Ticker

6/recent/ticker-posts

Menjadi Bijak Vs Pintar

Oleh: M. Ridwan

Materi kuliah subuh hari ini diisi oleh Ustaz Syamsul. Beliau ahli di bidang marketing. Tema ceramahnya biasanya terkait dengan motivasi spiritual, dan ajakan untuk selalu beribadah, berinfaq,  memakmurkan mesjid dan mushalla sampai kepada upaya meningkatkan etos kerja umat. Dengan pengalaman di perbankan syariah dan bisnis yang cukup kaya maka ustaz Syamsul memang tepat menyajikan menu ceramah pagi ini. Penyampaiannya ringkas dan to the point.

Sesi ceramah kemudian diteruskan dengan diskusi. Biasanya, para jamaah yang terdiri dari berbagai latar belakang profesi selalu antusias terlibat mengemukakan pikirannya. Nah, diskusi pagi cukup menarik. Ustaz Syamsul berhasil membawa jamaah untuk mengeryitkan dahi mengamati fenomena negeri ini. Tentunya, dalam pandangan keprihatinan, baik terkait dengan tradisi ibadah individu, sosial ataupun isu-isu aktual terkait sosial, ekonomi dan budaya. 

Menurutnya, sebagian besar masyarakat saat ini seperti telah kehilangan etos ibadah. Salah satu indikatornya adalah kuantitas orang yang melakukan sholat subuh berjamaah di mesjid atau mushalla. Padahal, jatah umur manusia sekarang sebenarnya jauh berkurang jika dibandingkan  dengan umur umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, umur yang limited –terbatas- ini harus benar-benar dimanfaatkan untuk sesuatu yang berarti, bernilai guna dan berdaya guna. Umur haruslah berkah dan memberi kemanfaatan bagi banyak orang.

Diskusi akhirnya berkembang. Pak Sidiq -seorang jamaah yang berprofesi sebagai dosen pendidikan- menyampaikan informasi bahwa kurikulum pendidikan di beberapa negara di luar negeri ternyata mulai gencar mengarahkan peserta didik untuk menjadi lebih “bijak”, bukan sekedar menciptakan seorang yang “pintar”. Negara-negara seperti Inggeris, Malaysia atau Australia telah melakukan hal ini. Menurutnya, Indonesia harus juga berkomitmen untuk melakukannya. Informasi ini tentu saja menarik. Artinya, menjadi bijak itu jauh lebih penting dari sekedar menjadi pintar. Para jamaah sangat setuju.

Lalu apakah itu kebijaksanaan?.  Untuk memudahkan, sering dimisalkan. “Mengetahui bahwa tomat adalah salah satu jenis buah-buahan disebut pengetahuan. Sedangkan untuk mengetahui apakah tomat itu harus dimasukkan ke dalam sebuah menu makanan atau jus, maka membutuhkan sebuah kebijaksanaan. Saya kira banyak pemisalan lain.

Biasanya terkait kebijaksanaan, kita mengenal tiga terma. Pertama, informasi (information), kedua, pengetahuan (knowledge), dan ketiga kebijaksanaan (wisdom) itu sendiri. 

Prosesnya dimulai dari informasi. Informasi adalah sesuatu yang diterima adalah indera kita, sifatnya global, belum spesifik. Nah, informasi (information) yang dirasakan bermanfaat dan mulai dapat diaplikasikan dalam konteks individu kemudian menjelma menjadi pengetahuan (knowledge). Sedangkan pengetahuan yang berguna dalam konteks kemanfaatan untuk banyak orang dalam berbagai dimensi itulah yang menjelma menjadi kebijaksanaan (wisdom).

Saya mencoba memisalkan penjelasan di atas dari perspektif ekonomi. Misalkan, kita melihat banyak fenomena kemiskinan, pengangguran atau distribusi kekayaan yang tidak merata. Ini disebut informasi ekonomi. Kemudian para ahli mengemukakan berbagai cara untuk mengatasi masalah ekonomi ini berdasarkan riset ilmiah. Mereka melahirkan banyak teori. Ini disebut pengetahuan ekonomi atau teori ekonomi. Ruang lingkupnya, biasanya terbatas. Nah, untuk memilih dan menerapkan teori apa yang benar-benar tepat berguna, baik dalam jangka pendek maupun panjang, di dunia dan di akhirat, dibutuhkan sebuah kebijakan atau kebijaksanaan. 

