Oleh: M. Ridwan
"Demand terhadap sosok orang baik dan benar terus meningkat sementara supply-nya terus berkurang. Makanya, dulu, berita Jokowi dan Dahlan Iskan paling mudah mudah ditemui di berbagai media. Para kandidat pilkada pun ramai-ramai melakukan dumping dan replikasi sosok keduanya karena dianggap citra-nya baik"
Sebelum kedatangan Islam, kaum Quraisy Mekkah disebut hidup dalam kejahiliyyahan (kebodohan). Mereka bodoh bukan karena tidak pintar dagang, politik, seni atau budaya. Mereka jahiliyyah karena ukuran kebenaran yang diakui hanyalah berasal dari akal pikiran dan budaya manusia. Parameter ini tentu sangat berbeda dan berpeluang mengalami deviasi dan distorsi dari kebenaran hakiki yang berasal dari wahyu.
Mayoritas suku Quraisy saat itu adalah pedagang. Mereka ahli di bidang itu. Mereka juga pintar sastra dan kuat persatuan secara kabilah. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pembiayaan bagi hasil itu adalah model perniagaan yang biasa dilakukan suku Quraisy saat itu. Model ini kemudian dibenarkan oleh Islam. Artinya, kalau kita menganggap bahwa jahiliyyah itu sama dengan idiot, terkebelakang mental dan tidak punya intelektual bagus, maka anggapan itu pastilah keliru karena tidak mungkin model financing seperti mudarabah dimunculkan dari seorang yang idiot, bukan?
Namun, meskipun dalam bidang bisnis mereka expert (ahli), tapi tetap saja terlihat "bodoh" jika kita lihat dari kacamata kekinian. Apa tidak bodoh namanya, jika anak perempuannya dibunuh hanya karena ada anggapan aib bagi keluarga khususnya si ayah?. Mungkin ada yang bertanya, kok orang Quraisy rela melakukannya?. Padahal, secara logika, si anak kan tidak mesti dibunuh karena bisa “dimanfaatkan” menjadi aset si ayah, atau membantu usaha dagangnya. Bukankah seorang pedagang seharusnya tidak mau rugi dan menyia-niyiakan SDM-nya?.
Jelasnya, bahwa dalam banyak hal, penggunaan akal dan pikiran tanpa panduan wahyu justru bisa mengelincirkan si pemiliknya, bisa membutakan arah dan menjadi bumerang baginya..
Kesimpulannya, kaum Quraisy saat itu, adalah masyarakat yang “modern” pada jamannya. Tentu saja bandingannya adalah masyarakat sebelum mereka. Mereka lebih modern dari masyarakat pada jaman Nuh, Tsamud, Ibrahim, atau Isa, namun mereka "bodoh" karena telah melepaskan diri dari ikatan-ikatan wahyu dan nilai-nilai moralitas yang pernah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelum Muhammad.
Maka, ketika Islam datang, kaum Quraisy sangat heran dengan model yang ditawarkan Islam baik terkait ekonomi (iqtishad) ataupun i’tiqad (keyakinan). Dalam anggapan mereka, apa yang mereka lakukan sudah benar karena taken for granted (diakui jumhur masyarakat saat itu). Orang tua mereka mempraktikkan itu turun-temurun. Tidak ada yang salah dengan riba, tidak perlu ada kritik terhadap penimbunan barang, oke-oke saja jika ada ketidakjelasan akad dalam jual beli, praktik judi, zalim, dll. Mereka menganggap tidak ada yang salah dengan zina, kumpul kebo, membuka aurat, menari yang memancing syahwat, dll.
Sebenarnya, diantara kaum Quraisy itu, tetap tetap ada suara-suara yang mampu melihat kebenaran. Tetap ada tokoh-tokoh suci, namun suara mereka nyaris tak terdengar karena mungkin tidak mampu bersuara atau kalah riuh dengan suara mayoritas dari hegemoni pemuka Quraisy saat itu. Tidak heran jika kaum Quraisy sangat risih dan tidak senang jika ada pihak yang mencoba mempertanyakan kebiasaan mereka. Itulah alasan kuat di balik penolakan mereka terhadap Nabi Muhammad yang membawa Islam. Anggapan mereka bahwa ajaran Islam hanya berupaya “memporak-porandakan” keyakinan, dan kebiasaan yang sudah “terlanjur” mereka anggap modern.
Jika, statement di atas diterima, maka tidak sulit bagi kita untuk menjawab pertanyaan mengapa masyarakat kini punya kecendrungan juga menjauh dari ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri?. Kok semakin jahiliyyah sih?. Pertanyaan ini tidak berlebihan, karena yang terjadi saat ini adalah kecendrungan modernisasi dan sophistikasi (men-canggih-kan) keburukan.
Kalau dulu, judi dilakukan dengan cara tradisional, maka saat ini sudah dilakukan dengan berbagai instrument dan sistem yang canggih pula. Cukup didepan komputer.
Kalau dulu mencuri itu identik dengan mengambil milik orang secara diam-diam dari tempatnya, maka saat ini mencuri bisa dilakukan dengan terang-terangan yang bahkan korbannya pun tak punya kesanggupan melawan dan “terpaksa rela” dicuri karena berbagai peraturan yang memihak si pencuri.
Kalau dulu bayi perempuan dibunuh, maka pembunuhan sekarang dilakukan bahkan oleh si ibu sendiri dengan bantuan dokter-dokter. Lihat, bagaimana aborsi bahkan akan dilegalkan di beberapa negara. Pembunuhan juga telah berevolusi menjadi “pembunuhan tidak langsung” dan masif yaitu dengan mematikan kesempatan orang lain untuk hidup layak dan mandiri. Korbannya dibunuh secara struktural, termiskinkan dan meninggal perlahan-lahan. Intinya, peradaban kita mungkin saja telah lebih modern dibandingkan masyarakat 1500 tahun lalu, namun hanya dalam bidang sosial budaya dan iptek saja, bukan dalam ke-adaban-nya.
