. Apapun hasilnya lalu sampaikan kepada praktisi. Insyallah perlahan namun pasti idealisme itu akan terwujud dalam dunia nyata. Orang Arab bilang,qillan qillan summa jabalan (sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit). :)
Pada sisi lain, bagi kalangan praktisi ekonomi Islam, saya yakin pasti juga sering kerepotan dan mungkn resah karena adanya ekspektasi yang tinggi dari berbagai kalangan terhadap industri ekonomi Syariah untuk mewujudkan sebuah mayarakat ekonomi Islam yang sempurna, menyebabkan mereka terkadang sering disalahkan karena tidak berhasil mewujudkan idealisme dalam praktik yang mereka lakukan (we live in imperfect world, don’t we..?).
To tell you the truth, para praktisi ekonomi Islam sebenarnya telah berupaya keras menerapkan nilai-nilai institusi mereka. Silahkan kunjungi lembaga-lembaga tersebut. Nuansa Islami cukup terasa., namun sayangnya upaya yang mereka lakukan terkadang masih dianggap kecil bahkan ada yang menganggap mereka tidak syar’i (sedih juga ya..). Apakah Anda pernah mengalami hal itu..? .
Wajar juga sih kalau pada akhirnya ada praktisi yang menyatakan bahwa kalangan akademisi ekonomi Islam itu hanya pintar berteori, maunya hanya berada di atas menara gading, tidak membumi, punya idealisme dan konsep yang bagus tapi tidak realistis. Apakah Anda pernah berpikir seperti itu..? :)
Bagi yang memiliki kewenangan sebagai politisi dan pembuat kebijakan. Saatnya untuk menunjukkan keberpihakan yang lebih maksimal. Bisa saja ada sebagian kalangan politisi atau pembuat kebijakan ada yang masih belum berpihak kepada ekonomi syariah karena bidang ini dianggap masih “bayi” dan belum menunjukkan prestasi mengembirakan. Segeralah bertindak dengan kewenangan Anda jika Anda adalah politisi dan pembuat kebijakan. Rakyat sedang menunggu upaya itu.
Dan terakhir, bagi kalangan akademisi yang berlatar belakang ekonomi neoklasik, maka keberadaan mereka sangat diperlukan dalam pengembangan ekonomi Islam ke depan. Sudah saatnya anggapan bahwa ekonomi Islam itu sebagai ekonomi kelas 2 dihilangkan (anggapan ini masih ada, lho..). Ekonomi Islam justru akan berkembang bila kalangan ekonom neoklasik mendukungnya dengan sepenuh hati. Bukankah kita ingin melihat Indonesia yang lebih baik..?,This is our Indonesia, bro..:)
Alhasil, kesetaraan peran dan keadilan dalam memberikan perhatian sangat diperlukan dalam mengembangkan ekonomi Islam ke depan. Khusus Indonesia, sinerji juga harus terjadi sehingga perkembangan ekonomi Islam di Jakarta setara dengan daerah lainnya di Indonesia. Tidak boleh ada pihak yang boleh merasa unggul dari yang lainnya. Inilah hakikat sinerji, makanya Mabid al-Jarhi mengilustrasikankan seperti mendamaikan 4 (empat) orang isteri (cukup masuk akal kan..?).
Sinerji hanya bisa dibangun jika kita memiliki sebuah visi yang sama yaitu kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia yang didasarkan pada nilai-nilai ilahiah –Akram Khan menyebutnya al-Falah-. Jika ini mampu kita miliki dan lakukan, maka mewujudkan Indonesia yang lebih baik dengan ekonomi Islam tidak lagi menjadi sebuah mimpi. Selamat bersinerji. :)
0 Comments