Biasanya, terma kebijakan (policy) juga dibedakan  dengan kebijaksanaan (wisdom). Artinya, tidak semua kebijakan (policy) itu berasal dari kebijaksanaan (wisdom). Namun, sebuah kebijaksanaan (wisdom) biasanya dapat diterapkan dalam sebuah kebijakan (policy). Mudah-mudahan pembaca tidak bingung. Soalnya, saya juga mulai rada bingung sendiri. :)

Kendati pemisalan yang saya buat tidak terlalu tepat, namun intinya, kebijaksanaan (wisdom) adalah kemampuan untuk melihat sesuatu dalam lingkup yang lebih besar, holistic, bahkan melampaui apa yang tampak. Beyond the phenomena. Melampaui fenomena. Harus bisa memasuki dunia nomena.

Dengan demikian, semakin banyak kebijaksanaan di sesuatu tempat, katakanlah di rumah, kantor,  perumahan, atau bahkan di sebuah negara, maka dipastikan akan tercipta banyak kebaikan dan kemanfaatan bagi penghuninya. Kebaikan dan kemanfaatannya dirasakan dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika kebijaksanaan itu sedikit jumlahnya, atau mungkin tidak ada, maka dipastikan kemanfaatan akan sebuah pengetahuan tidak akan dirasakan. Kering dan hampa. Kalaupun terlihat seperti ada, maka sifatnya hanyalah dalam jangka pendek.

Untuk konteks Indonesia, mungkin layak dipertanyakan, apakah kebijaksanaan (wisdom) sudah menjadi dasar dari semua tindakan dan keputusan masyarakat kita sehari-hari?. Apakah pemerintah, atau masyarakat kita sudah bergerak dari dorongan kebijaksanaan atau hanya berdasarkan dorongan inderawi alias pengetahuan semata?. Apakah anak-anak kita justru lebih diarahkan untuk menjadi pintar dan bukan menjadi bijak?. Ini layak dipertanyakan, karena kok rasanya sekarang jumlah orang pintar dan mengecap pendidikan kian bertambah bahkan lulusan dari sekolah dan kampus favorit, tapi, faktanya, semakin sedikit kebijaksanaan muncul dan menyebar di masyarakat. Saya agak sentimentil di pagi ini:)

Saya ambil contoh. Ketika ada keinginan untuk membuat lokalisasi pelacuran atau perjudian. Apakah ini didasarkan dari sebuah kebijaksanaan (wisdom) ataukah hanya sekedar kebijakan (policy) yang berlandaskan pengetahuan dan logika semata?. 

Mari kita lihat. Logika yang dituangkan dalam bentuk kebijakan, jelas akan mengatakan bahwa lokalisasi pelacuran, atau judi akan akan memberikan benefit dalam bentuk pajak dan multiplier effects ekonomi lainnya. Tapi, jika dilihat dari kacamata kebijaksanaan, apakah akan berkata demikian juga?. Tentu tidak. Atau ketika kita sibuk berhutang ria kepada negara-negara lain, apakah itu cukup bijaksana?

Makanya, saya setuju ketika dikatakan bahwa menjadi bijak jauh lebih penting dari sekedar menjadi pintar. Pintar, identik dengan sikap individualis dan hanya berupaya menyelamatkan diri sendiri. Seorang koruptor itu, bisa dikatakan sangat pintar dan rasional karena berhasil menemukan berbagai teknik koprupsi yang canggih dan masuk akal. Logika para pelaku mungkin terlihat “lurus” dan humanis yaitu mencari harta untuk menyelamatkan keluarganya. Tapi, sebuah kebijaksanaan akan berkata lain. Korupsi itu membunuh, bahkan membunuh anak dan isteri kita.

Materi subuh kali ini membuat kami termenung. Memang, menjadi bijak jauh lebih penting dari sekedar menjadi pintar. Tapi, tentunya, menjadi kedua-duanya adalah jauh lebih baik. 




Post a Comment

0 Comments