Oleh: M. Ridwan
Materi kuliah subuh hari ini
diisi oleh Ustaz Syamsul. Beliau ahli di bidang marketing. Tema ceramahnya
biasanya terkait dengan motivasi spiritual, dan ajakan untuk selalu beribadah,
berinfaq, memakmurkan mesjid dan
mushalla sampai kepada upaya meningkatkan etos kerja umat. Dengan pengalaman di
perbankan syariah dan bisnis yang cukup kaya maka ustaz Syamsul memang tepat
menyajikan menu ceramah pagi ini. Penyampaiannya ringkas dan to the point.
Sesi ceramah kemudian diteruskan
dengan diskusi. Biasanya, para jamaah yang terdiri dari berbagai latar belakang
profesi selalu antusias terlibat mengemukakan pikirannya. Nah, diskusi pagi cukup
menarik. Ustaz Syamsul berhasil membawa jamaah untuk mengeryitkan dahi
mengamati fenomena negeri ini. Tentunya, dalam pandangan keprihatinan, baik
terkait dengan tradisi ibadah individu, sosial ataupun isu-isu aktual terkait
sosial, ekonomi dan budaya.
Menurutnya, sebagian besar masyarakat saat ini seperti telah kehilangan etos ibadah. Salah satu indikatornya adalah kuantitas orang yang melakukan
sholat subuh berjamaah di mesjid atau mushalla. Padahal, jatah umur manusia
sekarang sebenarnya jauh berkurang jika dibandingkan dengan umur umat-umat terdahulu. Oleh karena itu, umur yang limited –terbatas- ini harus benar-benar
dimanfaatkan untuk sesuatu yang berarti, bernilai guna dan berdaya guna. Umur haruslah berkah dan memberi kemanfaatan bagi banyak orang.
Diskusi akhirnya berkembang. Pak
Sidiq -seorang jamaah yang berprofesi sebagai dosen pendidikan-
menyampaikan informasi bahwa kurikulum pendidikan di beberapa negara di luar
negeri ternyata mulai gencar mengarahkan peserta didik untuk menjadi lebih “bijak”,
bukan sekedar menciptakan seorang yang “pintar”. Negara-negara seperti
Inggeris, Malaysia atau Australia telah melakukan hal ini. Menurutnya, Indonesia
harus juga berkomitmen untuk melakukannya. Informasi ini tentu saja menarik.
Artinya, menjadi bijak itu jauh lebih penting dari sekedar menjadi pintar. Para
jamaah sangat setuju.
Lalu apakah itu kebijaksanaan?. Untuk memudahkan, sering dimisalkan. “Mengetahui
bahwa tomat adalah salah satu jenis buah-buahan disebut pengetahuan. Sedangkan untuk
mengetahui apakah tomat itu harus dimasukkan ke dalam sebuah menu makanan atau
jus, maka membutuhkan sebuah kebijaksanaan. Saya kira banyak pemisalan lain.
Biasanya terkait kebijaksanaan, kita mengenal tiga terma. Pertama, informasi (information), kedua,
pengetahuan (knowledge), dan ketiga kebijaksanaan (wisdom) itu
sendiri.
Prosesnya dimulai dari informasi. Informasi adalah sesuatu yang diterima
adalah indera kita, sifatnya global, belum spesifik. Nah, informasi (information)
yang dirasakan bermanfaat dan mulai dapat diaplikasikan dalam konteks individu kemudian
menjelma menjadi pengetahuan (knowledge). Sedangkan pengetahuan yang
berguna dalam konteks kemanfaatan untuk banyak orang dalam berbagai dimensi itulah
yang menjelma menjadi kebijaksanaan (wisdom).
Saya mencoba memisalkan penjelasan
di atas dari perspektif ekonomi. Misalkan, kita melihat banyak fenomena
kemiskinan, pengangguran atau distribusi kekayaan yang tidak merata. Ini disebut
informasi ekonomi. Kemudian para ahli mengemukakan berbagai cara untuk mengatasi
masalah ekonomi ini berdasarkan riset ilmiah. Mereka melahirkan banyak teori. Ini
disebut pengetahuan ekonomi atau teori ekonomi. Ruang lingkupnya, biasanya terbatas.