Tanpa sadar kita justru telah mereproduksi ke-jahiliyyahan modern dengan mengorbankan (trade off) sisi-sisi kemanusiaan dan spiritualitas kita sendiri.
Apa penyebabnya?
Jawabannya tidak lain karena modernitas yang dipahami selama ini bisa jadi hanya bersifat simbolis dan semu yaitu modernitas dimana “benchmark” (tolak ukurnya) adalah semata-mata rasionalitas, budaya atau kebiasaaan masyarakat saja. Modern adalah ungkapan yang cendrung diartikan sebagai kemampuan membebaskan diri dari ikatan moral apalagi wahyu. Modernitas yang hanya ditandai dengan hebatnya perkembangan gadget-gadget canggih, desain fashion yang keren namun tetap saja tidak mampu “menutupi aurat” yang sebenarnya.
Atau bisa jadi modernitas yang dipahami adalah sekedar canggihnya media informasi elektronik meski konten utamanya adalah “junk information (informasi sampah), dan artifisial, yang semakin hari mungkin semakin “lezat” cita rasanya yang kita pahami itu salah tapi tak kuasa membebaskan darinya.
Jahiliyyah modern (begitu orang menyebutnya) juga ditanpilkan dalam bentuk “penyembahan” kepada Tuhan-Tuhan baru (New Gods), bukan lagi berhala, bebatuan atau roti seperti yang pernah disembah oleh Umar bin Khattab. Tuhan masyarakat modern adalah segala harta, kendaraan, kekuasaan keluarga, status dll yang telah menjadi ambisi 24 jam manusia kini. Tentu saja tidak ada larangan memiliki semua kesenangan dunia. Itu adalah anugerah dari Allah asalkan selama bisa mendukung status fungsi kehambaan kita kepada-Nya. Sayangnya, fasilitas tersebut justru sering disalahgunakan baik dari cara perolehannya maupun peruntukannya. Tragisnya, segala kesenangan duniawi itu malah menjadi sembahan dan saingan terhadap Allah baik bagi orang yang berhasil mendapatkannya maupun yang tidak .
Tragisnya, kalau ada suara-suara kebaikan yang mempertanyakan kebiasaan dan prilaku menyimpang itu, apalagi mencoba mendobraknya, maka, tak ayal lagi, mereka justru dianggap lelet, ketinggalan jaman, dan tidak realistis. Kalau ada yang mencoba menggugat praktik-praktik ekonomi yang menyimpang, maka mereka dianggap pahlawan kesiangan, atau dianggap “pencitraan”. Makanya, saya kadang harus sepakat dengan statement “orang normal yang berada di antara orang yang abnormal, maka justru orang normal itulah yang dianggap gila” :)
Namun, Inilah kesempatan yang tepat bagi kita untuk menjadi agent of social change (agen perubahan sosial). Demand terhadap sosok orang baik dan benar terus meningkat sementara supply-nya terus berkurang. Makanya, dulu berita Jokowi dan Dahlan Iskan paling mudah mudah ditemui di berbagai media. Para kandidat pilkada pun ramai-ramai melakukan dumping dan replikasi sosok keduanya karena dianggap citranya baik. Memang tidak ada salahnya, sejauh dilakukan dari hati yang tulus dan bersih pula. Entahlah kini....
Sebanarnya, tidak mesti menjadi seorang pemimpin untuk melakukan perubahan. Tidak perlu menjadi gubernur atau menteri dahulu untuk menyebarkan kebaikan. Peluang kebaikan pun bisa kita lakukan dengan dimulai dari diri sendiri dan dilakukan dalam skala yang sederhana. Toh, profesi dan bidang kita berbeda-beda. Syaratnya, jangan pernah takut menjadi “abnormal” hanya karena kebaikan itu sudah malu-malu disuarakan orang lain karena itulah misi kekhalifan kita. Kalau bukan kita sekarang, lalu siapa yang akan melakukannya,? So, what gitu lho..?
Yang perlu dikhawatirkan, adalah jika peluang ini tidak segera diambil. Maka, pada kesempatan mana lagi kita akan melakukannya?. Pepatah bilang, jangan sampai nasi menjadi bubur, terlambat. Atau, mungkin saja nasi pun sudah tidak ada lagi karena para petani ternyata tidak punya lahan lagi, tidak punya modal membeli pupuk dan lebih memilih meninggalkan desa dan hijrah ke kota. Apakah si bubur masih kita miliki ?l
Mumpung kita telah berada di tahun 1436 hijriyah, tahun baru Islam, dan akan memperingati hari kemerdekaan, maka penting bagi kita untuk terus menumbuhkan semangat baru dengan mengatakan “no” kepada semua kejahilan. Katakan "no" kepada MAGHRIB (Maysir/Judi, Aniaya, Gharar/transaksi yang tidak jelas,Haram, Riba, Ihtikar/Menimbun Harta,Batil) serta aktifitas lainnya yang menyimpang baik dalam bidang ibadah, politik, budaya dll.
Pemaparan kondisi faktual di atas bukan untuk disesali dengan sikap pesimis, tapi untuk jadi cemeti kita semua. Saatnya semangat kepahlawanan dan kemandirian bangsa ini bisa menjadi prioritas para pemimpin dan rakyat negeri ini. Amin. “Dan Allah Menjadi Saksi Atas Segala Sesuatu (yang kita lakukan). QS: Alburuj, 9)
0 Comments