Nah, untuk memilih dan menerapkan teori apa yang benar-benar tepat berguna,
baik dalam jangka pendek maupun panjang, di dunia dan di akhirat, dibutuhkan
sebuah kebijakan atau kebijaksanaan.
Biasanya, terma kebijakan (policy) juga
dibedakan dengan kebijaksanaan (wisdom).
Artinya, tidak semua kebijakan (policy) itu berasal dari kebijaksanaan (wisdom).
Namun, sebuah kebijaksanaan (wisdom) biasanya dapat diterapkan dalam
sebuah kebijakan (policy). Mudah-mudahan pembaca tidak bingung. Soalnya,
saya juga mulai rada bingung sendiri. :)
Kendati pemisalan yang saya buat
tidak terlalu tepat, namun intinya, kebijaksanaan (wisdom) adalah
kemampuan untuk melihat sesuatu dalam lingkup yang lebih besar, holistic, bahkan
melampaui apa yang tampak. Beyond the phenomena. Melampaui fenomena. Harus
bisa memasuki dunia nomena.
Dengan demikian, semakin banyak
kebijaksanaan di sesuatu tempat, katakanlah di rumah, kantor, perumahan, atau bahkan di sebuah negara, maka
dipastikan akan tercipta banyak kebaikan dan kemanfaatan bagi penghuninya. Kebaikan
dan kemanfaatannya dirasakan dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika
kebijaksanaan itu sedikit jumlahnya, atau mungkin tidak ada, maka dipastikan kemanfaatan
akan sebuah pengetahuan tidak akan dirasakan. Kering dan hampa. Kalaupun
terlihat seperti ada, maka sifatnya hanyalah dalam jangka pendek.
Untuk konteks Indonesia, mungkin
layak dipertanyakan, apakah kebijaksanaan (wisdom) sudah menjadi dasar dari semua
tindakan dan keputusan masyarakat kita sehari-hari?. Apakah pemerintah, atau
masyarakat kita sudah bergerak dari dorongan kebijaksanaan atau hanya berdasarkan dorongan inderawi alias pengetahuan semata?. Apakah anak-anak
kita justru lebih diarahkan untuk menjadi pintar dan bukan menjadi bijak?. Ini
layak dipertanyakan, karena kok rasanya sekarang jumlah orang pintar dan mengecap pendidikan kian bertambah bahkan lulusan dari sekolah dan kampus favorit, tapi, faktanya, semakin sedikit kebijaksanaan
muncul dan menyebar di masyarakat. Saya agak sentimentil di pagi ini:)
Saya ambil contoh. Ketika ada
keinginan untuk membuat lokalisasi pelacuran atau perjudian. Apakah ini didasarkan dari sebuah kebijaksanaan (wisdom) ataukah hanya sekedar kebijakan (policy) yang
berlandaskan pengetahuan dan logika semata?.
Mari kita lihat. Logika yang dituangkan dalam bentuk kebijakan, jelas akan mengatakan bahwa lokalisasi pelacuran, atau judi akan akan memberikan benefit
dalam bentuk pajak dan multiplier effects ekonomi lainnya. Tapi, jika
dilihat dari kacamata kebijaksanaan, apakah akan berkata demikian juga?.
Tentu tidak. Atau ketika kita sibuk berhutang ria kepada negara-negara lain, apakah itu cukup bijaksana?
Makanya, saya setuju ketika
dikatakan bahwa menjadi bijak jauh lebih penting dari sekedar menjadi pintar.
Pintar, identik dengan sikap individualis dan hanya berupaya menyelamatkan diri
sendiri. Seorang koruptor itu, bisa dikatakan sangat pintar dan rasional karena berhasil menemukan
berbagai teknik koprupsi yang canggih dan masuk akal. Logika para pelaku mungkin
terlihat “lurus” dan humanis yaitu mencari harta untuk menyelamatkan keluarganya. Tapi, sebuah
kebijaksanaan akan berkata lain. Korupsi itu membunuh, bahkan membunuh anak dan
isteri kita.
Materi subuh kali ini membuat
kami termenung. Memang, menjadi bijak jauh lebih penting dari sekedar menjadi
pintar. Tapi, tentunya, menjadi kedua-duanya adalah jauh lebih baik.
0 Comments